Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Tegakah Petugas Kesehatan Memungut Biaya Orang Miskin?  

Sudah sejak awal kemerdekaan kita melaksanakan pembangunan kesehatan. Selama masa Orde Baru, bahkan sampai beberapa pelita kita bangun kesehatan masyarakat kita. Sudah terjadi banyak sekali kemajuan yang dicapai, memang. Tetapi, masalah utama kesehatan masyarakat kita, yaitu yang ditunjukkan dengan indikator angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan status gizi balita, tampaknya masih jauh dari harapan. Apalagi, jika kemudian kita tengok kiri-kanan di mana kesehatan masyarakat negara-negara Jiran ternyata telah jauh di atas kesehatan masyarakat kita. Angka kematian ibu kita yang sebesar 262 per 100.000 kelahiran hidup boleh dikatakan merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Demikian pun angka kematian bayi yang sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup dan persentase balita dengan gizi kurang yang sebesar 26,5%.

Salah satu kunci penting bagi peningkatan status kesehatan masyarakat adalah tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. Pelayanan kesehatan, sebagai komoditas yang berbentuk jasa, pada hakikatnya melekat dalam diri orang-orang yang menyelenggarakannya. Dengan demikian, menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat identik dengan mengirimkan para penyelenggara pelayanan kesehatan ke tempattempat yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Idealnya, sedekat mungkin dengan masyarakat.

Kita semua maklum bahwa negara kita ini begitu luas tersebar dalam bentuk pulau-pulau dan keadaan geografi di sebagian pulau itu sulit. Dengan begitu, sangat banyak masyarakat yang berada di tempat-tempat yang, menurut terminologi yang kita gunakan, tinggal di daerah terpencil dan sangat terpencil. Beratus-ratus komunitas tinggal di antara bukit-bukit dan hutan.

Hutan di Papua dan Kalimantan. Beratus-ratus komunitas pula tinggal di pulau-pulau di tengah gelombang laut di Kepulauan Riau, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain.

Pada waktu yang lalu, kita memiliki undang-undang wajib kerja sarjana yang dapat "memaksa" para dokter untuk bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil itu. Tetapi, saat ini undang-undang tersebut telah dicabut dengan alasan melanggar hak asasi manusia. Apalagi, selama bertahun-tahun ternyata yang mematuhi undang-undang tersebut memang hanya sarjana kesehatan, khususnya dokter.

Dengan demikian sekarang semuanya terserah kepada semangat kebangsaan para dokter apakah mereka rela membiarkan sebagian anggota bangsa ini tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebenarnya merupakan hak mereka. Saat ini, Departemen Kesehatan masih menyelenggarakan program penempatan dokter dan bidan sebagai pegawai tidak tetap. Namun demikian, ini bukanlah pewajiban atau pemaksaan, melainkan sekadar upaya untuk menarik para dokter dan bidan bekerja di tempat-tempat terpencil dan sangat terpencil, melalui pemberian insentif. Betapa pun, bukan hanya insentif yang akan berperan, tetapi lebih banyak semangat pengabdian para dokter dan bidan yang akan menentukan keberhasilan program ini. Jika rasa nasionalisme mereka masih tinggi, tentunya mereka bersedia untuk mengabdikan ilmu dan keterampilan yang dimilikinya bagi peningkatan kesehatan bangsa atau masyarakatnya.

Selain masalah keterpencilan,sebagian (cukup banyak, yaitu lebih kurang 20%) masyarakat kita juga berada dalam keadaan miskin. Dari data yang ada diketahui bahwa sebagian besar dari mereka dalam keadaan sakit. Akankah mereka ini kita biarkan sakit dan bahkan meninggal dunia? Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan program subsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Melalui PT Asuransi Kesehatan, dana subsidi itu dikelola sehingga bagi masyarakat miskin tersedia pelayanan kesehatan gratis di puskesmas dan di bangsal kelas III rumah sakit. Akankah program ini berhasil? Sekali lagi, rasa kebangsaan kita terpanggil untuk menyukseskannya. Tegakah para petugas kesehatan yang melayani orangorang miskin untuk masih memungut juga uang dari para dhuafa itu? Tegakah orang-orang yang sesungguhnya tldak miskin ikut "menjarah" bantuan untuk orang-orang miskin dengan berpura-pura sebagai orang miskin? Jika rasa tega itu masih ada, kita patut mempertanyakan, ke mana rasa kebangsaan kita.

Semuanya memang memerlukan uang. Sementara itu, kemampuan pemerintah sangat terbatas sehingga anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan kesehatan sangat kecil. Padahal, kesehatan itu selain berkaitan dengan produktivitas dan intelektualitas, juga berkaitan dengan mati/hidup atau nyawa manusia. Mereka yang sakit (terutama kaum miskin) harus disembuhkan, dan mereka yang tidak sakit harus dijaga agar tetap tidak sakit. Berkaitan dengan rasa nasionalisme, pertanyaannya adalah; tegakah Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (termasuk DPRD), membiarkan bangsa sendiri teraniaya karena bodoh, tidak produktif, dan bahkan kehilangan nyawa? Pemerintah Daerah dengan APBD-nya saat ini rata-rata hanya mengalokasikan 5% saja untuk pembangunan kesehatan.

Baiklah, katakan Pemerintah memang sangat terbatas kemampuannya di bidang keuangan sehingga belum mampu mengalokasikan dana lebih banyak. Tapi, bukankah sebagian besar dari kita (lebih kurang 80%) bukan orang miskin? Bukankah dengan demikian mereka sebenarnya mampu membiaysi sendiri pelayanan kesehatannya? Bukankah mereka dapat menyumbangkan uangnya yang tidak terpakai (karena tidak pernah sakit) untuk menolong mereka yang sakit? Apa lagi jika yang sakit itu orang-orang miskin? Pertanyaan-pertanyaan itu mengandung konotasi rasa kebangsaan. Orang-orang yang tidak miskin dituntut untuk memiliki jiwa besar, memanfaatkan pelayanan kesehatan bangsa sendiri (bukan beramai-ramai berobat ke luar negeri, misalnya), agar pelayanan kesehatan itu berangsur-angsur maju. Jika mereka terus membelanjakan uang di luar negeri sambil mencaci maki buruknya pelayanan kesehatan bangsa sendiri, kita patut pertanyakan seberapa tebal rasa kebangsaannya. Kapan pelayanan kesehatan bangsa sendiri akan maju jika kita tidak pernah ikut peduli mengupayakannya? Memang diakui bahwa pelayanan kesehatan kita masih memiliki banyak kekurangan. Tetapi, untuk memperbaikinya, siapa yang harus bercucur keringat kalau bukan kita sendiri? Perdagangan bebas sudah mulai mengepakkan sayapnya. Beberapa pelayanan kesehatan milik bangsa lain sudah mulai masuk ke bangsa kita, dan akan semakin banyak yang masuk jika diri kita sebagai sekadar bangsa "bangsa konsumen". Pada gilirannya, pelayanan kesehatan bangsa sendiri akan terdesak dan mati, dan pada saat itu kita akan "dijajah" oleh bangsa -bangsa lain di bidang pelayanan kesehatan.

Orang-orang yang mampu memang relatif jarang menderita sakit. Oleh karena itu, dari mereka sebenarnya diharapkan keikhlasan, dilandasi, rasa kebangsaan, untuk menyumbangkan sebagian anggaran biaya sakitnya (yang tidak terpakai karena sehat) kepada mereka yang sakit. Solidaritas ini akan dapat diwujudkan jika kita semua bersedia untuk ikut serta dalam asuransi kesehatan, dalam tatanan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dengan telah terbitnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2001, SJSN ini akan diberlakukan, di mana semua orang wajib mengikuti jaminan pemeliharaan kesehatan. Keberhasilannya, sekali lagi, terpulang kepada rasa kebangsaan kita. Jika kita ingin segera bangkit bersama-sama melalui sehat bersama-sama agar bangsa ini segera terlepas dari keterpurukan, semua orang harus bersedia mendukungnya.

Dengan demikian, sebagian anak bangsa yang masih miskin, selain mendapat subsidi dari Pemerintah, juga subsidi dari sesamanya (subsidi silang). Di sini akan berlaku semboyan "Bersama Kita Bisa!" Demikian sekelumit ajakan saya untuk bersama-sama merenung di hari Kebangkitan Nasional tahun ini. Semoga dengan ajakan ini, kita semua menyadari bahwa pelayanan kesehatan juga memerlukan sentuhan rasa kebangsaan atau nasionalisme kita semua. (*)