Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Dokter dan Apotek Kolusi Harga Obat  

Kolusi antara dokter dan apotek yang terjadi selama ini merupakan penyebab adanya permainan harga obat di pasaran. Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema Langkanya Obat dan Harga Obat Mahal, yang diselenggarakan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Rabu (30/5).

Hadir sebagai pembicara Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Haryanto Dhanutirto, pengamat kesehatan Kartono Mohammad, Direktur Pemasaran PT Kimia Farma Sofyarman Tarmizi, dan anggota Komisi IX DPR RI Hakim S Pohan. Haryanto membenarkan selama ini harga obat sangat ditentukan oleh para dokter. "Perusahaan farmasi memberikan diskon yang cukup besar kepada dokter, bisa sampai 40%. Kemudian diskon untuk apotik sebanyak 5%-10%. Akhirnya apotik sangat tergantung dari keputusan dokter," kata Haryanto. Apoteker akhirnya tidak independen dalam menentukan pelayanan obat kepada masyarakat. "Sekarang kami sedang memperbaiki profesionalisme apoteker. Kalau tidak ada apoteker di apotik, maka apotik dilarang menerima resep," tegasnya.

Demikian juga antara dokter dan apoteker harus saling berkomunikasi, bukan menentukan sendiri-sendiri harga obat karena telah dipengaruhi komisi dari perusahaan farmasi. Hal senada juga dikemukakan oleh anggota Komisi IX DPR RI Hakim S Pohan dan Kartono Mohammad. "Perhatikan saja ada dua resep sama, tetapi yang membawa berbeda-beda. Resep pertama yang membawa orang dengan kendaraan mercy. Kemudian resep kedua dibawa oleh tukang becak. Harga pasti berbeda Karena apotik bisa memainkan harga setelah melihat sosial ekonomi orang itu. Demikian juga dokter, ketika memberikan resep, pasien tidak bisa menentukan. Semua di tangan si dokter itu," kata Kartono dan dibenarkan Hakim S Pohan. Mereka sependapat apabila pemerintah ikut menentukan dan mengontrol harga obat di pasaran. "Bila ini terus dibiarkan maka kondisi harga obat makin tidak sehat. Pasien tidak bisa menentukan obat. Padahal dia yang membayarnya. Sesuai dengan UU Konsumen, hal ini adalah pelanggaran dan bisa dituntut," kata Pohan. Pernyataan ketiga pembicara ini diperkuat dari data yang dimiliki Kimia Farma. Direktur Pemasaran PT Kimia Farma Syofarman Tarmizi menjelaskan dari pasaran obat di Indonesia, pemasaran terbesar bukan berada di apotik atau toko obat, melainkan meja dokter. "Sebab ada asumsi bahwa dokter paling mudah menjual obat dengan resep dokter. Total market obat di Indonesia sebesar Rp20,3 triliun. Distribusi di apotek kurang dari Rp5,3 triliun, dan di toko obat dan rumah sakit sebesar Rp4,5 triliun. Dan sisanya ada di meja dokter," ungkapnya. Untuk itu pemerintah harus mengatasi persoalan harga obat dengan tidak lagi melibatkan dokter sebagai penjual tidak langsung.