Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Sistem Pelayanan Dokter Keluarga  

Belakangan ini banyak dibicarakan atau bahkan dipertanyakan orang tentang Dokter Keluarga demikian pula sistem pelayanannya. Wacana ini ini mencoba mengetengahkan secara menyeluruh dasar-dasar pemikiran dan komponen sistem ini serta kendalanya. Maksudnya, wacana ini ingin menjelaskan atau paling tidak urun rembug tentang dokter keluarga dan sistem pelayanannya. Selain itu penulis juga mengharapkan kritik dan sumbang-saran ataupun saran-sumbang yang menyangkut ke-laik-laksana-an (feasibility) implementasinya. Persamaan pemahaman tentang sistem itu sangat diperlukan mengingat keberhasilan penerapannya sangat bergantung pada kerjasama mutualistis di antara komponennya. Selanjutnya, diharapkan dapat diwujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, efektif, efisien, dan merata. Sebagian orang berpendapat bahwa misinya terlalu “retorik” dan “utopis” namun tidak ada salahnya kita pikirkan bersama kiat penerapannya secara bertahap.

Tahapan dalam pelayanan kesehatan
Sebenarnya atau idealnya, ada tiga tahap pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Sayangnya hal ini tidak pernah dimasyarakatkan secara proporsional apalagi secara gencar dan terus-menerus baik oleh Departemen Kesehatan maupun oleh organisasi profesi (IDI), segencar yang dilakukan untuk program KB. Akibatnya, setiap anggota masyarakat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan keinginan, kemampuan finansial, atau keterbatasan pengetahuannya, kalau tidak mau disebut ketidaktahuannya. Dalam skala besar, keadaan ini akan memboroskan biaya kesehatan dan merugikan masyarakat.

Ketiga tahap pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan Tingkat Primer. Pelayanan di sini diselenggarakan oleh Dokter Praktik Umum (DPU) atau yang selama ini dikenal dengan sebutan Dokter Umum. Tahap ini disebut tahap awal atau kontak pertama pasien dengan dokter yang biasanya bertempat di Klinik Pribadi, Klinik Dokter Bersama, Puskesmas, Balai Pengobatan, Klinik Perusahaan, atau Poliklinik Umum di rumah sakit, dsb. Setiap pasien semestinya harus ke DPU dulu untuk semua masalah kesehatan yang dihadapinya. Perkecualian tentu saja ada misalnya untuk kasus kedaruratan yang parah, pasien bisa langsung ke unit gawat darurat terdekat di manapun. Walaupun demikian kasus kedaruratan pun dapat ditangani pada tahap awal di Klinik DK agar dipersiapkan untuk transportasi yang aman ke unit gawat darurat di RS.

2. Pelayanan Tingkat Sekunder. Jika diangap perlu, pasien akan dirujuk ke Pelayanan Tingkat Sekunder. Untuk itu DPU akan menulis surat konsultasi atau rujukan yang menjelaskan masalah medis dan kendala yang dihadapi pada pasien ybs. Di sini pasien akan dilayani oleh Dokter Spesialis (DSp) yang sebagian besar praktik di rumah sakit, sebagian yang lain di Klinik Spesialis atau Klinik Pribadi. Jika masalah kesehatan yang sulit telah diselesaikan pasien akan dikirim balik ke DPU yang mengirimnya dengan bekal surat rujuk balik yang berisi ajuran kelanjutan pengobatannya.

3. Pelayanan Tingkat Tersier. Jika masalahnya juga tidak dapat atau tidak mungkin diselesaikan oleh DSp di tingkat sekunder maka pasien ybs akan dikirim ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu pelayanan Tingkat Tersier (top referral). Di sini pasien akan dilayani oleh para dokter superspesialis atau Spesialis Konsultan (DSpK) yang biasanya bertempat di Rumah Sakit Pendidikan atau rumah sakit besar yang mempunyai berbagai pusat riset yang mapan. Rujuk balik pun tetap berlaku di sini dan bukan tidak mungkin berisi ajuran untuk kembali ke DPU-nya jika masalah telah diatasi. Jika masalahnya tidak mungkin dapat diatasi lagi (stadium terminal), sehingga diputuskan untuk dilanjutkan dengan perawatan di rumah agar dekat dgn keluarganya, maka yang terakhir ini pun menjadi tugas DPU.

Dari uraian di atas tampak bahwa setiap pasien sebaiknya memilih Dokter Praktik Umum yang sesuai dengan keinginannya, yang akan memberikan pelayanan primer atau merujuknya ke pelayanan sekunder yang sesuai jika diperlukan. Sepintas, secara individual, tata langkah pentahapan ini sepertinya “birokratis” atau memperpanjang proses dan bukan tidak mungkin menambah biaya. Akan tetapi dalam skala besar cara inilah yang paling efektif dan efisien. Disebut efektif karena setiap pasien akan memperoleh pelayanan yang sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Disebut efisien karena sebenarnya yang memerlukan pelayanan spesialistis hanyalah 15-20% dari seluruh pasien yang datang ke tempat pelayanan primer. Selebihnya, yang 80-85% sebenarnya dapat diselesaikan masalahnya di tingkat primer oleh DPU.


Dokter keluarga
Pada dasarnya Dokter Keluarga adalah dokter penyelenggara pelayanan primer yang berprofesi sebagai Dokter Praktik Umum. Di beberapa negara, misalnya Inggeris dan negara-negara persemakmurannya dokter penyelenggara pelayanan primer ini tetap disebut Dokter Praktik Umum (General Practitioner). Di sejumlah negara lainnya disebut Dokter Keluarga (DK) atau “Family Physician” (mis. USA, Filipina, dsb) atau “Family Doctor” (sebagian Negara Eropa ). Oleh karena itu organisasi profesinya di tingkat dunia pun disebut Organisasi DPU dan DK sedunia yang disingkat WONCA. Kepajangan WONCA yang sebenarnya adalah “World Organization of National Colleges, Academies and Academic Association of Gerenal Practice/Family Physicians”, yang secara singkat disebut juga sebagai “World Organization of General Practitioners/Family Doctors”, tetapi akronimnya tidak diubah.

Di Indonesia DPU tidak kurang dari 40.000 orang dan ada beberapa orang di antaranya memperoleh gelar keprofesian sebagai DK di luar negeri. Wadah organisasinya adalah KDKI (Kolese Dokter Keluarga Indonesia) yang sampai sekarang masih merupakan perhimpunan dokter seminat sebagai Badan Kelengkapan IDI. Hampir semua anggota KDKI adalah DPU, beberapa orang DK lulusan luar negeri dan beberapa orang lainnya DSp. Sebagian anggotanya telah mendapat penataran kedokteran keluarga dan sebagian besar lainnya belum. Anggotanya memang beragam karena masih berstatus Perhimpunan Dokter Seminat, namun demikian KDKI telah menjadi anggota ‘WONCA World’, dan telah melaksanakan kongresnya setiap tiga tahun. Kongres yang ke-6 akan digelar di Surabaya pada tgl. 9-10 Agustus 2003 yad. Dalam uraian selanjutnya Dokter Keluarga akan ditulis DK agar lebih efisien.

Ada sementara pendapat yang mengira bahwa DK adalah “dokternya keluarga” yaitu dokter yang menangani atau mengelola aspek medis sebuah keluarga, ia bertanggung jawab untuk meningkatkan taraf kesehatan dan mencegah anggota keluarga itu jangan sampai sakit dst. Jadi dalam hal ini unit terkecil pasiennya adalah sebuah keluarga. Sekalipun pendapat ini tidak salah, akan tetapi kurang tepat. Yang disebutkan tadi itu hanyalah salah satu dari sekian banyak tugas dokter keluarga. Sebenarnya tugas dokter keluarga lebih kompleks daripada itu.

Untuk memudahkan pemahaman, penulis tidak akan menguntai definisi, melainkan akan mengurai prinsip dasar pelayanan Dokter Keluarga. Pada dasarnya ada 6 (enam) prinsip yang harus diterapkan. Bagi para DPU yang telah lama praktik mandiri di satu tempat, pastilah telah menerapkan prinsip-prinsip ini secara rutin sekalipun tidak sempurna. Keenam prinsip itu adalah:

1. Memberikan pelayanan secara komprehensif atau dengan kata lain adalah pelayanan yang paripurna. DK menggunakan segenap kemampuan ilmunya, serta sarana dan prasarana medis yang tersedia untuk sebesar-besarnya kepentingan pasien. Dokter keluarga bukan hanya menyembuhkan pasien dari sakitnya, tetapi juga menyehatkannya serta menjadi mitra, konsultan, atau penasihat di kala sakit dan sehat. Jika masalahnya dinilai memerlukan pendapat atau penanganan spesialistis, DK akan mengkonsultasikan atau bahkan merujuk pasien ke dokter spesialis yang tepat.

2. Memberikan pelayanan secara bersinambung. Pelayanan yang kontinu berarti pasien harus dipantau secara terus menerus, boleh dikatakan mulai dari konsepsi (pembuahan/dalam rahim) sampai mati dan tentu saja selama sakit sampai sembuh dan sehat kembali. Wujud kontinuitas pelayanannya itu berupa pemantauan bersinambung, antara lain melalui penyelenggaraan rekam medis yang handal dan kerjasama profesional dengan “naramedik” (medical professionals) lainnya.

3. Memberikan pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif. Sejalan dengan butir 1, DK akan mengkoordinasikan keperluan pasien dengan DK yang lain, dengan para spesialis yang diperlukan, dengan paramedik, dengan fasilitas kesehatan yang diperlukan, dan bahkan dengan keluarganya. Koordinasi ini pun merupakan salah satu bentuk kesinambungan pelayanannya. Dengan koordinasi yang baik dapat dihindari tumpang-tindih penggunaan obat, duplikasi pemerikasaan penunjang, atau perbedaan pendapat mengenai manajemen pasien. Kerjasama dengan para spesialis yang dikoordinasikan oleh DK ini akan menjadikan kolaborasi saintifik yang handal untuk meningkakan kepercayaan pasien kepada pelayanan medis yang disediakan. Dengan demikian terjadi saling kontrol sehingga efektivitas pengobatan dan efisiensi biaya dapat terwujud.

4. Mengutamakan pencegahan. Pencegahan di sini berarti luas; DK harus melakukan upaya peningkatan kesehatan misalnya melalui ceramah kesehatan. Selain itu DK juga akan melakukan upaya pencegahan penyakit melalui vaksinasi. Upaya KB, pemeriksaan kehamilan, dan pemantauan tumbuh-kembang anak juga merupakan bentuk upaya pencegahan yang harus dilakukan oleh DK. Jika pasien datang dalam keadaan sakit, DK harus dapat membuat diagnosis dini dan memberikan pengobatan yang cepat dan tepat agar penyakit tidak semakin parah. Jika penyakit sudah parah, DK harus segera bertindak cepat misalnya dengan segera merujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi dengan persiapan yang memadai, agar jangan sampai terjadi cacat permanen. Seandainya diperkirakan akan terjadi cacat, DK harus berusaha agar jangan sampai kecacatan itu menjadi penghalang besar bagi pasien nantinya. Di sini juga dituntut partisipasi DK untuk membantu upaya rehabilitasi bagi pasien penyandang cacat, baik secara fisik, psikologik, maupun sosial, agar keterbatasannya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.

5. Mempertimbangkan keluarganya. Sekalipun unit terkecil pasiennya adalah individu, artinya pekerjaan DK berawal dari keluhan individu setiap pasien, DK tidak pernah mengabaikan bahwa pasien adalah bagian dari keluarganya. Saling-aruh (interaksi) antara pasien dan keluarganya merupakan salah satu fokus perhatian DK.

6. Mempertimbangkan komunitasnya. Dalam hal ini, seperti juga keluarganya, DK harus juga mengingat bahwa pasien merupakan bagian dari komunitasnya baik di lingkungan tempat tinggal maupun kerjanya. Seperti juga keluarganya, lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi penyakitnya, demikian pula penyakit pasien dapat pula berdampak pada lingkungannya.

Dapatlah disimpulkan, inilah yang membedakan pelayanan DK dengan pelayanan spesialistis. Kalau DK berupaya menyembuhkan dan menyehatkan pasien dengan mempertimbangkan dan atau memanfatkan potensi dan kendala ‘habitat’-nya, sedangkan pelayanan spesialistik di RS berusaha menyembuhkan pasien dalam lingkungan artifisial yang dibuat ideal untuk membantu penyembuhan itu.

Dari uraian di atas tersirat pengertian bahwa mungkin saja sebuah keluarga ditangani oleh lebih dari satu DK atau Klinik DK, atau seorang anggota keluarga mempunyai DK atau Klinik DK yang berbeda dengan anggota keluarga yang lainnya. Jadi, pasien tidak lagi bergantung kepada seorang dokter akan tetapi bergantung kepada Klinik DK. Kebergantungan pasien kepada klinik DK dan bukan kepada seorang dokter akan menjadikan sistem ini lebih manusiawi bagi DK sendiri.

Di Indonesia sebenarnya sebagian DPU telah melaksanakan prinsip-prinsip itu dalam praktiknya sekalipun secara tidak disadari dan dalam bentuk yang masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu dapat dikatakan sebenarnya pelayanan DK bulankahlah upaya yang sama sekali baru. Hanya saja sistemnya masih perlu dibenahi mengingat pada saat ini tahapan dalam pelayanan kesehatan belum berjalan baik dan kerjasama professional mutualistis antara para “naramedik” (medical professionals) masih perlu dibenahi kalau tidak mau disebut “amburadul”.

Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK)
Pada dasarnya sistem perlayanan dokter keluarga (selanjutnya digunakan SPDK), haruslah menerapkan ketiga tahapan pelayanan medis sesempurna mungkin. Komponen sistem, yang sekarang biasa disebut sebagai “pemegang saham” (stakeholders), paling tidak terdiri atas:
1. DPU/DK (Sebagai Penyelenggara Pelayanan Tingkat Primer)
2. DSp (sebagai Penyelenggara Pelayanan Tingkat Sekunder)
3. DSpK (sebagai Penyelenggara Pelayanan Tingkat Tersier)
4. Dokter gigi
5. Pihak pendana (Asuransi Kesehatan, Pemerintah, dsb.)
6. Regulasi (perundangan, Sistem Kesehatan Nasional, dsb.)
7. Pasien (dengan keluarga dan masyarakatnya)
8. Farmasi (profesional dan pengusaha)
9. Staf klinik selain dokter (Bidan, perawat, dsb)
10. Karyawan non-medis
11. Dsb.

Mereka harus bekerjasama secara mutualistis mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Semua pemegang saham mempunyai andil, hak dan kewajiban yang sama dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan bagi pasien, tidak melanggar aturan atau perundangan maupun etika profesi, dan menjamin kesejahteraan bagi penyelenggaranya. Jika salah satu komponen sistem “merusak” tatanan, menyalahi aturan main agar memperoleh keuntungan bagi dirinya, maka akibat negatifnya akan dirasakan oleh seluruh komponen sistem termasuk, pada akhirnya, yang menyalahi aturan itu. Oleh karena itu diperlukan kerjasama profesional yang mutualistis di antara anggota sistem.

Dengan kata lain, dalam sistem pelayanan dokter keluarga pelayanan diselenggarakan oleh “tim” kesehatan yang bahu-membahu mewujudkan pelayanan yang berumutu. Setiap komponen sistem mempunyai tugas masing-masng dan harus dikerjakan sungguh-sungguh sesuai dengan tatanan yang berlaku. Bidan dan perawat membantu dokter di klinik misalnya, memberikan obat kepada pasien d ibawah tanggung-jawab dokter. Jadi bidan dan perawat tidak memberikan obat tanpa persetujuan dokter. Sebaliknya dokter harus memberikan perintah tertulis di dalam rekam medis untuk setiap pemberian obat. Bidan dan perawat dibenarkan mengingatkan dokter jika perintah pemberian obat itu tidak jelas atau belum dicantumkan. Demikian pula dokter keluiarga yang sebenarnya dokter praktik umum dibenarkan mengingatkan dan diharuskan bertanya langsung kepada dokter spesialis yang dikonsuli atau dirujuki jika ada hal yang kurang jelas atau berbeda pendapat. Demikianpula komponen system yang lain termasuk masyarakat pasien dibenarkan dan bahkan diharuskan saling kontrol saling mengingatkan agat tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Mungkinkan diterapkan di Indonesia?
Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap anggota sistem. Banyak orang pesimis dan beranggapan sistem ini terlalu idealis dan utopis. Namun demikian mereka yang pesimis itu tetap mengakui bahwa memang demikianlah yang seharusnya. Bahkan WHO bersama WONCA pada tahun 1994 di Toronto telah membuat kesepakatan: “Making medical practice and education more relevant to people’s needs: the contribution of Family Doctor”. Jadi jelas bahwa SPDK haruslah diterapkan sekalipun melalui pentahapan yang panjang; mengingat bergitu banyak komponen sistem yang harus diubah misalnya, kebiasaan buruk masyarakat yang terbiasa berobat secara bebas harus diubah menjadi berobat secara benar dan baik. Belum lagi masalah tambahan pendidikan bagi para DPU agar benar-benar mampu mengelola pelayanan primer secara optimal. Di banyak Negara, yang sudah maju sekalipun diperlukan beberapa dasawarsa sampai benar-benar dirasakan manfaatnya. Contoh lain adalah Program KB memerlukan tidak kurang dari 25 tahun untuk menjadi programKB mandiri.

Jadi, pesimisme itu bukan tidak beralasan apalagi jika mengingat ada yang berpendapat bahwa tanpa penerapan asuransi kesehatan yang memadai sistem ini tidak dapat berjalan baik. Sementara itu masyarakat masih skeptis terhadap sistem asuransi kesehatan yang ada. Sekalipun pendapat ini tidak seluruhnya benar namun sistem asuransi yang mapan akan sangat membantu melancarkan penerapan SPDK. Memang banyak masalah yang harus diselesaikan bersama. Bagaimana sesungguhnya, akan dibahas pada kesempatan lain.

Praktik DK
Jika melihat bahwa DK harus memberikan pelayanan yang komprehensif dan kontinu, maka mau tidak mau DK harus berpraktik secara paripuna memberikan pelayanan selama 24 jam sehari dan 7 hari sepekan. Tak ada hari libur untuk melayani pasien. Untuk itu DK haruslah praktik berkelompok, paling tidak 3 orang dalam sebuah klinik. Dengan demikian pelayanan paripurna dapat diberikan secara baik dan tidak terlampau membebani pribadi dokternya, mengingat dokter pun perlu istirahat dan membina diri serta keluarganya. Jadi SPDK akan terasa lebih manusiawi bagi pasiennya, karena dapat berobat kapan saja, dan bagi dokternya, karena mempunyai kesempatan untuk melakukan kegiatannya sebagai manusia biasa.

Apakah DPU dekat rumah anda dapat dianggap sebagai DK keluarga anda sekalipun dia belum berpredikat DK? Tentu bisa, hanya saja jika dia praktik pribadi sendirian tentunya tidak mungkin menyelenggarakan praktik 24 jam. Dengan kata lain tidak mungkin sistem pelayanan DK dilaksanakan di tempat praktiknya secara sempurna. Namun demkian kontinuitas pelayanan dapat dicapai jika dokter ybs. mempunyai rekam medis yang baik dan setiap pasien diminta dan bersedia lapor perkembangan penyakitnya atau jika pada suatu waktu berobat ke fasilitas lain. Dengan demikian semua pelayanan medis yang dialami pasien dapat dicatat secara cermat. Dengan kepiawaiannya mengelola pasien, DPU yang berpraktik ‘solo’ (sendiri) pun dapat menerapkan prinsip-prinsip pelayanan DK sekalipun tidak mungkin sempurna.

Bukan tidak mungkin praktik dokter keluarga ini menjadi bagian integral dari sebuah rumah sakit. Klinik DK dalam hal ini mungkin saja ada di lingkungan RS ataupun menjadi klinik satelit di daerah tempat RS induknya. Dalam jangka panjang jaring-jaring seperti ini yang dikehendaki sehingga masalah kesehatan seluruh penduduk di daerah tersebut menjadi tanggungan RS yang bersangkutan. Jika system asuransi baik yang sosial dan komersial dapat berjalan, jaring-jaring seperti inilah yang memungkinkan pemerataan pelayanan dengan cara subsidi silang. Melalui upaya inilah kita dapat merebut kepercayaan masyarakat akan pelayanan yang kita berikan. Inilah sebenarnya yang merupakan salah satu kunci kemenangan dalampersaingan pasar bebas.



Siapakah yang boleh menjalankan SPDK?
Apakah setiap Doter Praktik Umum dibenarkan menjalankan sistem pelayanan DK? Tentu saja boleh dan malahan dianjurkan. Lalu apa bedanya DK dengan DPU? Itulah yang menjadikan di beberapa Negara menyamakan DPU dan DK dan di Negara lain membedakannya satu sama lain. Negara yang mengatakan bahwa DPU setara dengan DK biasanya telah memberlakukan aturan bahwa dokter yang baru lulus dari fakultas kedokteran belum dibenarkan praktik mandiri sebelum menjalani magang di klinik DK yang telah diakreditasi sebagai tempat magang. Magang itu dijalani sambil memperolah tambahan ilmu dan keterampilan yang mengacu kepada kurikulum yang dibakukan dan diakui oleh organisasi profesi. Kurun magangnya bervariasi 1-3 tahun. Selesai magang disebut “General Practitioner” atau “Family Physician” atau “Family Doctor” dan berhak praktik mandiri.

Di Indonesia belum ada tempat magang, jadi praktis semua DPU hanya berbekal pendidikan di fakultas sudah boleh praktik mandiri. Bagi yang beruntung mendapat kesempatan WKS (Wajib Kerja Sarajana) di tempat yang dapat untuk “magang” dia akan memperoleh tambahan pengalaman yang berharga. Sekalipun belum bisa diberi predikat DK, DPU sudah dibenarkan menjalankan sistem pelayanan DK karena sebagian pengetahuan dan keterampilan yang harus dipunyai sebagai DK sudah diperoleh di fakultas masing-masing. Jika telah menjalani magang dengan kurikulumm tertentu, barulah dapat memperoleh gelar DK. Karena tempat magang sampai sekarang masih menjadi angan-angan, maka dengan segala keterbatasannya PDU di Indonesia sekarang pada umumnya berusaha untuk menjalankan prinsip-prinsip pelayanan DK sekalipun belum sempurna dengan berbagai cara. Untuk memperoleh dasar-dasar yang lebih mapan telah dilakukan upaya pelatihan dasar-dasar pelayan DK oleh KDKI dengan bekerjasama dengan DEPKES dan Fakultas Kedokteran. Pascapelatihan, biasanya DPU akan semakin mantap menjalankan SPDK sekalipun belum berpredikat DK.Tak rotan akar pun jadi.

Sekarang ini KDKI sedang berusaha keras untuk mewujudkan tempat magang bagi dokter praktik umum yang baru lulus. Selain itu juga sedang diupayakan melakukan standarisasi berbagai sarana dan prasarana implementasi SPDK. Namun demikian, sekeras apapun upaya itu jika perangkat perundangan tidak mendukung, maka upaya ini akan kandas. Oleh kasrena itu dalam komponen SPDK dicantumkan sistem perundangan termasuk SKN. Jadi untuk memuluskan penerapan SPDK, SKN yang sekarang sedang digodok lagi harus akomodatif bagi penerapan SPDK. Selain itu, organisasi profesi yang memungkinkan pendidikan tambahan bagi para DPU harus segera diwujudkan. Oleh karena itu sekarang ini KDKI sudah saatnya bersiap-siap untuk menjadi organisasi profesi untuk DPU dan DK dan bukan sekedar organisasi dokter seminat seperti sekarang ini.


Kalau demikian apakah DK adalah sebuah upaya spesialisasi?
Bukan!!! Inilah yang perlu dijelaskan. Sebutan spesialis DK tidak diperlukan. Yang lebih penting adalah peningkatan kompetensi DPU agar dapat menyelenggarakan pelayanan primer yang bermutu sehingga mampu menyelesaikan masalah kesehatan lebih banyak dan lebih baik. Dengan demikian biaya kesehatan akan dapat ditekan sebesar mungkin tanpa harus menurunkan mutu pelayanan. Walupun demikian di beberapa negara, DK adalah sebuah spesilisasi, misalnya di Amerika.

Istilah spesialis itu memang telah menjadi isu sumbang karena berbagai alasan; antara lain, dikhawatirkan jika disebut spesialis akan menimbulkan kasta baru dengan tarif yang lebih mahal sehingga tidak menyelesaikan masalah. Namun demikian ketakutan ini tidak seluruhnya benar karena tarif dokter pun dapat diatur melalui perhitungan-perhitungan yang rasional yang akan lebih mapan jika dilegalisasi melalui perundangan. Tambahan lagi, sebutan spesialis tidak menjamin terwujudnya pelayanan kesehatan yang sebenarnya lebih bergantung kepada kompetensi dan kerjasama profesional yang mutualistis. Sementara spesialis merasa penghasilannya akan berkurang karena selama ini mereka “praktik umum” dengan tarif spesialis. Akibatnya jelas, pemborosan dana masyarakat. Jika penjenjangan pelayanan diterapkan, artinya dokter spesialis menempati pelayanan sekunder, maka jumlah pasien yang ke dokter spesialis memang akan lebih sedikit, akan tetapi tidak perlu menurunkan penghasilan kalau tariff disesuaikan. Yang jelas dengan cara ini para spesialis akan lebih memusatkan perhatian pada bidang ilmunya sehingga memungkinkan munculnya “pusat unggulan”.


Daftar pustaka

1. Boelen C, Haq C, Hunt V, Rivo M, Sahadhy E. Improving Health Systems: The Contribution of Family Medicine. A Guide Book. WONCA World. Best Printing Company. Singapore. 2002.
2. McWhinney IR. Basic Principles. In. A Texbook of Family Medicine. Oxford University Press New York. Second Rdition. 3-46. 1997.
3. Rakel RE. The Family Physician. In: Essential of Family Practice. Rakel RE. Ed. WB Saunders Company. Philadelphia. Second Ed. 3-20. 1998.
4. Saultz JW. A Theorethical framework for the Discipline of Family Medicine. In: Textbook of Family Medicine; Defining and reexamining the Discipline. Saultz JW. Ed. Mc.Graw-Hill Health Professions Division. New York. 17-30. 2000.
5. Saultz JW. An Overview and History of the Specialty of Family Practice. In: Textbook of Family Medicine; Defining and reexamining the Discipline. Saultz JW. Ed. Mc.Graw-Hill Health Professions Division. New York. 3-16. 2000.
6. Shahady JE. Principles of Family Medicine. An Overview. In: Essentials of Family Medicine. Sloan PD, Slatt LM, Curtis P. Eds. William Wilkins. Baltimore. Second Ed. 3-8.1993.


Pengirim : Dr Sugito Wonodirekso, M.S, PKK - Dokter Praktek Umum