Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Mengatur Kesehatan Dengan Pikiran Tidak Sehat  

Artikel Oleh : Kwik Kian Gie

Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 069/Menkes/ SK/II/2006 tanggal 7 Februari 2006 menimbulkan keresahan di kalangan industri dan pedagang farmasi. Inti SK itu ada yang baik, bahkan seharusnya demikian, tetapi bukan barang baru.
Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di manapun di dunia ini bahwa pada bungkus obat harus dicantumkan rincian isinya, terutama kandungan generiknya. Kalau keharusan ini baru Februari 2006 ditetapkan, maka sudah sangat ketinggalan. Sangat lama dan kebiasaan yang mendarah-daging bahwa komposisi obat yang dijual dicantumkan dalam bungkusnya.
Anehnya, Menkes merasa perlu mengatur tetek bengek yang sangat menggelikan. Kalau hanya geli tidak apa-apa, tetapi landasan pikiran ekonominya juga sangat aneh, bahkan bertentangan dengan arus pikir utama dari kebijakan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu.

Mari kita telusuri dan analisis. Tentang bentuk informasi yang harus dicantumkan di bungkus obat yang disebut 'label'. Ukuran besar huruf harus tidak kurang dari 80% dari ukuran huruf merk dagang atau nama pabriknya. Yang pokok, informasi yang tercantum pada bungkus itu terbaca dan tidak ada konsumen yang mengajukan keberatan karena terlampau kecil.

Kalaupun dianggap terlampau kecil, ukurannya itu yang diatur. Misalnya, ukuran itu tidak boleh lebih kecil dari sekian milimeter.

Kalau cara mengaturnya tidak boleh kurang dari 80% dari nama merk atau nama pabrik, maka bagaimana kalau ada pabrik yang mencantumkan nama merk atau nama pabriknya demikian kecil sampai tidak terbaca? 80% dari yang sudah tidak terbaca ini lebih tidak terbaca lagi.

Memusuhi produsen

Jadi, yang ingin diatur adalah perbandingan ukuran antara nama merk/pabrik dan informasi tanpa peduli apakah informasinya terbaca atau tidak. Ini namanya bukan mengatur kesehatan, tetapi menyatakan iri hati dan memusuhi produsen obat.

Bentuk atau model huruf dan warna yang dipakai untuk memberi informasi tentu harus sama dengan yang dipakai untuk nama merek dan nama pabrik. Lho, ini apa-apaan? Apa relevansinya dengan kualitas informasi?

Lagi-lagi, kalau selera pabrikan tentang huruf dan warna kampungan, informasinya juga harus dengan huruf dan warna yang kampungan? Ini bukan zaman komunis lagi bung!

Dulu setiap manusia RRC harus mengenakan baju berwarna biru tua model Mao Tse Tung dengan kerah tertutup dan topi yang khas. Semuanya harus seragam.

Tetapi sekarang tidak lagi. Karena tidak dibolehkannya mempunyai sense of individualism dalam selera dan estetika inilah yang antara lain membuat sistem komunis bangkrut.

Kok sekarang spirit ini mau diterapkan di bidang obat-obatan? Saya mengerti pentingnya memberi informasi kepada masyarakat pemakai obat. Tetapi saya tidak mengerti mengapa yang diatur dalam SK tersebut kok yang tetek bengek begini. Bukankah ini seperti kurang kerjaan saja?

Sekarang bagaimana kalau ada obat impor yang tidak memenuhi persyaratan SK itu? Apa benar pemerintah yang diwakili oleh Menkes berani menyetop impor obat tersebut?

Bukankah akan berbenturan dengan seluruh Tim Ekonomi kabinet yang aliran pikirnya liberal total, mekanisme pasar total, globalisme total? Bukankah pula kita sudah menggantungkan diri pada kesediaan masuknya investor asing, dan bukankah kita menganut paham perdagangan bebas?

Karena SK Menkes itu meliputi obat ethical, dapatkah pabrik sangat besar yang begitu vital untuk kesehatan manusia didikte oleh SK Menkes mengenai bagaimana cara menuliskan di bungkusnya? Sebagai contoh, kalau Roche dalam kemasannya untuk obat Tamiflu berlainan dengan SK Menkes, maka obat tersebut akan dilarang masuk ke Indonesia, seandainya kita nanti terlanda epidemi flu burung, bagaimana?

Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sudah mempunyai pengalaman yang sangat lama. Kepala beserta seluruh staf Badan POM memiliki keahlian yang rasanya melebihi Menkes di bidang melindungi rakyat dari penyalahgunaan oleh para produsen obat.

Badan POM juga mempunyai hubungan sangat baik dengan track record sangat panjang dengan para produsen obat. Mengapa tidak diserahkan saja kepada Badan POM? Dan Menkes mengurusi masalah yang gawat saja, seperti flu burung, HIV/AIDS, aspek kesehatan dari busung lapar, gejala banyaknya rakyat miskin yang menjadi gila, dan hal-hal seperti ini.

Ketentuan HET

Kemudian tentang aspek ekonomi dari SK tersebut. Ada ketentuan tentang pencantuman harga eceran tertinggi (HET). Ini artinya HET harus dicetak di kertas pembungkus.

Kita tahu bahwa mencetak yang ekonomis itu mempunyai skala yang besar. Kalau HET berubah-ubah, apakah setiap kali berubah, produsen obat harus memusnahkan bahan pembungkus atau label? Ataukah HET tidak akan diubah sepanjang masa?

Lantas siapa yang menentukan HET? Mekanisme pasar atau pemerintah?

Kalau mekanisme pasar, ya tidak ada HET. Kita memang memiliki Pasal 33 dalam konstitusi kita (UUD 1945) yang intinya menyatakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk dipakai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apakah obat bebas atau yang kita kenal dengan istilah over the counter (OTC) menguasai hajat hidup orang banyak?

Supaya lebih gamblang, apakah yang dimaksudkan dengan vital? Ya, karena kalau sedang sakit dan tidak diobati dalam kondisi yang ekstrem, manusia bisa mati. Tetapi dalam kondisi yang normal, hidup menjadi tidak nyaman, karena rasa sakit, mual, panas badan tidak mau hilang, tentu sangat mengganggu.

Mari kita kaji lebih dalam arti vital itu? Yaitu, kalau barangnya vital dan sekaligus pasokannya terbatas.

Oksigen sangat vital, karena tanpa zat ini dalam waktu sekitar 10 detik otak manusia rusak. Tetapi apakah oksigen harus dikontrol oleh pemerintah? Bagaimana cara mengontrolnya?

Oksigen terdapat dalam udara yang kita hirup. Jadi, vital belum tentu memenuhi persyaratan Pasal 33 UUD 1945.

Masih kurang satu faktor, yaitu kalau pasokannya sangat terbatas atau dikuasai oleh monopoli. Kita semua tahu bahwa dalam hal OTC, persaingan antarprodusen sudah begitu hebat, sehingga sudah bisa menjamin kualitas yang baik dengan harga terjangkau. Jadi, tidak perlu dikuasai negara.

Kalau kebijakan Menkes tentang penentuan harga obat OTC kita proyeksikan pada kebijakan pemerintah di bidang BBM, lebih-lebih lagi kontrasnya dalam arti saling berbenturan. Bahkan bukan benturan lagi, tetapi frontal tabrakan dalam kecepatan tinggi sampai total loss.

BBM jelas vital, karena pasoknya terbatas dan bentuknya dimonopoli Pertamina dengan tugas mengadakan dengan harga yang terjangkau rakyat banyak.

Kabinet menentukan bahwa harga BBM harus selalu mengikuti harga yang ditentukan mekanisme pasar yang dikelola administrasinya oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX). Acuannya adalah pasal tertentu dalam Undang-Undang Migas, yang membuat Mahkamah Konstitusi menyatakan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Tetapi pasal inilah yang justru dipakai pemerintah sebagai acuan untuk menaikkan harga BBM sampai harga premium lebih tinggi dari US$60 per barel (yang ditentukan oleh NYMEX) ketika itu. Dengan turunnya harga minyak mentah dunia, harga premium kita sekarang semakin lebih tinggi lagi.

Pemerintah tidak peduli dianggap melanggar konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, dampaknya menimpa Menkes, yaitu penyakit merajalela, busung lapar, kekurangan gizi, pengangguran yang membuat orang linglung.

Oleh Kwik Kian Gie
Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas