Kajian Anggaran Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan
Sabtu, Januari 13, 2007
Kesehatan adalah pangkal kecerdasan, produktifitas dan kesejahteraan manusia. Kesehatan merupakan penentu kualitas sumberdaya insani. Tanpa kesehatan karyawan, perusahaan akan kehilangan daya kerja karena absensi sakit meningkat, hingga target produksi tidak tercapai dan kerugian menjelang.
Menurut UNDP, derajat kesehatan bersama tarap pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat menjadi penentu indeks pembangunan manusia (human development index, HDI). Karena itu kesehatan harus dimiliki dan dilindungi, menjadi hak fundamental setiap individu.
Kesehatan sebagai hak fundamental setiap individu dinyatakan secara global dalam Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia, dan secara nasional dalam amandemen UUD 1945 pasal 28-H dan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
Namun, pemenuhan hak tersebut menghadapi kendala biaya, karena pendanaan kesehatan yang amat terbatas (jauh dibawah 5% PDB yang dianjurkan WHO) disertai kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan. Berkaitan dengan pembiayaan kesehatan tersebut ada beberapa pertanyaan makro yang menurut WHO perlu dijawab dan jawabannyaakan menunjukkan seberapa besar perhatian terhadap pembiayaan kesehatan di suatu Negara. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah; seberapa besar pembiayaan kesehatan di suatu Negara (terhadap GDP)?, bagaimana tingkat perbedaan yang terjadi antar wilayah?, darimana sumber pembiayaan kesehatan didapatkan? (pajak, asuransi kesehatan sosial, asuransi kesehatan komersil, dana bantuan atau ‘out of pocket’)?
Keterbatasan pendanaan kesehatan di Indonesia dinyatakan antara lain oleh pengeluaran kesehatan yang berkisar sekitar USD 18.00 perkapita pertahun atau USD 1.50 perkapita perbulan, seharga tidak lebih dari tiga bungkus rokok (A. Gani, 2001). Dalam dekade terakhir, beberapa studi menunjukkan bahwa total pendanaan kesehatan tidak melebihi 2,7% PDB, yang 70% nya berasal dari masyarakat dan hanya 30% nya berasal dari pemerintah. Sebagian besar dana yang berasal dari masyarakat berbentuk out of pocket yang tidak efektif memelihara kesehatan dan memberatkan beban individu. Sedangkan dana kesehatan pemerintah yang sedikit itu, digunakan untuk subsidi yang tersebar di semua lini pelayanan kesehatan, hingga tidak cukup terarah untuk mengangkat derajat kesehatan penduduk miskin yang membutuhkan dukungan terbesar.
Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan tekonologi canggih, karakter ‘ supply induced demand’ dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeratif, serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan dan karenanya harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini.
Solusi masalah pembiayaan kesehatan harus mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan agar melebihi 5% PDB sesuai rekomendasi WHO, dengan pendanaan pemerintah yang terarah untuk kegiatan public health seperti pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, promosi kesehatan serta pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Sedangkan pendanaan masyarakat harus diefisienkan dengan pendanaan gotong-royong untuk berbagi risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan semesta.
Masalah Pembiayaan Kesehatan Propinsi Sulsel
Secara konseptual, sistem pelayanan kesehatan berjalan berdasarkan pemahaman akan makna public goods dan private goods. Pemahaman mengenai public goods dan private goods ini penting dalam menganalisa kebijakan pendanaan (anggaran) kesehatan. Konsep welfare state menyatakan bahwa pelayanan public goods seharusnya dibiayai oleh negara melalui mekanisme pajak. Dalam hal ini kesehatan merupakan salah satu sektor kehidupan yang mempunyai banyak pelayanan yang bersifat public goods. Secara normatif memang ada pernyataan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak bagi setiap warga untuk menerimanya, seperti yang tercantum dalam UUD 45. Namun fakta berbicara lain karena biaya untuk pelayanan kesehatan sebagai public goods yang dibiayai oleh negara ternyata tinggi. Akibatnya, membutuhkan sumber keuangan yang besar. Negara yang mempunyai persentase besar sumber pendanaan oleh negara hanyalah negara-negara kaya. Di negara-negara yang tidak kaya seperti Indonesia, sumber pendanaan lebih banyak berasal dari masyarakat.
Masalah utama saat ini yang dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan adalah sumber daya yang semakin lama semakin sulit mengejar kebutuhan pelayanan. Sumber daya ini berasal dari pemerintah dan swasta dengan persentase dari swasta relatif semakin membesar sehingga muncul masalah baru yang berkaitan dengan akses ke pelayanan kesehatan dan semakin rendahnya mutu pelayanan kesehatan masyarakat karena kurangnya subsidi pemerintah. Secara garis besar pihak swasta membiayai sekitar 70% total pendanaan (Biro Keuangan Depkes, 2001 dalam Trisnantoro 2005).
Apabila dibandingkan dengan total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), maka proporsi anggaran pemerintah untuk Depkes relatif kecil, sekitar 2,6%. Proporsi yang kecil ini menunjukkan bahwa pemerintah propinsi Sulawesi Selatan belum memberikan prioritas pada pelayanan kesehatan. Sebagai perbandingan tahun 2006, dari total APBD propinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,611 trilliun, alokasi untuk sektor pendidikan sebesar 1,179 trilliun (17,83%) sedangkan anggaran sektor kesehatan hanya sebesar 456,385 milyar (6,9%). Sangat menarik terlihat disini adalah kenyataan bahwa anggaran untuk sektor kesehatan lebih banyak berasal dari pinjaman dan bantuan luar negeri (PHLN). Dari total alokasi anggaran kesehatan (330, 879 milyar), sebanyak 35,382 milyar (10,69%) berasal dari pinjaman luar negeri. Sedangkan di sektor pendidikan, pinjaman luar negeri hanya sebesar 415 juta (0,04%). Secara rinci, data mengenai sumber pendanaan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan TA. 2006 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Rekapitulasi Perbandingan Anggaran Pendidikan dan Anggaran Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan TA. 2006
DEPARTEMEN
SUMBER DANA
JUMLAH
APBN
PHLN
APBD
Dep Diknas
1.113.729.079.000
415.000.000
64.721.730.184
1.178.865.809.184
Dep. Kesehatan
295.496.727.000
35.382.932.000
95.505.584.848
456.385.243.848
TOTAL
4.510.953.586.000
735.949.471.000
1.364.539.622.330
6.611.442.661.330
Sumber data: Diolah dari data Laporan Bappeda Sulsel 2006
Apabila kita bandingkan, secara nominal memang terjadi peningkatan anggaran kesehatan dalam APBD Sulsel selama empat tahun terakhir (tahun 2003-2006). Kalau pada tahun 2003 alokasi APBD untuk bidang kesehatan hanya sebesar 75,478 milyar, maka pada tahun 2004 meningkat menjadi 80,484 milyar, tahun 2005 menjadi 101,948 milyar dan pada tahun 2006 menjadi sebesar 95,505 milyar. Namun apabila kita bandingkan terhadap APBD total, prosentase peningkatan anggaran kesehatan tidak mengalami peningkatan, cenderung tetap, yakni 5,9%, 6,2%, 6,9% dan 6,9%.
Data diatas menunjukkan bahwa perkembangan sumber dana untuk kesehatan masih memprihatinkan. Prioritas yang rendah terhadap pendanaan kesehatan menunjukkan bahwa penghargaan bangsa dan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan masih buruk. Hal ini didasari karena kegiatan peningkatan kesehatan merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu panjang untuk membuktikan hasilnya, bukan suatu kegiatan jangka pendek yang akan terlihat hasilnya seperti membangun jembatan. Dengan demikian, Indonesia masih menunggu waktu sampai terjadi peningkatan apresiasi bangsa dan masyarakat terhadap kesehatan sehingga investasi untuk pelayanan kesehatan dapat layak (Trisnantoro, 2005).
Padahal kalau kita kaji lebih jauh, peningkatan anggaran yang dikucurkan untuk sektor pendidikan sampai 20% dari total APBD tidak akan banyak berarti apabila siswa/murid yang akan menerima pelajaran berada dalam kondisi tidak sehat. Dengan kata lain, pelajar dan mahasiswa tidak akan mencapai prestasi yang diharapkan kalau tidak didukung oleh jasmani yang sehat. Kurangnya perhatian terhadap kesehatan akan menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan keluarga yang rendah cenderung akan menghasilkan generasi yang tidak sehat dalam artian mempunyai kecerdasan dan kemampuan fisik dibawah rata-rata (standar). Anak yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan fisik yang rendah, walau diintervensi sebaik apapun dalam pendidikan, tidak akan pernah bisa mencapai prestasi seperti anak yang sehat, yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan fisik yang tinggi.
Kita tahu bahwa tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7 sampai 14% pada periode 1990-2000. Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya.
Salah satu hal yang dapat menjelaskan mengapa anggaran kesehatan cenderung tidak berkembang adalah kurangnya advokasi dari Departemen Kesehatan untuk meyakinkan pemerintah akan pentingnya sektor kesehatan untuk menunjang pembangunan nasional. Tidak adanya advokasi dari departemen kesehatan menyebabkan rendahnya kesadaran pengambil keputusan akan pentingnya arti kesehatan. Kebanyakan para pengambil keputusan menganggap pelayanan kesehatan tidak bersifat produktif melainkan konsumtif karena itu tidak diprioritaskan.
Hal lain yang dapat menjelaskan mengapa tidak terjadi peningkatan alokasi anggaran kesehatan adalah sikap pemerintah sendiri yang cenderung membatasi perkembangan ekonomi pelayanan kesehatan. Jarang dilakukan inovasi-inovasi politik dan ekonomi yang dapat mengembangkan kegiatan di sektor kesehatan. Dengan tidak adanya inovasi, maka laju pembangunan kesehatan di indonesia menjadi terhambat misal adanya fenomena dokter yang menganggur walaupun secara rasio masih sangat dibutuhkan. Apabila pemerintah masih bersikap seperti ini, bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali gagal dalam mewujudkan pembangunan kesehatan untuk mencapai Indonesia Sehat 2010.
Arah Kebijakan Anggaran Pemerintah Saat ini
Dalam RAPBN 2007, setidaknya terdapat dua permasalahan substansial, yaitu perumusan anggaran dan permasalahan teknis. Pertama, pada RAPBN 2007 total pembayaran pokok dan bunga utang adalah 173,4 Triliun (24,3%) dari jumlah penerimaan negara yang sebesar 713,5 Triliun. Kemudian dari jumlah penerimaan negara tersebut 505,9 Triliun (71,17%) didapat dari perpajakan. Selanjutnya, dari sektor perpajakan tersebut yang dapat menjadi proxy atas pajak yang benar-benar dibebankan kepada rakyat adalah PPh dan PPN (418,3 T). Jadi, jika PPh dan PPN itu dibandingkan dengan pembayaran hutang pemerintah, maka masyarakat diharuskan membayar 41,45% atas hutang-hutang yang jauh dari manfaat bagi kehidupan mereka sendiri. Oleh karena besarnya porsi pembayaran hutang tersebut, maka bagian untuk memenuhi kebutuhan rakyat menciut. Sektor pendidikan dialokasikan hanya sebesar 51,3 Triliun (10,3% dari belanja Pemerintah pusat yang sebesar 496 Triliun); sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan hanya 10,1 Triliun (2,04%); sektor kesehatan sebesar 15,30 Triliun (3,08%); sedangkan sektor tenaga kerja sebesar 1,05 Triliun (0,06%). Dari proporsi kebutuhan rakyat yang mendasar tersebut, pembayaran bunga utang dari belanja pemerintah pusat memiliki porsi yang paling besar yaitu sebesar 17,15%. Tentu saja secara faktual, kita bisa merasakan bagaimana tingkat mudharat atau kezaliman pemerintah kepada rakyat atas hutang yang ditanggung. Tidak ada azas kebermanfaatan hutang, jika ternyata hak-hak kehidupan atas rakyat justru semakin terkuras.
Kedua, proporsi anggaran untuk rakyat yang sangat kecil tersebut, tidak dibarengi dengan tingkat efektivitas dan efisiensi dari program-program kerja yang dijalankan pemerintah, bahkan program kerja unggulan sekalipun yang disampaikan pada pidato presiden 16 agustus silam. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa hal. Pertama, terdapat program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) pada sektor pendidikan. BOS secara spesifik ternyata bukan ditujukan untuk peserta didik yang tergolong miskin. Karena kenyataannya proporsi anggaran untuk peserta didik miskin sangatlah kecil. Perhitungan kasar saja pada tahun 2006, jika jumlah siswa miskin yang bersekolah, dikalikan dengan satuan biaya pendidikan yang harus ditangungnya, maka dapat diambil jumlah yang hanya senilai 2,6 triliun dari 11,7 triliun BOS yang benar-benar dinikmati oleh rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan. sementara itu, penduduk miskin yang tidak bisa menikmati sekolah melalui manfaat dana BOS berjumlah 2,5 juta orang. Kedua, sektor kesehatan. Bantuan kesehatan rakyat oleh pemerintah hanyalah melalui ASKES (Asuransi Kesehatan). Kitapun mengetahui bahwa dana kesehatan tersebut tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Begitu banyak pertanyaan seputar kebijakan pemerintah tersebut. Sudah cukupkah ASKES memenuhi kebutuhan rakyat atas kesehatan? Atau apakah pelayanan yang diberikan berjalan secara baik atau tidak? Apakah orang yang masuk ke rumah sakit dan menggunakan dana ASKES sudah tepat berasal dari orang miskin? Realitas berbicara bahwa mayoritas rakyat miskin hanya memanfaatkan Puskesmas sebagai tempat mendapatkan pelayanan kesehatan. Bukan ke rumah sakit yang dinilai memberatkan dari segi biaya. Ironisnya, pemerintah justru memberikan subidi paling besar justru ke rumah sakit dan bukan ke puskesmas. Berdasar data RKP (rencana kebijakan pemerintah) 2007 Pengeluaran untuk rakyat miskin terbesar untuk subsidi pada Rumah Sakit, 2,5 kali lebih besar dari puskesmas. Ketiga, Untuk rumah dan air bersih. Pemerintah memiliki program sejuta rumah. Jika ditelusuri lebih lanjut, tidak seluruh realisasinya benar-benar tepat sasaran bagi rakyat miskin. Bahkan target program sebenarnya adalah untuk keluarga yang berpendapatan rendah (low income). Pemerintah akan memberikan pinjaman untuk mendapatkan rumah kalau bankable. Artinya Bank mau memberi pinjaman kalau ada pendapatan tetap. Lalu bagaimana dengan orang-orang miskin yang memang tidak memiliki pendapatan tetap. Otomatis yang bankable ini relatif bukan orang miskin. Oleh karena itu target perumahan bisa dipertanyakan. Air minum PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) pun hanya dinikmati sebesar 7% bagi kelompok termiskin. Seharusnya dipahami bahwa subsidi yang diberikan harus benar-benar dapat dinikmati oleh rakyat miskin dan disesuaikan dengan jumlah kebutuhan mereka.
Ketiga, akses informasi yang sangat terbatas terhadap RAPBN, terutama pada detail program yang ada. Ada ungkapan mengatakan ‘devil is the detail’. Menurut hemat penulis, program prioritas pembangunan pada RKP 2007 yang terdiri dari 9 butir tersebut memang bagus, namun jika diperhatikan secara detail atau spesifik; derivasi program tersebut menjadi sangat miskin manfaat. Banyak program-program yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Pada detail yang terbatas inilah peran pemerintah dapat terlihat. Jika akses informasi pada spesifikasi program kerja ini dapat dibuka, maka masyarakat dapat memantau RAPBN dan memastikan bahwa anggaran yang ada memang untuk rakyat. Asimetris informasi ini menyebabkan publik menjadi tidak tahu akan apa yang semestinya mereka tuntut. Misalnya saja kebocoran dana APBN yang mencapai 30% kemungkinan dapat diminimalisir, andai saja memang para wakil rakyat dilarang untuk mengotak-atik detail oleh pemerintah. Oleh karena itu dibutuhkan peran publik yang lebih massif untuk terus menuntut dan mengusahakan agar akses terhadap detail itu dibuka.
Perlunya Pengawalan Publik
Skema anggaran di atas, mencerminkan masih bermasalahnya politik anggaran bangsa ini. Dalam sejarah negara ini, bahkan hingga saat ini, bisa dikatakan proses perumusan RUU APBN tergolong perumusan kebijakan yang bersifat elitis dan teknokratis. Elitis, karena akses publik untuk mendapatkan informasi-informasi seputar perumusan anggaran masih belum merata. Informasi hanya berkutat di sekitar elit pengambil kebijakan dan tidak ada peran aktif dari para elit selaku kepanjangan tangan dari rakyat untuk membukanya secara transparan dan akuntabel kepada rakyat. Teknokratis, karena memang kebijakan anggaran hanyalah dirumuskan oleh orang-orang yang katanya “ahli”. Para ahli tersebut merancang dan menyusun tanpa melibatkan peran partisipasi msyarakat secara aktif. Artinya, masyarakat benar-benar hanya diletakkan sebagai objek kebijakan-an sich. Bahkan di tengah era keterbukaan seperti sekarang ini, arus informasi yang mengalir ke publik tentang anggaran begitu minim
Randald B. Ripley dalam bukunya yang berjudul Policy Analysis in Political Science, mengungkapkan bahwa ada 4 faktor yang secara umum mempengaruhi lahirnya sebuah kebijakan, yaitu lingkungan, persepsi pembuat kebijakan mengenai lingkungan, aktivitas pemerintah perihal kebijakan, dan aktivitas masyarakat perihal kebijakan. Faktor pertama, lingkungan. Hal ini bisa dikaitkan dengan kondisi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi dalam rentang waktu pengambilan kebijakan tersebut. Iklim demokrasi yang sudah sangat terbuka seperti sekarang ini, ternyata juga belum mampu menunjang proses penyusunan kebijakan anggaran. Bahkan pemerintah pun masih dirundung keragu-raguan dalam mengungkapkan data statistik kepada publik. Lemahnya pemerintah dalam mendefinisikan kondisi saat ini, menyebabkan rumusan kebijakan yang direncanakan pun terkesan plin-plan.
Kelemahan pemerintah dalam mendefinisikan kondisi bangsa ini mencerminkan masih rendahnya sensitivitas yang dimiliki pemerintah dalam melihat kondisi bangsa ini. Artinya, persepsi para elite pengambil kebijakan terhadap lingkungannya belum utuh. Dan fatal akibatnya ketika para elite yang seharusnya memiliki pandangan utuh atas permasalahan yang ada, justru malah tidak memilikinya.
Faktor ketiga terkait dengan ukuran aktivitas elit pengambil kebijakan terhadap kebijakan itu sendiri, sejauh mana infrastruktur kebijakan yang dimilikinya itu mendukung. Walaupun legislatif dan eksekutif sama-sama memiliki hak inisiatif untuk mengajukan anggaran, namun dalam praktisnya di lapangan terkadang pembahasannya lebih didominasi oleh eksekutif. Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun eksekutif, baru diserahkan kepada legislatif dalam kurun waktu yang relatif sempit. Praksis pembahasan anggaran di DPR antara legislatif dengan pemerintah hanya berjalan efektif kurang dari 3 bulan. Bahkan di banyak daerah, alokasi waktu pembahasan anggaran banyak yang mundur, jauh dari jadwal yang ditentukan. Sementara tenggang waktu pembahasan anggaran tidak bisa digeser atau ditambah. Hal ini jelas membuat penelaahan legislatif terhadap rancangan usulan anggaran dari pemerintah tidak bisa berjalan maksimal.
Faktor keempat yang disebut Ripley dalam bukunya ialah aktivitas masyarakat terhadap kebijakan. Dalam masa transisi demokrasi saat ini, Indonesia masih belum bisa beranjak dari fase liberalisasi politik. Yaitu sebuah keadaan di mana struktur lama sudah hancur namun struktur baru belum terbangun. Konsep lama sudah tidak diterima, namun konsep baru belum tersusun. Di saat-saat inilah peran publik selaku elemen yang secara kuantitaif lebih besar dinantikan kekritisannya. Tanpa adanya tingkat kritisisme publik di masa transisi seperti ini, maka bangsa Indonesia hanya akan mengulang sejarah otoriatarianisme yang sudah ditinggalkan. Sehingga, perumusan RAPBN saat ini kembali bersifat teknokratis, yang notabene masih jauh sekali dari tingkat pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan rakyat yang paling mendasar
Penutup.
Secara teori, mungkin sistem kesehatan yang disiapkan Pemerintah sudah makin baik. Sayangnya, persiapan yang kurang di lapangan terkadang membuat masyarakat tidak mendapatkan akses yang memadai. Peningkatan akses terhadap kesehatan semestinya juga tidak terbatas pada akses terhadap pelayanan kesehatan saja. Masyarakat juga berhak atas akses pada semua faktor yang menentukan kesehatan, misalnya akses terhadap pasokan makanan yang aman, akses terhadap air dan sanitasi yang memadai, kondisi lingkungan dan pemukiman yang sehat, serta akses terhadap informasi dan pendidikan kesehatan, dan sebagainya.
Jika melihat dari minimnya alokasi anggaran di bidang kesehatan, tercermin bahwa aspek kesehatan belum berada di posisi peringkat atas dalam pengembangan dan pembangunan di Propinsi Sulawesi Selatan. Alokasi anggaran kesehatan dalam APBD 2006 sebesar 95,505 milyar, atau 6,9 % dari APBD. Artinya, anggaran tersebut masih berada di urutan keenam, di bawah sektor pelayanan umum, pendidikan, ekonomi, pertahanan dan ketertiban dan keamanan. Seharusnya, alokasi anggaran kesehatan mencapai sekurang-kurangnya 15% dari APBD sesuai dengan kesepakatan Buati tahun 2005.
Dengan kondisi sekarang dan keterbatasan anggaran dari Pemerintah, cita-cita luhur untuk meningkatkan SDM Indonesia terutama di bidang kesehatan menjadi tidak mudah. Dalam hal kesehatan ini, Pemerintah memang harus bertanggung jawab atas pemenuhan hak dasar rakyatnya berupa kesehatan. Namun kita juga menyadari bahwa tidak ada satu bangsapun di dunia yang menjadi sehat hanya dengan komitmen Pemerintah. Kesertaan masyarakat dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang baik sangat diperlukan. Dalam jangka panjang, keberhasilan pembangunan kesehatan hanya bisa dicapai bila masyarakat didorong untuk berperan serta aktif dalam memperoleh haknya memperoleh kesehatan.
REFERENSI.
1.Bappeda. 2006. Laporan Keuangan Bappeda tahun 2005.
2.Surveilans Gizi, Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta; 2002 (Online). http:/www.Surveilans%20.Gizi.doc.2002 (Accessed 06/12/2005)
3.Trisnantoro, L. 2005. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
0 komentar: to “ Kajian Anggaran Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan ”
Posting Komentar