Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Polusi Suara, Ada namun Terlupakan  

Suara, adalah karunia yang diberikan Tuhan pada manusia. Begitu pentingnya suara, sehingga Tuhan pun “menghadiahkan” indera pendengaran berupa telinga pada manusia. Niscaya, tanpa adanya telinga dan suara, banyak kegiatan manusia terganggu, contoh paling “kental” adalah terganggunya proses komunikasi.

Sayangnya, perlakuan manusia pada indera pendengaran seringkali tak pada tempatnya. Berjam-jam memutar musik jenis heavy metal dengan volume full, atau nonton konser musik rock persis di bawah sound system, boleh jadi pada suatu waktu akan berakibat fatal pada indera pendengaran.

Diakui, indera pendengaraan kita lebih sering terganggu oleh kondisi yang memang tidak kita inginkan. Misalkan gemuruh lalu lintas, tinggal di pinggir bandar udara, bekerja di pabrik dengan suara mesin yang keras, dan masih banyak lagi.

Secara sederhana, para ahli mengatakan bahwa inilah yang dimaksud polusi suara. Cirinya adalah bising yang teramat mengganggu, sehingga lambat laun mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia. Bukan hanya itu, jika kondisi ini dialami dalam kurun waktu yang panjang, imbasnya akan membuat telinga berkurang kepekaannya.

Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Prof dr H Haryoto Kusnoputranto MPH DrPH, mengatakan, bising adalah suara-suara yang tidak kita kehendaki.
“Manusia mempunyai kemampuan untuk mendengarkan frekuensi-frekuensi suara mulai dari 20 hertz hingga 20.000 hertz,” papar Haryoto. Di rentangan itulah, tukas Haryoto, manusia dapat mendengar. Sementara itu, manusia juga dapat mendengar suara desibel (tingkat Kebisingan- red) dari 0 (pelan sekali), hingga 140 desibel (suara tinggi dan menyakitkan). “Kalau lebih dari 140 desibel, bisa terjadi kerusakan pada gendang telinga dan organ-organ di dalam gendang telinga,” ungkap Haryoto.

Haryoto mengatakan, ambang batas maksimum yang aman bagi manusia adalah 80 desibel. Namun ia melanjutkan, pendengaran manusia dapat mentolerir lebih dari 80 desibel, asalkan waktu paparannya diperhatikan. “Idealnya, selama delapan jam seseorang bekerja pada 70 desibel,” kata Haryoto.

Pada mereka yang bekerja pada tingkat kebisingan 90 desibel, tutur Haryoto, lama kerjanya sekitar empat jam. Tingkat kebisingan 95 dersibel, lama bekerja dua jam. Dan tingkat kebisingan 100 desibel, lama bekerja satu jam. Apabila seseorang bekerja melebihi ambang batas yang telah ditolerir, maka untuk jangka panjang akan mengalami gangguan pendengaran.

Lebih lanjut Haryoto memaparkan, telinga manusia terdiri dari tiga bagian. Yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Di telinga luar, ujarnya, terdapat saluran. Di bagian tengah, terdapat gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran. Sementara di bagian dalam, terdapat rumah siput.

Proses perjalanan suara, tukas Haryoto, diawali saat suara masuk dan menggetarkan gendang telinga. Getaran tersebut disalurkan melalui liang tulang pendengaran, kemudian masuk ke dalam liang rumah siput. “Disini ada cairan yang kemudian bergetar dan mengalir. Di cairan itu ada saraf-saraf, atau rambut getar,” tutur Haryoto. Cairan ini kemudian merangsang saraf-saraf, dan getarannya diinterpretasikan oleh otak.

“Sehingga, jika ruangan kerja bising secara terus menerus. Maka, rambut getar akan terkikis dan pendengarannya akan berkurang,” ulas Haryoto.

Untuk melihat dampak kebisingan terhadap gangguan kesehatan , ungkap Haryoto, yang harus dilihat adalah;

* Kuatnya bising.
* Type bising tersebut (terus menerus, sementara, frekwensi melengking atau tinggi).
* Lama pajanannya.
* Sudah berapa lama seseorang berada dalam suasana bising.

Bising Sebabkan Hipertensi

Menurut Haryoto, hal yang penting dilakukan adalah upaya mencegah ketulian. “Pekerja di pabrik besi, baja, dan semen, dan bekerja selama delapan jam satu hari, punya potensi terkena ketulian,” cetus Haryoto.

”ProfHaryoto menambahkan, apabila mereka tidak melakukan pemeriksaan secara berkala atau medical examination setiap tahunnya, saat mereka pensiun, besar kemungkinan mereka terkena Noise Induced Hearing Lose atau ketulian yang distimuli oleh kebisingan.

Sebetulnya, lanjut Haryoto, dampak akibat kebisingan bukan hanya gangguan pendengaran saja. Melainkan dapat menyebabkan hipertensi. Menurut Haryoto, hal ini dipicu oleh emosi yang tidak stabil. Ia kemudian memaparkan hasil studi epidemiologis di Amerika Serikat. Penelitian itu mengaitkan masyarakat, kebisingan, serta resiko terjangkit penyakit Hipertensi.

Hasil penelitian tersebut menyebutkan, ketidakstabilan emosi mengakibatkan stress. Jika ditambah dengan penyempitan pembuluh darah, maka dapat memacu jantung untuk bekerja lebih keras memompa darah keseluruh tubuh. Dalam waktu yang lama, tekanan darah akan naik, dan inilah yang disebut hipertensi.

Lalu bagaimanakah cara untuk menghilangkan kebisingan? Menurut Haryoto, yang pertama kali dilakukan adalah mengatasi sumber kebisingan tersebut. “Kalau Investor atau penanam modal ingin membeli mesin untuk pabrik-pabriknya, hendaknya memilih mesin yang dapat mengurangi kebisingan,” tutur Haryoto. Ia menambahkan, upaya lainnya adalah memberikan peredam suara dan alat pelindung telinga.

Sementara untuk mengatasi kebisingan kota, khususnya di jalan raya, Haryoto mengatakan, produsen-produsen kendaraan bermotor hendaknya mengeluarkan standar kebisingan pada produknya. “Jadi bukan cuma gas emisi, hidrocarbon, karbon monoksida nya saja yang diperhatikan. Melainkan juga standar suaranya, sebab di situlah sumber kebisingan,” cetus Haryoto.

“Setelah itu, bagaimana standar suara itu dipatuhi, diimplementasikan dan dipantau oleh kalangan produsen kendaraan bermotor,” lanjut Haryoto lagi. Standar ini, ujar Haryoto, bukan cuma saat kendaaran bermotor diluncurkan. Tapi juga pengawasan pada empat hingga lima tahun sesudahnya.

Haryoto mengatakan, pemeriksaan KIR yang dilakukan oleh Pemda DKI, hendaknya memeriksa suara kendaraan bermotor dengan seksama. Karena selama ini, pemeriksaan kir hanya seputar gas emisinya. Padahal, lanjut Haryoto, masalah suara bukan masalah yang sepele.

Berdasarkan penelitian dalam lima tahun terakhir, tutur Haryoto, beberapa tempat di Jakarta sudah melampui ambang batas kebisingan, yakni 70 desibel. “Apapun peruntukannya, sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, kebisingan tidak boleh melampui 70 desibel,” ungkap Haryoto. Contoh daerah yang tingkat kebisingannya di atas 70 desibel adalah kawasan Glodok.

“Jadi dapat dibayangkan tingkat emosional mereka yang berdiam di wilayah itu (Glodok-red). Tak heran beberapa waktu lalu timbul kerusuhan, hanya karena penertiban,” cetus Haryoto.

Upaya mengukur tingkat kebisingan di suatu daerah, ungkap Haryoto, dilakukan satu saat saja, tapi dalam waktu 24 jam. Selama 24 jam kebisingan dibagi dua, yaitu kebisingan siang, dan kebisingan malam. Kebisingan siang berlaku mulai jam enam pagi hingga jam sepuluh malam. Sementara kebisingan malam dimulai dari jam sepuluh malam, hingga jam enam pagi. “Ini sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, nomor 48/MENLH/11/1996 tanggal 25 November 1996,” ulas Haryoto.

Dan untuk mengurangi kebisingan, ungkap Haryoto, masyarakat dapat mengganti suasana dengan pergi ke daerah yang tingkat kebisingannya rendah, seperti refreshing ke gunung, tepi pantai atau daerah-daerah pedesaan.