Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Kesehatan Wanita dan Aborsi (Telaah Wacana)  

Disadur dari berbagai sumber oleh Direktur Penelitian.

Tiga fakta utama yang mengangkat aborsi sebagai masalah kesehatan yang harus mendapatkan perhatian adalah ;aborsi yang dilakukan secara tidak aman merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian wanita; kebutuhan akan induksi aborsi merupakan kenyataan yang sering dan terus menerus dijumpai; dan wanita tidak perlu meninggal akibat aborsi yang tidak aman, oleh karena apabila induksi dilaksanakan secara benar dan higienis, tindakan aborsi sangatlah aman (Judith Timyan., 1996). Secara ringkas kesakitan dan kematian akibat aborsi hampir seluruhnya dapat dicegah.


Komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menyebabkan kurang lebih dari 40% kematian ibu diseluruh dunia (Coeytaux et al., 1989; Royston dan Armstrong, 1989). Artinya paling tidak 200.000 dari 500.000 kematian setiap tahun akibat proses yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, meninggal karena aborsi yang tidak aman. Baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Karena juga terdapat masalah aborsi gelap yang merupakan masalah yang sensitif.

Kesakitan akibat aborsi yang dilakukan secara tidak aman masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum mendapat perhatian khusus. Ini karena masalah ini kolaboratif dengan budaya setempat. Persoalan tabu dan malu. Selain itu isu lain membuat persoalan aborsi terkesan tertutup-tutupi dikalangan masyarakat kita khususnya di Indonesia. Masalah terbesar tentang kesehatan wanita terutama tentang kesehatan reproduksi terbanyak berada di negara berkembang. Indonesia mencakup salah satunya. Meskipun data yang menggambarkan besarnya masalah secara tepat masih kurang, namun tidak diragukan lagi bahwa aborsi yang tidak dilakukan secara higienis merupakan penyebab utama kesakitan yang kemudian menyebabkan infertilitas.

Aborsi yang tidak aman masih meminta korban. Dari kondisi ini anak yang kemudian harus kehilangan ibu adalah suatu kondisi yang menyedihkan. Setiap tahun 1,5 juta anak menjadi tidak beribu akibat kematian ibu (WHO). Belum ada masyarakat yang berhasil melenyapkan induksi aborsi sebagai bagian dari pengendalian fertilitas. Induksi aborsi adalah yang tertua, dan menurut para ahli, juga yang paling banyak digunakan (Royston dan Armstrong, 1989). Masih banyak kehamilan yang tidak diinginkan tiap tahunnya diakhiri dengan induksi aborsi. Dan telah nyata bahwa separuh dari jumlah aborsi ini adalah ilegal.

Fakta bahwa wanita melaksanakan aborsi merupakan kenyataan yang tidak akan berubah. Di seluruh dunia, insidensi induksi aborsi meningkat meskipun ada kode legal dan sangsi agama, dan bahaya individual. Wanita dari berbagai latar belakang mengambil jalan aborsi. Faktor-faktor yang ikut mempengaruhi peningkatan ini meliputi keinginan memiliki keluarga yang lebih kecil, meningkatnya jumlah wanita usia subur, pergeseran dari masyarakat pedesaan ke perkotaan dan kenaikan insidensi aktivitas seksual di luar pernikahan (Coeytaux, 1990).

Disamping masalah kesehatan, aborsi juga menimbulkan kerugian-kerugian lain. Pada wanita, kerugian tersebut meliputi kerugian waktu, stres psikologis, kerugian biaya, dan lebih benayk lagi beban individual yang lain. Selain besarnya kerugian secara individual, perawatan komplikasi aborsi menimbulkan beban yang berat bagi sistem kesehatan di negara berkembang, tempat terjadinya 99% dari seluruh kematian ibu di dunia. Di negara seperti indonesia, perawatan komlpikasi aborsi dapat mengkonsumsi hingga 50% anggaran rumah sakit.

WHO menganggap aborsi sebagai masalah yang gawat, pada rekomendasi tindakan tahun 1991 "mendorong pemerintah untuk melakukan semua upaya yang mungkin untuk menghilangkan risiko kesehatan yang berat akibat aborsi yang tidak aman" (WHO, 1991). Pada tahun konferensi Safe Motherhood menyimpulkan bahwa aborsi yang tidak aman pada kehamilan yang tidak diinginkan menyebabkan 25-35% kematian ibu, ini karena wanita kurang memiliki akses terhadapa pelayanan keluarga berencana, prosedur yang aman, dan perlakuan yang ramah.

Tindakan efektif adalah memerlukan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana wanita membuat keputusan yang lebih baik tentang bagaimana wanita membuat keputusan reproduktif dan bagaimana keputusa-keputusan seperti ini dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan fertilitas, kondisi - kondisi yang mempengaruhi akses kontasepsi dan cara-cara yang menyebabkan perubahan sosial dan pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap status, peran, dan kesempatan wanita. Meskipun begitu, kebutuhan akan pemahaman pengalaman dan kebutuhan wanita secara lebih mendalam bukan merupakan alasan tidak adanya tindakan.

[+/-] Baca selengkapnya......

[Opini] Bangsa Kita Sedang Sakit  

Kala kita membuka laporan tentang kondisi “kesehatan” bangsa kita, maka cuma orang tidak berperasaan lah yang mampu untuk membaca sampai tuntas laporan tersebut. Bagaimana tidak ketika kita membuka laporan tentang kondisi “tubuhnya” kita akan mendapatkan laporan tentang berbagai macam penyakit menular yang menggerogoti tubuh bangsa kita.
Laporan bayi yang meninggal akibat Demam Berdarah hampir setiap musim pancaroba kita mendengar, masyarakat yang terserang muntaber setiap saat kita bisa dengar laporannya dari media, malahan muncul kembali flu burung yang membuat resah bangsa ini, dan yang cukup “spektakuler” kita dengar adalah munculnya kembali polio dan kejadian busung lapar. Polio dari tahun 1990-an sudah digembar-gemborkan bahwa sudah musnah dari bumi kita, namun kini ia datang kembali menyadarkan kita dari kesombongan. Busung lapar adalah berita yang sangat menyedihkan dan sangat memalukan mengingat negara kita – konon katanya- kaya dengan sumberdaya alam sehingga sampai tujuh keturunan pun masih banyak persediaan.

Kemudian kalau kita membuka lembaran berikutnya tentang kondisi “psikis” bangsa kita lebih menyedihkan lagi. Korupsi sudah menjadi tradisi yang “wajib” diturunkan dari generasi ke generasi, kerusuhan SARA kembali unjuk gigi setelah beberapa waktu istirahat untuk mengumpulkan energi, kemiskinan sudah menjadi hal biasa kita lihat, kebodohan sudah dianggap lumrah bagi yang tidak bersekolah. Kita sudah tidak tahan lagi untuk membuka lembaran-lembaran berikutnya.
Di tengah ketakutan untuk membaca tuntas seluruh hasil laporan tersebut, tiba-tiba kita dikejutkan kembali oleh munculnya fatwa sesat dari pihak yang merasa memegang otoritas kebenaran Tuhan. Kembali kekerasan terjadi antar sesama ummat.
*****
Kalau kita melihat data penduduk bangsa ini, amat menggembirakan jika 90% lebih penduduknya beragama Islam. Seperti kita ketahui Islam adalah sebuah peradaban maha dahsyat yang mampu merubah kebudayaan dunia yang gelap gulita sehingga mampu menikmati setitik cahaya. Tapi kekecewaan muncul ketika tahu ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa. Keagungan Islam hanya sekedar cerita masa lalu yang kemudian sedang dalam proses penyimpanan di dalam lemari besi. Lalu kemudian siapa yang bertanggungjawab terhadap masalah ini ?
Susah memang untuk mengatakan siapa yang bertanggung jawab, bangsa kita ini terlalu kompleks untuk kemudian melemparkan tanggungjawab pada kelompok tertentu. Tentu kita tidak bisa menuding pemerintah,(ingat orang-orang di pemerintahan sebagian besar juga Muslim). Sedangkan ketika kita limpahkan pada masyarakat, ah ibarat mengharapkan rejeki datang langsung dari langit. Masyarakat kita terlalu cepat pasrah !
Pemerintah pun lebih asyik mengkorup anggaran, anggaran kesehatan yang sedianya minimal 5 % dari anggaran tapi kita cuma beraninya 2 – 3 % saja, itupun masih ada acara sunat sana sunat sini. Belum lagi pendidikan yang kian tak terjangkau, padahal sebagai bangsa yang beradab pendidikan semestinya menjadi sorotan utama. Janji –janji saat kampanye untuk 20% anggaran pendidikan, tetapi nayali kita ciut saat hanya berani memasang patok 6 % saja, dan sekali lagi masih ada sunat sana sunat sini. Jadi tidak heran jika penyakit fisik dan psikis yang melanda bangsa kita makin parah. Bisa jadi busung lapar,polio,flu burung sebagai “utusan Tuhan” untuk membangunkan kita dari tidur yang panjang. Kita tidak pernah mau bangun untuk kemudian membangun bangsa yang morat-marit ini, kita masih enak terbuai dalam mimpi-mimpi indah.
*****
Ketika kita ingin memperbaiki bangsa ini terlebih dahulu bangunkanlah orang-orang yang masih tidur di bangsa ini. Bangunkanlah mereka agar mereka mau merombak budaya yang lesu, gantilah dengan budaya Islam yang progresif. Karena Islam mengajarkan amar ma’ruf dan nahi munkar maka umat pun akan terpanggil untuk berlomba-lomba. Ingat bangsa kita ini merupakan pemberian Tuhan, yang kemudian manusia diberikan tanggungjawab untuk menjaganya.
Kita juga harus membangunkan pejabat-pejabat yang masih tidur, bangunkanlah mereka, ajak mereka mengelilingi seluruh pelosok bangsa ini agar mereka dapat melihat kondisi bangsa ini. Beri semangat pada mereka agar mau memihak pada masyarakat miskin, berikanlah mereka peringatan bahwa mereka telah menjadi orang-orang yang mendustakan agama, mereka membiarkan orang miskin kelaparan, anak yatim terlunta-lunta.
Masyarakat, pejabat, agamawan kini sudah saatnya bergandengan tangan untuk mengatasi penyakit bangsa ini. Agamawan jangan hanya larut dalam shalat saja,memikirkan surga – neraka saja, sekali-kali pikirkanlah orang miskin, busung lapar dan tegasnya pikirkanlah dunia.
Turunnya Islam ke dunia bukankah sebagai jawaban atas persoalan – persoalan kemanusiaan? Islam menjawab perbudakan, kemiskinan, penindasan lalu kenapa kita berani-beraninya menafsirkan Islam hanya sebagai persoalan ke – Tuhan - an saja. Memang betul Islam adalah persoalan ke-Tuhan-an, namun sebagai manifestasi bahwa kita ber - Tuhan, maka kita harus menjalankan pesan-pesan Tuhan.
***
Tentunya untuk mengubah bangsa ini menjadi lebih baik, membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang panjang. Kita bisa memulainya dari diri kita sendiri, kita rubah paradigma kita selama ini. Paradigma Islam selama ini yang kita pahami sebagai perkara Teosentris saja, kita harus bisa menariknya agar memberikan jawaban terhadap persoalan – persoalan yang terjadi di bumi. Kita jadikan teks suci kita sebagai spirit, sebagai dasar pijakan, dan sebagai legitimasi bahwa benar kita sedang menjalankan perintah Tuhan. Ketika paradigma kita sudah kita ubah niscaya juga akan mengubah pola tindak kita dalam memandang realitas di masyarakat. Persoalan – persolan yang terjadi di masyarakat adalah merupakan tanggungjawab kita untuk ambil bagian dalam menyelesaikannya, bukankah kita mau menjalankan perintah Tuhan.
Patut disyukuri bahwa bangsa kita dihuni oleh saudara – saudara Muslim, kuantitas ini bisa menjadi potensi besar dalam arah memberdayakan ummat ke arah lebih baik. Di ormas – ormas Islam sudah saatnya menjadi isu yang wajib bagi ummat, yakni isu-isu kemiskinan, isu-isu kesehatan, isu kenaikan BBM, isu globalisasi.
Tradisi tetap kita pegang, tapi jangan lupa kita hidup di dunia yang senantiasa berubah. Ummat perlu kita “cuci otak” mereka agar lebih peka pada persoalan kemanusiaan, agamawan harus terus berijtihad dalam persoalan-persoalan sosial, kita harus vokal dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, kita harus punya rancangan alternatif untuk menjawab persoalan bangsa. Dan tentunya semua hal itu bisa terwujud ketika kita umat Islam bisa BERSATU !.
Kita kunci mulut kita untuk berdebat pada persoalan-persolan yang tidak penting, bersikap lapang dada menghadapi perbedaan, dan tidak perlu lah kita mengambil tugas Tuhan untuk menghukum orang “sesat”. Biarlah Tuhan nanti yang menilai, sekarang kita kerjakan hal yang nyata di depan mata kita, harus segera dikerjakan karena penyakit ini perlahan –lahan menggergoti bangsa kita. Tentu kita tidak ingin bangsa ini mati akibat penyakit ini khan?. Mari kita suntikkan vaksin dalam tubuh bangsa ini agar ia kebal terhadap segala penyakit. Vaksin ini dikenal dengan nama Persatuan.


*Fathul Rakhman. Kontributor LKPK Indonesia. Penggiat Jaringan Masyarakat Marginal (JMM) Lombok

[+/-] Baca selengkapnya......

Islam dan Advokasi Kesehatan  

Oleh : Fathul Rakhman*

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita (ummat Islam) banyak menghabiskan energi untuk mengatasi munculnya aliran yang (di) sesatkan. Persoalan tersebut cukup menguras energi, membuat resah ummat dan dapat mendatangkan anarkisme massal. Selain itu, kita juga disibukkan dengan proses pilkada, sebagai mayoritas umat beragama di negara ini, kita melalui partai politik berlabel Islam sibuk untuk dapat beperan dalam politik praktis. Seolah-olah kegiatan utama kita adalah memerangin kesesatan dan menjadi pemaian di pentas politik.

Ditengah kesibukan tersebut, kita dikejutkan oleh beberapa kasus kesehatan yang membuat pemerintah kebakaran jenggot. Kasus Polio di Jawa Barat, Busung Lapar yang hampir disetiap propinsi, Demam Berdarah yang kembali mengganas, Flu Burung yang kembali menghantui, HIV/AIDS yang sudah tidak malu-malu lagi untuk tampil, KLB Diare di beberapa daerah dan ada banyak kasus kesehatan lain yang mungkin tidak terlacak oleh media.

Tentu ini sangat ironi mengingat negara kita yang katanya kaya raya dengan sumberdaya alam justru tertimpa musibah penyakit – penyakit “orang miskin”. Dan lebih menyakitkan lagi justru yang terkena adalah saudara kita yang Muslim. Hal ini tentu menjadi dilematis mengingat jumlah terbanyak penduduk Indonesia adalah beragama Islam.

Kesehatan Ummat
Saya merasa sangat sedih ketika kita sebagai umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa terhadap saudara kita yang tertimpa musibah tersebut. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendemo kebijakan Amerika terhadap Irak dan Afganistan, para ulama sibuk membuat fatwa aliran ini sesat perbuatan itu haram, sehingga kita –sepertinya- melupakan kasus yang menimpa saudara di dekat kita.

Kasus busung lapar merupakan contoh bahwa kepedulian sosial kita rendah sesama ummat, padahal jika kita memberikan sedikit nafkah pada saudara kita tentu tidak akan sampai terjadi busung lapar. Kita menganggap bahwa Islam adalah melulu urusan ibadah shalat,puasa, haji dan urusan sosial adalah urusan pemerintah. Padahal kalau kita melihat Al-Qur’an bahwa ibadah vertikal dan horizontal harus berjalan seiring, bahkan tidak sah ibadah vertikal jika tidak diiringi ibadah horizontal ( QS. 107 : 1-7).

Isu – isu kesehatan di Indonesia seharusnya menjadi perhatian Ormas-Ormas Islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Gerakan dakwah seharusnya bukan hanya ditujukan pada seputar ibadah saja akan tetapi juga menyangkut masalah-masalah sosial, kesehatan salah satunya. Pemberdayaan ummat untuk mencapai masayarakat madani (civil society) tentu hanya akan menjadi utopis jika kualitas SDM kita buruk. Kualitas SDM tersebut dipengaruhi oleh kualitas kesehatan, disamping pendidikan dan ekonomi. Jika kesehatan ummat terpenuhi tentunya ini akan lebih memudahkan untuk melaksanakan aktivitas yang lainnya.

Islam, melalui Ormas Islam hendaknya mampu menempatkan diri sebagai yang terdepan dalam advokasi bidang kesehatan. Memang selama ini ada beberapa kegiatan sosial yang menjadi ujung tombak dalam pelayan sosial terhadap ummat, akan tetapi yang spesifik menangani kesehatan belumlah memadai. Muhammadiyah walaupun sudah ada RS Islamnya, akan tetapi cenderung RS tersebut sebagai badan usaha. Sehingga fungsi pelayanan kesehatan menyeluruh tidak bisa terpenuhi.

Tentunya untuk melakukan advokasi kesehatan ini membutuhkan tenaga yang ahli pada bidangnya. Sudah banyak ummat Islam kini yang ahli dalam bidang ini, sehingga yang dibutuhkan adalah adanya wadah yang bisa menampung tenaga ahli tersebut. Ormas Islam bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

Kedepan diharapkan Ormas Islam bisa lebih mandiri untuk mengelola usaha-usaha advokasi kesehatan dan bisa menjadi ujung tombak dalam peningkatan kualitas kesehatan ummat. Mengingat selama ini kedekatan Ormas dengan pengikut (masyarakat), hal ini bisa menjadi faktor penguat (Strength) dan kesempatan (Opportunity) dalam upaya-upaya tersebut. Tinggal bagaimana memadukan agar dakwah (ibadah) bisa jalan dan fungsi pelayanan sosial bisa berjalan seiring. Dan jika kedua hal ini bisa tercapai maka masayarakat madani bukan lagi menjadi impian, akan tetapi menjadi kenyataan.

Tantangan Kedepan
Masih banyak isu-isu kesehatan yang masih menjadi PR bagi ummat Islam. Belum adanya tafsir terhadap isu – isu kesehatan merupakan penghambat kemajuan Islam dalam bidang kesehatan. Selain menjadi alat advokasi kesehatan, Islam juga dituntut untuk mampu memberikan jawaban terhadap isu – isu kesehatan kontemporer. Selama ini dikalangan ummat Islam masih banyak terjadi perdebatan seputar isu ini.

Beberapa isu kesehatan kontemporer yang mesti dibuatkan penafsiran adalah seputar kesehatan reproduksi, alat kontarasepsi [masih banyak perbedaan pendapat], penanganan Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS, Transplantasi Organ, Sistem Pengobatan Modern dan isu yang lebih besar seputar bayi Tabung dan Kloning serta Rekayasa Genetika.

Ditengah kebuntuan para ahli memberikan solusi terhadap hal tersebut, seharusnya Islam bisa memberikan alternatif.

*Fathul Rakhman. Pengiat Jaringan Masyarakat Marginal (JMM) Lombok. Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas. Kontributor LKPK

[+/-] Baca selengkapnya......

AIDS; Terbelakang Persoalan Klasik  

Oleh : Hariati SKM
Direktur Penelitian Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK Indonesia)


Kemajuan yang dialami saat ini dalam perkembangan Aids di Indonesia adalah semakin meningkatnya penderita Aids secara skala nasional ataupun propinsi. Statistik menunjukkan bahwa keadaan ini hanya merubah kondisi dari data yang lalu menjadi menanjak. Tidak mengalami penurunan ataupun stagnansi. Tapi yang patut dibanggakan adalah fenomena ice berg, atau fenomena gunung es yang selalu dijadikan perkiraan prioritas praduga akhirnya perlahan-lahan mencuat. Beberapa kasus dan penderita Aids kemudian muncul satu-satu dan menjadi puluhan bahkan ratusan kasus. Ini berarti beberapa program telah berjalan dengan baik meskipun hanya untuk menampakkan kasus Aids yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan.

Salah satu model kasus yang ada adalah lambannya mendeteksi penderita HIV/Aids yang masuk ke Rumah Sakit. Ternyata kebanyakan pasien yang dirujuk ke RS sudah dalam keadaan yang lanjut. Yakni pada stadium 3 dan 4 (WHO). Akibatnya kasus yang ternyata kurang tanggap di atasi ini sering sulit ditangani oleh tenaga medis. Sebenarnya beberapa kasus diatas sudah bisa terdeteksi lebih awal, misalnya kasus diare berulang dan TB berulang. Hanya saja dokter atau layanan kesehatan tidak mencurigai adanya suatu keadaan tertentu dari pasien tersebut. Sehingga pada akhirnya saat kondisi manifes baru di ajukan ke Rumah Sakit rujukan dalam keadaan yang jauh lebih lanjut. Preventif dari layanan kesehatan tentang kondisi ini sepertinya kurang dimengerti. Karena perjalanan penyakit ini menuju masa lanjut stadium masih tak diresponi dengan baik. Para dokter juga perlu mengenali kasus-kasus yang mungkin berhubungan dengan infeksi HIV sehingga tidak terlambat.

Memang agak berat menanggulangi HIV/Aids. HIV berada dalam tubuh seumur hidup. Cara penularan juga bermacam-macam. Stigma dan diskriminasi luar biasa dari segala penjuru. Di negara-negara yang tingkat rasionalitas berfikirnya sudah tinggi, masalah HIV/Aids dapat ditangani dengan lebih mudah. Tapi jika kita melihat pemikiran budaya indoensia kita yang beragam, perjalanan penanggulangan HIV/Aids akan menambah waktu semakin panjang dan lama penanganannya. Ini sangat berdampak pada usaha untuk mendeteksi dini keberadaan orang yang HIV/ Aids. Bila seseorang terinfeksi virus HIV/Aids ini cenderung untuk menyembunyikan atau menutup-nutupinya. Makanya, kasus kasus yang bermunculan mungkin telah memberikan tingkat malu yang jenuh dikalangan masyarakat pabila memilih untuk menyelamatkan ODHA atau mengorbankan malu.

Keadaan yang lain dari kondisi ini adalah lingkungan lokalisasi pelacuran yang ada. kasus HIV/Aids di tempat lokalisasi selalu mendatangkan data yang mencengangkan. Karena kondisi ini paling rawan penularan HIV/Aids. Penularan HIV dengan kontak sex adalah yang paling mudah karena akses ke tempat ini relatif mudah (dan murah). Dengan analogi dua dari seratus orang PSK yang positif HIV, akan menularkan pelanggannya yang sering datang berganti pasangan. Tercatat data aktivitas seksual PSK dalam sehari bisa melayani 3 - 5 orang. 5 orang pemakai jasa sex yang sering berganti pasangan dilayani 1 orang PSK yang HIV positif. Buntutnya akan berlanjut ke orang lain yang melakukan kontak sex dengan lima orang pemakai jasa sex PSK. 1 dari lima orang pemakai jasa sex PSK tersebut melakukan kontak sex dengan istri atau pacar atau PSK lain, akan memboomingkan data hanya dalam beberapa hari saja. 1 berhubungan dengan 3, kemudian berhubungan lagi dengan 2 dan seterusnya dalam angka yang tak pasti tapi untuk jumlah yang pasti mencengangkan. Masuk akal bukan.

Begitu pula dengan mereka yang terinfeksi HIV/Aids dari Injecting drugs user (IDU). Satu orang memakai narkoba suntik memakai satu buah spoit dipakai beramai-ramai oleh para IDU akan menularkan virus HIV kebanyak teman pemakai. Analogi hampir sama dengan pemularan dengan kontak sex. Yang menularkan virus lebih cepat dari data yang pernah ada adalah IDU. Ini sempat menjadi ketakutan internasional pada tahun 1997 - 2000 dimana pemakaian IDU memberikan gambaran data yang menularkan HIV lebih cepat. Kondisi ini dijelaskan dengan perilaku pemakai putaw misalnya yang telah pakaw ternyata juga melakukan sex dengan lawan jenis ataupun dengan sesama. Kondisi diperparah dengan penularan HIV double; Suntikan dan aktifitas sex. Ini kasus yang beruntun sulit diatasi laju penularannya. Karena keterlibatan semua pihak harus mendukung kondisi ini.

Saya memaparkan bahwa permasalahan yang terjadi belakangan ini sebenarnya klasik. Kasus pasien yang kurang tertangani pada rujukan layanan kesehatan sebaiknya telah menjadi pandangan para ahli medis sejak tahun-tahun lalu. Misal kasus HIV stadium lanjut sebaiknya harus selalu dibuat standar atau mungkin skoring sistem untuk memudahkan dokter mengenali keadaan yang mungkin berhubungan dengan HIV.

Beberapa contoh telah menjadi kasus yang bebal sejak bertahun-tahun. Ke-klasik-an ini didukung dengan beberapa tema internasional yang sering berulang dari tahun tahun lalu:
1. 2007 - Stop AIDS; Keep the Promise - Leadership
2. 2006 - Stop AIDS; Keep the Promise - Accountability
3. 2005 - Stop AIDS; Keep the Promise
4. 2004 - Women, Girls, HIV and AIDS
5. 2003 - Stigma & Discrimination
6. 2002 - Stigma & Discrimination
7. 2001 - I care. Do you?
8. 2000 - AIDS : Men make a difference
9. 1999 - Listen, Learn, Live: World AIDS Campaign with Children & Young People
10. 1998 - Force for Change: World AIDS Campaign With Young People
11. 1997 - Children Living in a World with AIDS
12. 1996 - One World, One Hope
13. 1995 - Shared Rights, Shared Responsibilities
14. 1994 - AIDS & the Family
15. 1993 - Act
16. 1992 - Community Commitment
17. 1991 - Sharing the Challenge
18. 1990 - Women & AIDS
19. 1989 - Youth
20. 1988 - Communication

Jika ditelaah jauh semua berhubungan dengan kebijakan. Kebijakan adalah jalan akhir dari action lapangan. permasalahan utama ada pada lambannya bentuk penanganan karena program melulu terkucur bukan pada SDM yang handal. Dalam hal ini perlu menetapkan suatu yang ideal tentang permasalahan HIV/Aids yang dijadikan indikator sebagai evaluasi masalah. khususnya kalangan kritikus yang aktif di media, medis yang punya kualifikasi yang baik menangani pasien dan perlunya transparansi program yang menunjang perbaikan kondisi.

[+/-] Baca selengkapnya......

Program Sistem Penjaminan Biaya Pelayanan Medik seharusnya Menjadi Fokus Kegiatan Depkes 5 tahun mendatang  

Oleh Sarmedi Purba

Sistem penjaminan biaya pelayanan medik masyarakat merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan di Indonesia pada saat ini. 90 % rakyat Indonesia tidak dicover dengan asuransi kesehatan atau dana untuk berobat kalau jatuh sakit.

Karena itu fokus program kesehatan pada kabinet Indonesia Bersatu seharusnya menciptakan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan secara bertahap di Indonesia sehingga dalam waktu 5 tahun ke depan telah diletakkan dasar-dasar penjaminan biaya pengobatan yang pada tahapan selanjutunya merencanakan persentasi target coverage sistem ini pada 90% rakyat Indonesia.

Diharapkan dalam kurun waktu 15 tahun 75 % rakyat Indonesia telah memiliki kartu asuransi sakit atau sejenisnya yang dapat menjamin pembiayaan berobat pada masa sakit.

Sebagai perbandingan, Malaysia telah mencapai 85% dan Singapura mencapai 95 % dari penduduknya yang telah memiliki asuransi pengobatan, sedang kita baru sekitar 12%. Hal ini terjadi karena sampai sekarang Pemerintah tidak pernah memikirkan hal ini dengan serius. Kita terfokus pada pengobatan murah melalui Puskesmas dan RSUD dengan subsidi pemerintah. Sekarang instalasi pengobatan itu telah bangkrut karena kewalahan dalam hal pembiayaan khususnya pada daerah miskin.

Saya berpendapat bahwa pelayanan kesehatan masyarakat hanya dapat berfungsi kalau dipenuhi kriteria:

Tersedianya dana penjaminan melalaui asuransi atau dana penjaminan sejenisnya
Tersedianya pelayanan yang tidak membiarkan orang sakit menunggu terlalu lama.
Adanya pengaturan standard pelayanan yang dipatuhi dan diawasi.

Untuk ini perlu deregulasi sitem penjaminan pelayanan kesehatan yang pada saat ini ada pada PT Askes, PT Jamsostek dan Dana BUMN dan asuransi swasta. Dana yang tersedia harus ditata menjadi dana yang realistis dapat menyediakan uang yang cukup untuk pemeliharaan kesehatan pesertanya. Dana yang mubazir harus dikaji ulang sehingga lebih efisien.

Dana yang tersedia dari anggaran pemerintah pusat dan daerah harus difokuskan untuk menambah jumlah peserta asuransi sakit yang sudah ada, tidak untuk membantu rumah sakit yang tidak mampu melayani pasien. Dengan demikian RS dan Puskesmas harus hidup dari banyaknya pasien yang dilayaninya, bukan dari anggaran yang diterimanya dari pemerintah. Dengan demikian instalasi pelayanan kesehatan yang tidak mampu melayani penderita tidak akan mendapat apa-apa sedang yang mampu menarik hati pasien akan menerima imbalan dari dana pasien yang berobat, khususnya pasien yang mempunyai kartu asuransi sakit.

Asuransi kesehatan harus dapat menjamin biaya pelayanan minimal untuk nasabahnya. Yang tidak dapat memenuhi kriteria pembiayaan yang berlaku pada harga pasar tidak diberikan ijin operasional (sekarang ada asuransi kesehatan swasta atau pemerintah yang tidak dapat membayar biaya pengobatan sesuai standard yang baku, dpl. biaya yang diberikan tidak memungkinkan orang sembuh dari penyakitnya alias wanprestasi).

Pelayanan RS sawasta dan pemerintah harus bersaing dan tidak ada yang dianaktirikan atau yang menjadi anak kesayangan. Satu-satunya penilaian untuk RS adalah kemampuannya melayani orang sakit.

Memfokuskan program pada pembiayan pelayanan orang sakit tidak dimaksud untuk mengabaikan aspek-aspek lainnya di bidang kesehatan yang telah dilakukan selama ini, khususnya di bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat preventif, rehabilitatif dan promotif. Dalam bidang-bidang ini tentu harus mendapat perhatian yang proporsional, namun harus diingat bahwa pengobatan penyakit adalah ujung tombak pencegahan penyakit dan yang paling penting adalah pencegahan kematian. Dengan pengobatan yang baik kita serta merta bertindak promotif.

Dr.med. Sarmedi Purba, SpOG, pengamat politk kesehatan
Email: sarmedi@vita-insani.com

[+/-] Baca selengkapnya......