Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Awas! Racun Organik Pemicui Kanker Merajalela di Indonesia  

Masyarakat di delapan provinsi di Indonesia rawan terpapar bahan pencemar organik yang persisten atau Persistent Organics Pollutants (POPs) melalui sedimen, air dan tanah. POPs dapat memicu kanker serta kerusakan organ tubuh lainnya.

Asisten Deputi Urusan Administrasi Pengendalian Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Ilham Malik mengungkapkan hal itu di Jakarta, kemarin.

Ilham mengungkapkan, berdasarkan pemanatauan yang dilakukan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal) sejak 2001 hingga saat ini masih ditemukan POPs di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Bali. POPs ditemukan di sedimen, air dan tanah. Sementara residu DDT, salah satu jenis POPs ditemukan di dalam tanah, di kawasan Malang Jawa Timur serta Bogor Jawa Barat, di di lokasi bekas gudang DDT.

Kondisi itu juga diperparah dengan masih digunakannya peralatan yang mengandung polychlorinated biphenyl (PCB), terutama dalam peralatan listrik, termasuk oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). PCB digunakan dalam alat transformer dan kapasitor berjenis clophen, askarel, pyranol, terminol dan PCBs.

Padahal, kata Ilham, Indonesia telah menerbitkan PP No 74/2001 tentang Pengelolan B3 . PP itu melarang penggunaan 10 jenis POPs paling berbahaya, termasuk pestisida jenis DDT. Namun, nyatanya impor ilegal pestisida pengusir serangga itu masih berlangsung. Pasalnya, hingga kini Cina dan India masih memproduksi pestisida yang sempat menjadi favorit petani di Indonesia itu. Sehingga, ditenggarai, secara diam-diam sebagian petani masih menggunakan pestisida yang juga kerap dipakai sebagai produsen obat nyamuk itu.

Ilham juga memperingatkan, dua jenis POPs lainnya, yang sama berbahaya dengan sepuluh jenis POPs lainnya belum dilarang di Indonesia. Pasalnya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Stockholm tentang penghapusan 12 jenis POPs. PP No 74/2001 sendiri hanya melarang penggunaan aldrin, DDT, endrin, heptacchlor, mirex, toxaphene, hezachlor benzene serta PCB yang merupakan hasil produksi industri kimia. Kecuali PCB, sembilan jenis POPs lainnya adalah pestisida yang digunakan untuk membasmi serangga dan jamur. Sementara, PCB adalah bahan industri yang digunakan untuk menyangga panas. PCB terdapat dalam trafo, bahan tambahan cat, kertas karbon serta plastik.

Sementara, kata Ilham, dua jenis POPs lainnya yang belum dilarang di Indoensia namun dilarang dalam Konvensi Stockholm adalah dioxins dan furans. Keduanya, tidak dihasilkan secara sengaja oleh industri. Namun, merupakan bahan kimia yang dihasilkan tanpa sengaja dari proses pembakaran yang tidak sempurna dalam proses pembuatan pestisida serta bahan kimia lainnya. Industri penghasil dua jenis POPs ini adalah penghasil bahan kertas, plastik, bubur kayu serta bahan pemutih.Selain itu, dua bahan berbahaya ini juga dapat dihasilkan dari asap mobil serta pembakaran tembakau, kayu dan batu bara.

"Yang diperlukan sekarang adalah optimalisasi aturan yang sudah ada serta tentunya meratifikasi konvensi Stockholm ini. Selain untuk melarang dioxins dan furams, juga untuk menambah daya tekan agar pelarangan terhadap 10 jenis POPS lainnya yang sudah diatur pemerintah dilaksanakan secara serius di lapangan," ujar Ilham.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Analisis Perjanjian dan Ratifikasi KLH Tris Mardiyati. Ia mengungkapkan, dengan meratifikasi Konvensi Stockholm, masyarakat akan semakin terlindungi. Pasalanya, pemerintah akan dipaksa oleh masyarakat internasional untuk konsisten menghapus 12 jenis POPs tanpa kecuali. Tris mengaku optimistis, ratifikasi itu akan dapat dilakukan paling lambat 2007 mendatang. Ratifikasi itu akan memaksa pemerintah menyediakan anggaran untuk pengawasan serta menyediakan bahan pengganti POPs yang aman.

Dampak Kesehatan
Tris menjelaskan, POPs harus dihapuskan karena sifatnya yang tidak mudah terurai melalui proses fisika, kimia dan biologi. POPs juga cenderung berakumulasi pada jaringan lemak manusia dan hewan sehingba sukar dihilangkan. POPs dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup, air yang diminum serta tumbuhan atau daging hewan mengandung POPs yang kemudian dikonsumsi manusia. Kendati paparannya sangat rendah, POPs berbahaya karena akan terus bertahan dalam tubuh dan terakumulasi.

"Dulu, di Indoensia kasus kanker tidak terlalu banyak. Tapi, sekarang coba lihat di sekitar kita. Ini adalah peringatan bagi kita," kata Tris.

Selain kanker, POPs juga memicu kerusakan hati, ginjal, gangguan reproduks idepresi, gangguan imunitas, endokrin, gangguan syaraf, serta jantung. Sementara, bagi hewan, POPs adapt memicu penipisan kulit telur. Namun, yang paling berahaya, akumulasi POPs pada tubuh hewan dapat berpindah pada manusia yang memakan tubuh atau telurnya, atau sekedar menghirup udara yang telah tercemar kotorannya.