Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Mungkinkah Mengaplikasikan Filosofi Semut Dalam Manajemen Pembangunan Kesehatan?  

Oleh : Aslan S.Ked

Tesis awal yang mestinya menjelma sebagai titik tekan ialah tak ada sesungguhnya keanehan di alam ini, ia sekedar rangkaian mekanisme yang antara satu dengan yang lain bertaut erat, sekecil apapun itu niscaya memiliki keterkaitan dengan hal lain di alam ini, terlepas dari cara kita memaknai (memandang).

Pun boleh jadi sesungguhnya; kita menisbatkannya sebagai ‘aneh’ atau gila sebagai pengakuan tak langsung kita, betapa terbatasnya pengetahuan dan pengalaman hidup kita. Usia bumi sebagai satu noktah kecil di jagad ini bila hendak dibandingkan dengan usia manusia sebagai satu spesies, ternyata lumayan tua.
Ada banyak pelajaran besar yang bisa kita reguk dari bumi beserta unsur-unsur penyusunnya. Mulai dari angin yang tak lelah bertiup, laut yang luar biasa (inipun masih dapat kita telaah apakah sebagai gelombang laut, arus pasang surut atau potensi yang lain) ternyata berperan besar dalam proses transfer energi bagi segenap biota, atau gerak lempeng jauh di dasar bumi yang ternyata tak pernah diam bergerak guna eksisnya kehidupan di planet, dan masih banyak tak berhingga sumber belajar yang melimpah.

Semut sebagai sumber belajar dan pembanding, ditilik dari mekanisme kerja organisasional mereka, memang menyediakan nilai berharga yang terkadang kita sadari atau tidak, berfaedah dalam proses akselerasi dan pengembangan kinerja organisasi. Sejatinya tak ada yang baru dari organisasi semut, baik itu kerjasama kelompok maupun individu yang gesit; manusia telah jauh hari mengenal pola-pola itu. Katakanlah misal seperti pembagian tugas tiap-tiap semut untuk terus mencari sumber makanan baru bagi kelompok, telah lama kita kenal baik sejak zaman dulu apalagi sekarang, hanya memang ada aspek tertentu yang mulai lapuk di dalam organisasi manusia seperti lenyapnya ‘sense of belonging’ padahal itu prasyarat pokok dari kemajuan, ada kecenderungan bagi tiap pekerja dan elemen organisasi lainnya bahwa pekerjaan dan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka dalam institusi kerja berhenti hanya sebatas tunainya tugas. Kita belum lagi mengakui bahwa institusi tempat kita bekerja adalah bagian dari ‘kedirian’ kita, sesuatu yang tak boleh lepas dari intensitas penghayatan hidup, ini penting, kenapa? Bukan saja karena kita dan institusi/organisasi tadi punya relasi erat dengan diri kita tetapi lebih dalam dari itu ialah dengan bekerja kita mengalami rasa bermakna. Nah, kebermaknaan ini bila dikelola dengan sempurna niscaya akan menjelma energi besar yang bahkan manfaat yang akan diperoleh bisa membuat kita tercengang.
Kasus negara India yang menunjukkan gelagat bakal tampil sebagai salah satu pilar ekonomi Asia bersama-sama dengan Jepang, Cina dan Korsel, menjadi bukti, betapa sebuah kemajuan hanya mampu dicapai bila dimulai dengan melakukan gerakan penyadaran. Kontinuitas penyadaran tadi harus terus menerus dipromosikan dan disegarkan. Atau kita juga dapat meneropong Jepang sebagai contoh betapa suatu masyarakat yang mempunyai etos kerja dan tak kenal mundur akan menuai hasil dalam berbagai bidang. Selalu sulit memang, untuk memisahkan antara kemajuan institusi baik dalam lingkup terbatas atau lebih besar, dengan bangunan keyakinan plus nilai yang dijadikan patron dalam pola interaksi.
Di titik ini, setidaknya pelajaran tentang semut bisa menjadi saat ‘jeda’ bagi kita untuk merenung betapa semut yang kecil, dalam organisasi mereka telah menerapkan prinsip pembagian kerja dan tiap elemen berupaya untuk mencari dan membentuk rantai pasok bagi keberlangsungan organisasi yang lebih besar. Kegigihan mereka dalam membangun jaringan kerja dan selalu menggunakan informasi terdahulu (satu ekor semut yang mendapati sumber makanan akan mengajak kawan yang lain untuk bekerja bersama) menyadarkan bahwa kita belum maksimal dalam berusaha; dimana ada jurang antara tujuan organisasional dengan tujuan individual, padahal idealnya keduanya saling mendukung, artinya yang satu menjadi tiang penyokong bagi yang lain, tentunya disesuaikan dalam batas-batasnya.
Dalam bidang kesehatan, pelajaran yang diperoleh dari semut, penting diterapkan. Semut bekerja dengan mengandalkan kegesitan individu, dalam tujuan besar eksisnya kelompok atau kumpulan semut. Ini menarik, apalagi di bidang kesehatan, memang mensyaratkan keterpaduan antara berbagai elemen pendukung; mulai dari pelaksana teknis di lapangan hingga ke meja-meja para pengambil kebijakan. Dalam prakteknya, gagalnya suatu program besar kesehatan terjadi hanya karena tidak ada koordinasi antara berbagai komponen yang terlibat. Intelijensi kerumunan, pengembangan jaringan dan intangible asset adalah kekayaan berharga jika dan hanya jika dikelola dengan profesional. Jadi penanaman rasa memiliki dan tanggung jawab pada seluruh komponen niscaya akan mencipta suatu perubahan besar bagi pelayanan kesehatan secara makro. Dalam prakteknya, kita menjumpai berbagai egoisme sektoral, yang satu menganggap diri lebih paham persoalan lalu kemudian memaksakan keinginannya tanpa tahu pasti problem utuh yang dihadapi.
Menyediakan waktu untuk menerapkan hikmah dibalik karya semut, setidaknya akan memberi pencerahan baru dalam pengelolaan kesehatan secara global di negeri kita. Pun di sini kita akan bersua dengan sejumlah problem klasik yang memang harus dicarikan solusi, katakanlah dari semut kita melihat adanya pembagian hasil kerja yang adil setelah masing-masing individu berkarya. Artinya tema tentang kesejahteraan juga patut menjadi titik api konsentrasi, itu bila gambaran dari kinerja profesionalisme ingin eksis, aplikasi keilmuan dari tenaga kesehatan akan lebih maksimal bila telah ada kemerdekaan secara ekonomi dan finansial, agar tenaga kesehatan bisa optimal dalam berkarya. Kemudian penyusunan kebijakan juga mesti mewadahi segenap aspirasi dengan tetap mendasarkan diri pada analisa kebutuhan yang logis rasional. Poin-poin ini merangkum pula hal-hal seperti penyusunan anggaran, pelaksanaan program, kontrol dan evaluasi, dengan tidak menihilkan peran masyarakat sebagai yang paling berkepentingan.
Pelajaran tentang pengembangan jaringan dari ‘teori semut’ menyentak kita untuk sesegera mungkin menjalin koneksi dengan semua elemen lain termasuk media massa dan kelompok organisasi lain demi maksimalnya pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan sedapat mungkin dapat menempatkan manusia sebagai manusia, sebuah teropong utuh tentang bagaimana menghargai kemanusiaan dan kehidupan. Ini bermakna bahwa selalu ada relasi antara berbagai hal di muka bumi ini, mustahil kita berbicara kesehatan jika : “lingkungan rusak, kemiskinan sistemik yang semakin menjadi-jadi, korupsi sebagai penyakit mental, hubungan pergaulan hidup masyarakat yang semakin mengenaskan dan lain sebagainya”.
Menilik dan mengembangkan bidang kesehatan dengan mengambil hikmah dari ‘perilaku semut’ menyadarkan kita betapa senantiasa ada proses saling membutuhkan antara satu variabel dengan variabel lain dalam hidup ini.


1 komentar: to “ Mungkinkah Mengaplikasikan Filosofi Semut Dalam Manajemen Pembangunan Kesehatan?

  • Anonim
    7:44 PM  

    [url=http://levitranowdirect.com/#ehjpr]levitra online[/url] - levitra online , http://levitranowdirect.com/#wukwh buy cheap levitra