Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Refleksi Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei 2007
MEROKOK , Masihkah Sebuah Pilihan?
 

Artikel Kiriman : Shanty Riskiyani, SKM, M.Kes

Kebiasaan merokok sudah meluas hampir disemua kelompok masyarakat di Indonesia. Jumlah perokok cenderung meningkat terutama di kalangan anak dan remaja, sebagai manifestasi dari gencarnya promosi rokok di berbagai media massa. Produsen rokok pun tidak kalah canggihnya berpromosi. Beberapa diantaranya dengan cara mendukung berbagai kegiatan yang melibatkan remaja dan anak muda di tanah air ini.
Saat ini sekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia. Pada tahun 2025, jumlah ini akan meningkat menjadi 1,6 miliar. Di negara-negara maju, kebiasaan merokok umumnya menurun selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat untuk beberapa kelompok penduduk. Sebaliknya, di negara berkembang, perdagangan rokok yang lebih bebas memberikan konstribusi pada peningkatan konsumsi rokok.
Banyak perokok mulai merokok sejak usia muda. Di negara berpendapatan tinggi, sekitar 8 dari 10 perokok mulai merokok sejak mereka berusia belasan tahun. Sementara banyak perokok di negara berkembang mulai merokokm pada awal umur 20-an, tetapi umur puncak awal merokok ini mulai menurun.
Mungnkin setiap orang disepanjang hidupnya telah berkali-kali mendengar atau membaca tentang bahaya mengisap rokok. Tetapi hal ini tidak pernah membuat mereka yang merokok menyadari dampak negatif dari merokok. Atau bahkan hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh saja. “...toh sampai saat ini saya masih sehat-sehat saja”.

Menurut penelitian, setiap rokok mengandung 4000 jenis bahan kimia dan sebagian besar beracun. Antara lain ammonia, menthanol, naftalena, cadmium, karbon monoksida, vinil klorida, hydrogen sianida, toluidina, arsenic dan fenol. Dengan kandungan zat kimia tersebut, maka dapat dipastikan efek rokok sangat merugikan bagi kesehatan. Hal ini bukan saja bagi perokok tapi juga berakibat bagi orang-orang yang tidak merokok dan terkena asap rokok. Rokok adalah penyebab sejumlah besar penyakit mematikan. Berbagai macam kanker, penyakit jantung, lever, juga berbagai gangguan pernapasan, termasuk diantaranya penyakit-penyakit yang secara langsung berakibat dengan kebiasaan mengisap rokok.
Kelesuan dan kelemahan tubuh adalah tanda-tanda perokok yang paling menonjol pada generasi muda dan remaja. Menurut para pakar, konsumsi nikotin diawal-awal prosesnya, membawa pengaruh negatif langsung pada saraf, terutama sistem kerja. Hanya pada batas tertentu, ia menimbulkan konsentrasi dan semangat kerja serta kesegaran pada orang yang mengonsumsi nikotin. Kondisi ini hanya akan berlangsung maksimal selama satu jam dan secara perlahan kondisi tersebut akan menurun. Kemudian yang akan muncul adalah rasa ketergantungan yang sesungguhnya bersifat kejiwaan, ketidaktenangan, ketegangan saraf dan stres, yang akan berlangsung dalam waktu lama.
Rokok mengandung nikotin yang menyebabkan ketagihan yang sama seperti pada heroin atau kokain. Nikotin dapat meningkatkan adrenalin yang dapat menyebabkan jantung berdenyut lebih cepat dan bekerja lebih kuat. Ini berarti jantung akan memerlukan lebih banyak oksigen untuk terus berdenyut. Selain itu juga menyebabkan darah lebih cepat membeku, beresiko tinggi terhadap serangan jantung. Nikotin hanya memerlukan 10 detik untuk sampai ke otak dan membuat badan dan pikiran tergantung kepadanya. Jika tidak merokok, sugesti akan muncul dengan berbagai gejala ( seperti rasa mabuk, penat, rasa bergetar pada tangan, pening kepala, sulit berpikir) oleh sebab itu yang tidak disadari adalah bahwa seorang perokok memerlukan usaha yang lebih kuat untuk berhenti merokok.
Kaum remaja dan anak muda di negara berkembang adalah korban utama promosi rokok. Berbagai data dari lembaga-lembaga internasional mengindikasikan bahwa di negara-negara maju konsumsi rokok mengalami penurunan setelah diberlakukannya sistem pendidikan dan peraturan anti rokok. Namun, di negara-negara berkembang masalah ini justru semakin mengakar dan sulit ditangani.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa selain biaya konsumsi, rokok juga memiliki biaya lain yang tidak terlihat dengan nyata, yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi semakin miskin. Berkurangnya hari kerja karena sakit akibat merokok akan menurunkan produktivitas pekerja, dengan demikian jumlah pendapatan akan berkurang dan pengeluaran akan meningkat hanya untuk biaya berobat. Sesungguhnya negara dan masyarakat kehilangan uang sebanyak Rp 20 triliun per tahun akibat gangguan kesehatan karena rokok, yang sebenarnya dapat diinvestasikan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Orang yang merokok satu bungkus sehari seharga Rp 5000 dapat menghabiskan uang sebesar Rp 1.825.000 per tahun. Apabila seorang perokok menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari sebanyak 20 batang, berarti ia menghabiskan 600 batang dalam sebulan dan 7,2 juta batang rokok dalam setahun. Bisa dibayangkan, berapa banyak kadar nikotin yang terkandung dalam darah dan otak seorang perokok.
Penjualan rokok model eceran (per batang) yang membuat kaum muda sangat “mudah dan murah” untuk mendapatkan rokok. Alih-alih pengeluaran mereka yang semestinya digunakan untuk kebutuhan esensial bagi kecukupan gizi dan kesehatan, malah digunakan untuk menambah karsinogenik dalam tubuh. Hal ini menjadikan resiko penyakit yang berhubungan dengan rokok dan kematian dini juga lebih besar di kalangan warga miskin. Di negara-negara maju, kemungkinan mati pada usia setengah baya bagi laki-laki dari kelompok sosial ekonomi terendah adalah dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki dari kelompok sosial ekonomi tertinggi, dan merokok minimal menyumbang separuh dari resiko kematian tersebut.
Dari aspek sosial, merokok dapat mempengaruhi lingkungan, orang lain, dan orang-orang terdekat. Seseorang yang bukan perokok bila terus-menerus terkena asap rokok dapat menderita dampak resiko kesehatan yang sama dengan perokok. Selain itu, dapat juga menyebabkan nafas bau, serta warna kecokelatan pada kuku, gigi, serta bau yang tidak enak pada rambut dan pakaian. Bayi dari ibu perokok lahir dengan berat badan yang rendah. Menghadapi resiko tinggi terjangkit penyakit pernapasan, dan menghadapi resiko “sindrom bayi meninggal secara mendadak” (sudden death syndrom) yang lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang lahir dari bukan ibu perokok. Orang dewasa bukan perokok menghadapi resiko kecil, tetapi resiko mendapat penyakit dan kecacatan yang fatal terus meningkat karena berhadapan dengan orang lain yang merokok.
Merokok juga memberi beban biaya pada orang yang tidak merokok. Dengan membebankan sebagian biaya pada orang lain, para perokok mungkin akan terdorong untuk lebih banyak lagi dibandingkan jika mereka harus memikul sendiri semua biaya itu. Hal ini terjadi di kalangan remaja usia sekolah, yang masih mendapatkan subsidi dari orang tua. Untuk mereka yang bukan perokok jelas biaya-biaya itu termasuk terganggunya kesehatan, ketidaknyamanan, serta iritasi yang disebabkan tersebarnya kepulan asap rokok di lingkungan sekitarnya.
Peraturan baru tentang kawasan bebas asap rokok di wilayah DKI Jakarta cukup mengagetkan. Pasalnya selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap rokok sebagai kebutuhan pokok dan mengisap rokok dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Perda yang menerapkan denda Rp 50 juta bagi pelanggarannya itu dianggap mengada-ada, karena masalah ini belum tersosialisasi dan sebagaian orang masih menganggapnya sebagai pelanggaran hak azasi. Keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya selama ini sangat bertenggang rasa dengan ketidakdisiplinan. Sementara peraturan pelanggaran merokok merupakan salah satu cara untuk membuat masyarakat disiplin dan tidak mengenyampingkan hak orang lain yang tidak merokok.
Di negara-negara maju, masyarakat tidak hanya takut pada peraturannya, tetapi juga sudah pada tahap masalah etika dan kesopanan. Orang yang merokok sembarangan dianggap sebagai orang yang tidak beretika dan melanggar sopan-santun. Mereka akan menganggap si perokok pasti berasal dari negara dunia ketiga, dimana sikap tidak menaati peraturan adalah hal yang biasa. Kadang orang menyebutkan negara di mana aturan masih bisa ‘ditawar’.
Keadaan akan semakin memburuk apabila peraturan menjadi sumber kepentingan oknum aparat. Mereka memanfaatkan peraturan itu untuk mencari keuntungan, karena berharap adanya suap dari masyarakat yang melanggar peraturan. Mungkin mereka akan menerima ‘uang rokok’ untuk tidak meneruskan hukuman bagi perokok yang melanggar aturan. Keadaan ini membuat masyarakat skeptis dan tak percaya dengan segala aturan yang dibuat.
Penanganan rokok merupakan isu yang tidak pernah tuntas dibahas. Ada buah simalakama yang ditawarkan industri rokok. Ia dibutuhkan oleh sebagian orang, tetapi ia juga menyimpan bahaya penderitaan dan kematian. Hidup ini adalah pilihan-pilihan, berikan pilihan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan tidak menjadikan petaka bagi orang lain.

(Penulis adalah Dosen Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Unhas)

2 komentar: to “ Refleksi Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei 2007
MEROKOK , Masihkah Sebuah Pilihan?

  • Anonim
    5:16 AM  

    klise ya tulisan ini...
    nampaknya semua diambil dari sumber sekunder, tidak tampak ada kandungan pemikiran dari diri si penulis sendiri...
    kurang kontemplatif...

  • Anonim
    5:20 AM  

    buatlah tulisan yang bernyawa dan menarik. jangan hanya demi kepentingan hari tembakau saja, tapi harusnya menulis berdasarkan pemikiran yang dalam, sehingga kalangan yang disasar pun betul-betul terpengaruh untuk bertindak sesuai dengan pesan yang disampaikan dalam tulisan.