Emas Biru Itu Mulai Langka
Seperti udara, air begitu melimpah di muka bumi ini. Namun, keduanya bernasib sama—terabaikan. Di banyak tempat, apalagi di perkotaan, sungguh sulit menemukan air berkualitas baik. Sumber kehidupan ini telah dicemarkan sampah organik dan zat beracun, hingga akhirnya berbalik menjadi sumber kematian.
Air tawar sesungguhnya memang amat penting artinya, bahkan menyangkut hidup-mati makhluk di muka bumi ini. Orang baru melihat betapa berharganya Emas Biru ini ketika jiwanya terancam saat terjadi kemarau berkepanjangan karena air di permukaan hingga di bawah tanah dan di lahan pertanian pun kering kerontang.
Nyatanya, kekeringan yang disusul bencana kelaparan mulai kerap terjadi dan kian meluas ke berbagai wilayah di dunia, tak terkecuali di negeri ini.
Seperti disampaikan Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pada Hari Air Dunia 22 Maret lalu, saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam. Namun, ketersediaannya justru menurun.
Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara absolut.
Kekurangan air telah berdampak negatif terhadap semua sektor, termasuk kesehatan. Tanpa akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak meninggal tiap hari oleh penyakit.
Bagaimana dengan ketersediaan air di Indonesia?
Hingga saat ini sekitar 100 juta penduduk belum mempunyai akses air minum yang aman. Kondisi ini ironis bagi Indonesia yang termasuk 10 negara kaya sumber air tawar. Masalah ini dihadapi penduduk di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, serta Sulawesi Selatan.
Menurut laporan Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, April lalu, ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2000, dan akan terus menurun hingga 1.200 m3 per kapita per tahun pada tahun 2020. Padahal, standar kecukupan minimal 2.000 m3 per kapita per tahun.
Kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh pencemaran limbah di sungai, ujar Masnellyarti Hilman, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Tahun 2002 terjadi 5.789 kasus diare yang menyebabkan 94 orang meninggal, menurut data Departemen Kesehatan.
Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air yang buruk ini antara lain yang menempatkan Indonesia pada peringkat terendah dalam Millennium Development Goals (MDGs). Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tentang MDGs Asia Pasifik tahun 2006 menyebutkan, Indonesia berada dalam peringkat terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.
Kemauan politik
Melihat masalah kelangkaan air dalam skala global itu, FAO sebagai badan koordinasi dalam sistem PBB pada peringatan Hari Air Dunia tahun 2007 menetapkan tema "Mengatasi Kelangkaan Air" (Coping with Water Scarcity).
Untuk itu, FAO meminta dukungan kekuatan politik dan moral guna membuka akses air tawar bagi 1,1 miliar orang dan memberikan sanitasi yang layak bagi 2,6 miliar orang.
Kemauan politik dan investasi untuk menyediakan air, menurut Jacques, juga diperlukan jutaan petani kecil di dunia mengingat konsumsi air bagi pertanian mencapai 70 persen dan sampai 95 persen di beberapa negara tengah berkembang. Dengan membantu petani, kelaparan dapat diperangi dan taraf hidup penduduk dunia ditingkatkan.
Sektor pertanian harus menemukan cara yang lebih efektif untuk mengatasi kelangkaan air. Untuk itu, diperlukan teknik memproduksi pangan dengan air yang lebih sedikit. Dengan pola konvensional, untuk menghasilkan satu kilogram beras diperlukan 3.000 liter air, ujar Peter Hehanussa, pakar limnologi yang masih aktif di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Upaya di Indonesia
Sebagai negara yang hanya memiliki 30 persen daratan, Indonesia harus menjaga ketersediaan air tawar di darat dalam jumlah memadai. Menurut Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI Gadis Sri Haryani, secara alami, air hujan sebagai sumber air tawar hanya sebagian kecil jatuh di darat. Dari 517.000 km3 uap air berupa awan yang terbentuk setiap tahun di dunia, yang jatuh di darat hanya 62.000 km3.
"Saat ini, karena perubahan lingkungan di darat dan perubahan iklim, semakin sedikit hujan yang jatuh di darat. Harusnya air hujan ditampung. Tetapi, yang sekarang terjadi malah dipercepat masuk ke laut dengan program normalisasi sungai dan kanalisasi," ujar Gadis. Padahal, mengubah kondisi sungai itu justru akan menimbulkan pendangkalan, kepunahan spesies ikan, hingga bencana banjir.
Masnellyarti juga menekankan perlunya pengelolaan sumber daya air dengan memerhatikan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial secara selaras. Untuk itu dilakukan penetapan kelas air dan rencana induk pemulihan kualitas air di sungai prioritas, seperti Ciliwung, Cisadane, Citarum, Citanduy, Progo, Bengawan Solo, Siak, dan Kampar, dilanjutkan dengan sungai lintas provinsi. Selain itu, juga prioritas pemulihan danau, antara lain Limboto, Tondano, Tempe, Toba, Maninjau, Sentarum, Singkarak, dan Rawa Pening.
"Masterplan ini diarahkan untuk memenuhi target lima tahunan sehingga kualitas air dapat naik satu tingkat lebih baik," ujar Masnellyarti. Upaya percepatan pemulihan kualitas air ini bertujuan untuk mencapai MDGs dalam memberikan akses air bersih kepada masyarakat.
0 komentar: to “ Emas Biru Itu Mulai Langka ”
Posting Komentar