Rasionalisasi Produk Obat Yang Beredar
Artikel Oleh : Iwan Dharmansjah, MD
Sistem registrasi obat di Indonesia dibagi atas 4 periode. Di era 70 an obat didaftarkan berdasarkan surat Menteri Kesehatan No.125/Kab/B.VII/71. tentang peraturan Wajib Daftar Obat. Obat-obatan pada waktu itu ditandai dengan kode No.Reg. D (nomor pendek). Dasar hukum yang digunakan pada waktu itu antara lain adalah Undang-Undang No.9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, Undang-Undang No.9 tahun 1976 tentang Narkotika dan Undang-Undang Obat Keras (St.1937 No.541).
Di tahun 80 an, pendaftaran obat diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 389/MenKes/Per/K/80. tentang Kriteria Pendaftaraan Obat Jadi.
Di tahun 90-an pemerintah kembali merevisi peraturan tentang registrasi obat jadi yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 242/Men.Kes./SK/V/1990 tentang Wajib Daftar Obat Jadi. Sistem pendaftaran obat-jadi ini mulai mempertimbangkan berbagai aspek sebelum obat tersebut diedarkan yaitu khasiat, keamanan dan mutu obat. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dirangkum dalam ”Kriteria Tata Cara Pendaftaran Obat Jadi”.
Era 2001, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan berubah menjadi Badan Pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan Keputusan Presiden No. 43. Tahun 2001.
Tahun 2003, sistem registrasi obat berubah menjadi Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.3.1950 (kontroversial) tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Sistem evaluasi registrasi ini menitikberatkan pada hal-hal perlindungan masyarakat terhadap peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, mutu dan kemanfaatan.
Rasionalisasi Obat Jadi
Negara-negara besar misalnya Norwegia, Australia dan Persemakmuran Inggris lainnya serta banyak negara Uni Eropah umumnya hanya memiliki beberapa ribu item obat dalam berbagai bentuk sediaan. Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah pabrik farmasi berkisar 200 pabrik dan jumlah yang terdaftar ± 18.000 obat. Fragmentasi antara industri asing dan industri swasta nasional memicu banyaknya jumlah produk sejenis (me-too drugs).
Sebagai contoh, amlodipine besylat yang akan habis periode patennya tahun 2007, tetapi kini telah hadir derivat lainnya yaitu amlodipine mesilat. Contoh lain yang lebih kontroversial misalnya Vit B1 (Thiamina) dengan beberapa derivat Vit B1 misalnya tiamina tetrahidrofurfuril, bisbultiamina, bisbentiamina, padahal secara farmakologis dan klinis obat ini memberikan efek yang sama dan tidak berbeda. Ini adalah ulah pabrik berlindung dibawah hak paten yang memberikan keuntungan besar tanpa faedah produk.
Beberapa contoh obat yang tidak menunjukkan efek klinis, misalnya metisoprinol (Isoprinosine®), citikolin, pyritinol, carbazochrome, Neo Minophagen® dibiarkan beredar oleh BPOM. Di banyak negara lain obat-obat bohong seperti ini tidak dipasarkan. Cisapride (Prepulsid®, Janssen Pharmaceutica), suatu obat yang banyak diresepkan, telah ditarik dari peredaran di AS (’voluntary withdrawn from the market’) oleh produsennya. Obat ini menimbulkan efek samping berupa aritmia jantung, henti jantung dan kematian mendadak, namun masih gembira beredar di Indonesia.
Selain permasalahan administratif dan perbedaan sudut pandang dari regulator terhadap obat-obatan yang boleh didaftarkan atau yang tidak diizinkan, banjir obat-obatan tersebut diperparah melalui jalur obat import atau obat lisensi. Obat import atau lisensi tersebut masuk melalui jalur perusahaan cooperation, atau diimport oleh distributor farmasi dengan model maakloon. Beberapa obat import masuk dari negara Arab atau EU adalah obat branded generik, padahal obat tersebut adalah obat biasa tanpa teknologi canggih dan telah banyak diproduksi di Indonesia..
Suburnya pembuangan obat ke Indonesia terkadang menjadi handicap tersendiri bagi kita. Kurangnya informasi akan keberadaan produk dan produsen tersebut di luar negeri membuat kita terus menerima obat sampah tersebut.
Mutu Penilaian Obat Jadi di Indonesia
Proses pendaftaran obat baru dan obat variasi di Indonesia saat ini telah terkontaminasi dengan keinginan sejumlah industri melakukan perdagangan tidak sehat. Industri selalu mengedepankan masalah investasi dan pemanfaatan tenaga kerja. Sering Indonesia merupakan negara ke 5 di dunia atau negara kedua di ASEAN yang menerima kehadiran obat baru (New Chemical Entity). Pemerintah (Departemen Kesehatan dan BPOM) memang perlu menjamin tersedianya obat yang dibutuhkan masyarakat dan proses pendaftaran memang dilakukan secepat mungkin tetapi tanpa harus mengurangi jaminan atas khasiat, keamanan dan mutu obat.
Penarikan obat yang tidak rasional pernah terjadi tahun 1991 sesuai SK Menkes No.725a/ Men.Kes/SK/XI/1989, yaitu penarikan dari peredaran sebanyak 285 produk obat jadi dari berbagai kelas terapi antara lain obat diare, antibiotik kombinasi, ekstrak hati, enzim proteolitik, perangsang napsu makan, hepatoprotektor dll. Selanjutnya penarikan obat dilakukan secara gradual, antara lain misalnya astemizole, cisapride (belakangan beredar kembali), fenfluramin, dll.
Dengan masuknya perdagangan global dan harmonisasi dibidang farmasi, peraturan mengenai registrasi perlu segera disempurnakan kembali, sehingga dapat memberikan pertimbangan perlindungan yang optimal pada masyarakat. Informasi yang berkaitan dengan efficacy and safety dapat mengacu kepada beberapa peraturan dinegara lain, misalnya WHO Guidelines, The European Agency for the Evaluation of Medicinal Products (EMEA), Food and Drug Administration (FDA), Therapeutic Goods Administration (TGA) dan Current Good Manufacturing Practices (cGMP).
KesimpulanSesuai dengan suatu kebijakan obat nasional (yang di Indonesia tidak ada (exist)), tujuan utama pendaftaran obat jadi adalah agar obat yang beredar mempunyai khasiat nyata dan aman (safety), berkualitas dan merupakan produk yang dibutuhkan di Indonesia. Hal lain yang perlu dipertimbangkan antara lain ialah ketersediaan (availability), aksesabilitas (accessability), dan pengendalian produk yang beredar. Banyaknya obat yang beredar di Indonesia menjadi salah satu pemicu mahalnya harga karena terjadinya perang marketing yang tidak rasional. Mahalnya harga obat meningkatkan belanja kesehatan (drug expenditure) masyarakat yang ikut memicu inflasi negara. Untuk mengatasi banjirnya ”obat-obatan” yang tidak jelas dan terciptanya pasar obat yang sehat, perlu dilakukan kembali rasionalisasi obat yang beredar secara besar-besaran. Harapan baru ini diharapkan dapat menjadi wacana baru bagi seorang kepala BPOM yang baru, sebelum diterapkannya standar cGMP (current Good Manufacturing Practices) dan PIC (Pharmaceutical Inspection Convention), rasionalisasi tentunya menjadi unsur utama dalam penyediaan obat di Indonesia.
CATATAN :
Tulisan ini hanya membahas obat yang terdafaftar resmi (registered) di BPOM dan tidak membahas tentang obat illegal import (obat dan food suplement).
0 komentar: to “ Rasionalisasi Produk Obat Yang Beredar ”
Posting Komentar