Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Tetapkan Hanya Ada Obat Generik dan Obat Paten  

Pemerintah perlu menetapkan secara tegas lewat peraturan pemerintah bahwa di Indonesia hanya boleh ada obat generik dan obat paten seperti yang diterapkan di banyak negara maju.

Tidak ada lagi obat generik bermerek yang sebenarnya obat generik yang dibungkus dengan merek tertentu dan dijual dengan harga puluhan kali lebih mahal dari obat generik sehingga mendorong promosi tidak etis. Hal itu dikemukakan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Fachmi Idris, Rabu (3/10) di Jakarta.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, industri obat dikuasai kartel sehingga harga obat menjadi mahal. Dokter disinyalir mendapatkan keuntungan dari praktik itu (Kompas, 3/10).

Dalam konteks kenegaraan, demikian Fachmi, kalau menteri mengetahui ada kartel, seharusnya ia segera mengadukan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha karena lembaga itu yang berhak menilai adanya kartel atau bukan.
Ketua Umum Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi) Indonesia Anthony Ch Sunarjo yang dihubungi terpisah membantah adanya kartel dalam industri farmasi. Kendati industri obat hanya dikuasai sejumlah produsen, harga obat tidak pernah ditentukan oleh mereka.

Tidak ada dua merek obat sejenis yang harganya sama. Harga obat berada pada jenjang berbeda-beda, bahkan beberapa obat generik bermerek sama murahnya dengan obat generik, ujarnya.

Menurut Anthony, kenaikan harga sejumlah obat bukan dipicu kartel harga, melainkan dampak inflasi, kenaikan harga bahan baku, dan nilai tukar dollar.

Fachmi dan Anthony berpendapat, yang diperlukan saat ini untuk menekan biaya kesehatan adalah penerapan asuransi sosial kesehatan sesuai dengan amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2004. Dengan asuransi sosial kesehatan bisa dilakukan kendali mutu dan kendali biaya. Dokter tidak bisa meresepkan obat di luar ketentuan badan pelaksana asuransi sosial kesehatan yang tentu memilih obat dengan mutu baik dan harga wajar, kata Fachmi.

Seretnya produksi obat generik, menurut Fachmi, karena pemerintah membuat aturan kurang arif. Harga obat generik dipatok lebih rendah dari harga bahan baku.

Seharusnya harga obat generik diatur lewat formulasi dengan variabel harga bahan baku, nilai tukar mata uang, dan marjin keuntungan sehingga berkisar pada rentang tertentu. Dengan demikian, industri tidak enggan memproduksi obat generik.

Mengenai niat Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari untuk mengimpor obat generik dari negara lain seharusnya segera dilaksanakan, jangan hanya diwacanakan. Fachmi menyatakan, PB IDI membuat nota kesepahaman dengan GP Farmasi mengenai prinsip promosi yang baik. Kode etik kedokteran juga dijadikan hukum disiplin di bawah Konsil Kedokteran Indonesia. Dokter yang meresepkan obat dengan mengharapkan imbalan akan dicabut registrasinya. Dukungan industri farmasi bagi dunia kedokteran tidak bisa dihindarkan dalam konteks pengembangan ilmu dan pendidikan berkelanjutan, ujar Fachmi.