Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

CATATAN AKHIR TAHUN PEMBANGUNAN KESEHATAN SULAWESI SELATAN 2006  

GAMBARAN UMUM
PROPINSI SULAWESI SELATAN

Propinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0o12’ – 8o Lintang Selatan dan 116o48’ – 122o36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di sebelah timur, Batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores.

Jumlah sungai yang mengaliri wilayah Sulawesi Selatan tercatat sekitar 65 aliran sungai dengan jumlah aliran terbesar di Kabupaten Luwu, yakni 25 aliran sungai. Sungai terpanjang tercatat ada satu sungai yakni Sungai Saddang yang mengalir meliputi Kabupaten Tator, Enrekang, Pinrang dan Polmas. Panjang sungai tersebut 150 km.

Di Sulawesi Selatan terdapat empat danau yakni Danau Tempe dan Sidenreng yang berada di Kabupaten Wajo, serta Danau Matana dan Towuti yang berlokasi di Kabupaten Luwu. Adapun jumlah gunung tercatat sebanyak 7 gunung dengan gunung tertinggi adalah Gunung Rantemario dengan ketinggian 3.470 m di atas permukaan air laut. Gunung ini berdiri tegak di perbatasan Kabupaten Enrekang dan Luwu.

Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.574,48 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 20 kabupaten dan 3 kota, dengan 263 kecamatan. Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten terluas dengan luas 14.788,96 km2 atau luas kabupaten tersebut merupakan 32,45% dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 1.

A. KEADAAN PENDUDUK

Masalah utama kependudukan di Indonesia pada dasarnya meliputi tiga hal pokok, yaitu : jumlah penduduk yang besar, komposisi penduduk yang kurang menguntungkan dimana proporsi penduduk berusia muda masih relatif tinggi, dan persebaran penduduk yang kurang merata.

1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk

Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004 berjumlah 7.379.370 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.164.380 jiwa mendiami Kota Makassar. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Makassar dimungkinkan karena terjadinya arus urbanisasi dari daerah lainnya di Sulawesi Selatan terutama untuk melanjutkan pendidikan, disamping daerah ini merupakan pusat pemerintahan dan konsentrasi kegiatan ekonomi.

Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin laki-laki, hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih kecil dari 100 (97). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 2.

Hanya di daerah Kabupaten Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Luwu Utara dan Makassar yang menunjukkan angka rasio jenis kelamin lebih besar dari 100, yang berarti penduduk laki-laki di lima daerah tersebut lebih besar dari jumlah penduduk perempuan.

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pada periode 1990 – 2000 rata-rata sebesar 1,35% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan pada periode 2000-2004 rata-rata sebesar 1,45% per tahun. Kabupaten/Kota dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kabupaten Gowa, Luwu Utara dan Selayar. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada tabel II.A.1.

TABEL II.A.1
JUMLAH DAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK
DI SULAWESI SELATAN, TAHUN 2000 – 2004

Tahun
Jumlah Penduduk
% Laju Pertumbuhan Penduduk per tahun
1
2
3
2000
6.937.667

2001
7.006.066

2002
7.060.129

2003
7.280.351

2004
7.379.370
1,45
Sumber : Sulsel Dalam Angka 2004, BPS, Prov. Sulsel 2005

GAMBAR II.A.1
JUMLAH PENDUDUK DI SULAWESI SELATAN TAHUN 2000 – 2004

Sumber : Sulsel Dalam Angka 2004, BPS, Prov. Sulsel

2. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur

Komposisi penduduk menurut kelompok umur dapat menggambarkan tinggi/rendahnya tingkat kelahiran. Selain itu komposisi penduduk juga mencerminkan angka beban tanggungan yaitu perbandingan antara jumlah penduduk produktif (umur 15 – 64 tahun) dengan umur tidak produktif (umur 0 – 14 tahun dan umur 65 tahun keatas).

Penduduk Sulawesi Selatan yang berusia 0 – 14 tahun pada tahun 1996 sebesar 34,23%. Lima tahun kemudian turun menjadi 32,42%. Turunnya proporsi penduduk usia muda tersebut merupakan indikator bahwa pada periode 1996-2001 telah terjadi penurunan tingkat kelahiran yang cukup berarti. Hal ini berarti pula bahwa ada pergeseran dari struktur umur yang mengarah ke penduduk “tua”. Meskipun demikian, proporsi tersebut masih berada diatas rata-rata nasional sebesar 29,83%.

GAMBAR II.A.2
KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT KELOMPOK UMUR
DAN JENIS KELAMIN DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Sulsel Dalam Angka 2004, BPS Prov. Sulsel 2005

3. Persebaran dan Kepadatan Penduduk

Penduduk Sulawesi Selatan pada awal tahun 2004 tercatat sekitar 7,38 juta jiwa tersebar di 20 kabupaten dan 3 kota. Namun persebaran tersebut tidak merata, sekitar separuh penduduk Sulawesi Selatan tinggal di enam daerah kabupaten/kota yaitu Kabupaten Gowa, Bone, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara dan Kota Makassar.

Daerah yang sangat menonjol jumlah penduduknya adalah Kota Makassar yaitu lebih dari satu juta jiwa atau sekitar 15% dari jumlah penduduk Sulawesi Selatan padahal luas wilayahnya hanya meliputi 0,39% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan (45.574,48 km2). Persentase penduduk menurut kabupaten/kota seperti pada gambar II.A.3.

B. KEADAAN EKONOMI

Pendapatan nasional per kapita penduduk Indonesia pada tahun 2000 dilaporkan sebesar US$ 709. Angka ini sudah meningkat bila dibandingkan tahun 1999 (US$ 621) dan tahun 1998 (US$ 477). Namun masih jauh di bawah pendapatan nasional per kapita pada masa sebelum krisis ekonomi (tahun 1997 sebesar US$ 1.063 dan tahun 1996 sebesar US$ 1.124).


GAMBAR II.A.3
PERSENTASE PENDUDUK MENURUT KAB/KOTA
DI SULAWESI SELATAN TAHUN 2004


Sumber : Sulsel Dalam Angka 2004, BPS Prov. Sulsel, 2005

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun diwilayah tersebut.

PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga berlaku pada tahun 2004 sekitar 48.765,95 milyar rupiah de kontribusi terbesar diberikan oleh sektor Pertanian yakni sebesar 33,36% dan disusul oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan sumbangan sebesar 14,89%. Sektor industri pengolahan Sulawesi Selatan yang diharapkan mampu menunjang sektor pertanian dengan berorientasi pada agroindustri pada tahun 2004 memberikan sumbangan sebesar 13,39%, meningkat 0,05% dibandingkan dengan tahun 2003.

PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga konstan tahun 2000 pada tahun 2004 sebesar 37.529,05 milyar rupiah atau meningkat sekitar 5,38%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2003.

Pada umumnya, pertumbuhan dari sektor-sektor dalam PDRB tahun 2004 lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, kecuali untuk sektor Pertanian, sektor Listrik, Gas dan Air dan sektor jasa dengan pertumbuhan masing-masing sekitar 32,81%; 1,09% dan 11,18%. Namun demikian, karena sektor-sektor yang tumbuh tinggi adalah sektor yang memiliki kontribusi relatif kecil terhadap PDRB, maka pertumbuhan ini tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang masih mengandalkan sektor pertanian.

Angka lain yang dapat diturunkan dari angka PDRB adalah angka PDRB Perkapita. Indikator ini biasa digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk di suatu daerah. Angka per kapita bruto (atas dasar harga konstan 2000) penduduk Sulsel pada tahun 2004 sebesar Rp. 4.445.773,-.


GAMBAR II.B.1
ANGKA PERKAPITA BRUTO PROVINSI SULAWESI SELATAN (RUPIAH)
MENURUT HARGA KONSTAN TAHUN 2000 – 2004


Sumber : Sulsel Dalam Angka 2004, BPS, Prov. Sulsel 2005

C. TINGKAT PENDIDIKAN

Uraian tentang keadaan pendidikan berikut ini sebagian besar juga diambil dari buku Sulsel Dalam Angka 2004 dan Indikator Kesra tahun 2003 terbitan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.

1. Kemampuan Baca Tulis

Kemampuan membaca dan menulis atau baca tulis merupakan keterampilan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mencapai kesejahteraannya. Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf penduduk usia 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Yang dimaksud huruf lainnya misalnya huruf Arab, Bugis, Makassar, Jawa, Cina dan sebagainya.

Secara nasional persentase penduduk yang dapat membaca huruf latin sebanyak 90,07%. Sedangkan mereka yang dapat membaca huruf lainnya sebanyak 0,87% dan yang buta huruf sebanyak 9,07%. Di perdesaan, penduduk yang buta huruf lebih banyak dibanding di perkotaan (12,16% berbanding 4,91%). Persentase penduduk yang buta huruf pada perempuan, yaitu sebesar 12,28%. Lebih tinggi dibanding pada laki-laki yang hanya sebesar 5,84%. Provinsi dengan persentase penduduk dengan angka buta huruf tertinggi adalah Papua yaitu sebesar 23,39%, menyusul NTB (21,31%) dan Jawa Timur (15,03%), sedangkan yang terendah adalah Provinsi Sulawesi Utara (0,99%), menyusul DKI Jakarta (1,47%) dan Maluku (2,56%).

Untuk di Sulawesi Selatan, menurut hasil SUSENAS 2003 menunjukkan bahwa angka melek huruf (AMH) penduduk usia 10 tahun keatas sekitar 85,02. Angka tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun 2000 yaitu 84,53. Terjadinya penurunan angka melek huruf dan tahun 2000 ke tahun 2001 sebanyak 2,12 diduga masih merupakan pengaruh dan krisis ekonomi tahun 1998 yang pengaruhnya baru kelihatan pada tahun 2001, tetapi sudah mulai membaik pada tahun 2002.








TABEL II.C.1
ANGKA MELEK HURUF PENDUDUK USIA 10 TAHUN KE ATAS
DAN JENIS KELAMIN DI SULSEL TAHUN 2000- 2003

Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
1
2
3
4
2003
87,45
82,73
85,02
2002
87,75
80,81
83,55
2001
86,55
80,81
83,55
2000
88,13
81,27
84,53
Sumber: Indikator Kesra Sulsel Tahun 2003, BPS Prov. Sulsel 2004

Berdasarkan jenis kelamin, selisih angka melek huruf laki-laki dan perempuan masih cukup tinggi. Perbedaan angka melek huruf menurut jenis kelamin mengalami penuninan dan tahun ke tahun dan pada tahun 2001 selisihnya turun menjadi sekitar 5,74 poin dan angka melek huruf laki-laki sekitar 86,55 dan perempuan sekitar 80,81. Kemudian pada tahun 2003 selisih angka melek hurud laki-laki dan angka melek huruf perempuan turun lagi menjadi 4,96 poin. Keadaan tersebut, dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa semakin meningkat kesadaran akan pentingnya pendidikan tanpa melihat status jenis kelamin, meskipun disadari pula bahwa di beberapa masyarakat masih ada yang memprioritaskan anak laki-laki untuk disekolahkan dan pada anak perempuannya.

Menurut daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan hasil Susenas 2003 terlihat bahwa variasi angka melek hurufberkisar antara 71 sampai 95. Angka melek huruf tertinggi terdapat di tiga kabupaten/kota yaitu Kota Makassar (95), Pare-Pare (93) dan Kabupaten Luwu Utara sekitar 91. Sementara itu terdapat dua (2) kabupaten yang angka melek hurufnya dibawah 75 yaitu Kabupaten Bantaeng (71) dan Jeneponto yaitu 68.

Menurut jenis kelamin dan kabupaten/kota, angka melek huruf menunjukkan bahwa pada laki-laki berkisar antara 69 sampai 97 dengan angka terendah adalah Kabupaten Jeneponto (69,17) sedangkan angka tertinggi adalah Kota Makassar (96,73). Untuk angka melek huruf perempuan berkisar antara 66 sampai 94 dengan angka terendah dan tertinggi pada daerah yang sama dengan angka melek huruf kelompok laki-laki.

GAMBAR II.C.1
ANGKA MELEK HURUF PENDUDUK USIA 10 TAHUN KE ATAS DAN JENIS KELAMIN
DI SULSEL TAHUN 2000 - 2003



Sumber : Indikator Kesra Sulsel Tahun 2003, BPS Prov. Sulsel 2004


2. Partisipasi Pendidikan

Pada tahun 2003 persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah bersekolah sebesar 8,50%. Secara nasional, pada tahun 2003 penduduk usia 10 tahun ke atas yang masih bersekolah sebesar 19,09% yang meliputi 7,92% bersekolah di SD/MI, 5,97% di SLTP/MTs, 3,79% di SMU/SMK/MA dan 1,41% di Akademi/Universitas. Secara nasional penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah sebagian besar tinggal di perdesaan (11,32%), dan hanya sedikit yang tinggal di perkotaan (4,07%). Menurut jenis kelamin, terlihat penduduk perempuan yang tidak/belum pernah sekolah besarnya 2 kali lipat penduduk laki-laki (11,56% berbanding 5,43%).

Secara umum Angka Partisipasi Sekolah (APS) perempuan lebih besar dibanding angka partisipasi sekolah laki-laki pada kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Sementara pada kelompok umur 16-18 tahun, angka partisipasi sekolah laki-laki lebih tinggi dibanding angka partisipasi sekolah perempuan. Kondisi angka partisipasi sekolah penduduk usia 7-18 tahun menurut jenis kelamin di Indonesia dan Sulawesi Selatan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL II.C.2
ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PENDUDUK USIA 7 - 18 TAHUN
MENURUT JENIS KELAMIN DI INDONESIA & SULSEL TAHUN 2003

Kelompok Umur
INDONESIA
SULSEL
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
1
2
3
4



7 – 12
96,04
96,83
96,42
90,93
93,97
92,41
13 – 15
80,48
81,58
81,01
68,21
71,03
69,56
16 - 18
51,27
50,65
50,97
43,56
47,23
45,37
Sumber : Indikator Kesra Sulsel Tahun 2003, BPS Prov. Sulsel 2004 & Profil Kesehatan Indonesia 2003

Apabila angka partisipasi sekolah dilihat menurut kabupaten/kota, maka masih terdapat 5 kabupaten yang angka partisipasi sekolahnya dibawah 90 pada usia SD (7 – 12 tahun). Kelima kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Bulukumba (89,3), Bantaeng (82,7), Jeneponto (80,4), Tana Toraja (86,7). Selanjutnya pada usia SLTP (13 – 15 tahun), angka partisipasi sekolah paling rendah di Kabupaten Bantaeng sekitar 46,96 dan Jeneponto sekitar 54,17, sedangkan paling tinggi di Kota Makassar yaitu 85,29 dan Kabupaten Enrekang 84,85. Pada usia SLTA (16 – 18 tahun), angka partisipasi sekolah berkisar antara 24 – 69 dengan angka terendah pada Kabupaten Wajo, sedangkan angka tertinggi pada Kota Pare-pare.

3. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki penduduk merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara mencerminkan semakin tingginya taraf intelektualitas bangsa dan negara tersebut.

Di Indonesia pada tahun 2003, persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum memiliki ijazah/STTB sebanyak 30,37%. Sedangkan yang sudah memiliki ijazah terdiri dan Tamat SD/MI sebanyak 33,42%, tamat SLTP/MTs sebanyak 16,65%, tamat SMU/SMK sebanyak 16,17%, dan tamat Diploma I sampai dengan Universitas sebesar 3,39%.

Di Sulawesi Selatan pada tahun 2003, persentase penduduk yang hanya tamat SD yaitu sekitar 28,39% dan yang tidak tamat SD sekitar 36,97%. Sedangkan yang tamat SLTA ke atas terdapat sekitar 20,28%. Apabila dibanding tahun 2000 dan 2002, maka proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak tamat SD mengalami penurunan dari 38,96% pada tahun 2000 turun menjadi 37,58% tahun 2002, kemudian turun lagi menjadi 36,97% tahun 2003. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk di Sulawesi Selatan semakin membaik. Selain itu, juga dapat dilihat dengan relatif stabilnya persentase penduduk yang berpendidikan SLTP ke atas baik pada tahun 2000, 2002 dan 2003 yaitu sekitar 34%.








TABEL II.C.3
PERSENTASE PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MENURUT JENJANG PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN
DI SULSEL TAHUN 2000, 2002 & 2003


Tingkat Pendidikan
2000
2002
2003
1
2
3
4
Tidak/Belum Pernah Sekolah
14,05
13,87
13,65
Tidak Tamat SD
24,91
23,71
23,32
SD
26,78
28,05
28,39
SMTP
14,29
14,26
14,36
SMTA/D2
17,17
16,77
16,93
Akademi/D3
0,36
0,83
0,85
Universitas
2,44
2,51
2,50
Jumlah
100,00
100,00
100,00
Sumber : Indikator Kesra Sulsel Tahun 2003, BPS Prov. Sulsel 2004 & Profil Kesehatan Indonesia 2003

Apabila dilihat menurut jenis kelamin, maka pada tingkatan pendidikan yang ditamatkan SLTP ke bawah proporsi laki-laki dan perempuan sama. Namun tingkatan pendidikan yang ditamatkan SLTA ke atas, proporsi laki-laki (22,43%) jauh lebih tinggi dan proporsi perempuan (18,27%) dengan perbedaan sekitar 4,16% poin.
Dilihat dan kabupaten/kota, maka persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang hanya berpendidikan SD berkisar 15 – 37%. Persentase paling tinggi di Kabupaten Wajo sekitar 37,71% dart terendah di Kota Makassar sekitar 15,3%. Untuk yang berpendidikan SLTP persentase paling rendah terdapat di Kabupaten Selayar (8,64%) dan paling tinggi di Kabupaten Tana Toraja yaitu 21,49%. Selanjutnya yang berpendidikan SLTA ke atas hanya empat (4) kabupaten/kota yang persentasenya di atas 20%. Keempat kab./kota tersebut masing-masing Kota Makassar 49,97%, Pare-pare 35,26%, Kab. Luwu sekitar 22,61% dan Kab. Sidrap sekitar 20,19%.

TABEL II.C.4
PERSENTASE PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN JENJANG
PENDIDIKAN YANG DITAMATKAN MENURUT JENIS KELAMIN
DI INDONESIA & SULSEL TAHUN 2003

Jenjang Pendidikan yg ditamatkan
INDONESIA
SULSEL
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
1
2
3
4



Tidak Tamat SD
26,73
34,00
30,37
35,17
38,65
36,97
Tamat SD
33,41
33,42
33,42
28,14
28,63
28,39
Tamat SLTP
17,57
15,74
16,65
14,26
14,45
14,36
Tamat SLTA +
22,29
16,83
19,56
22,43
18,27
20,28
Sumber : Indikator Kesra Sulsel Tahun 2003, BPS Prov. Sulsel 2004 & Profil Kesehatan Indonesia 2003














GAMBAR II.C.2
PERSENTASE PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN JENJANG
PENDIDIKAN YANG DITAMATKAN MENURUT JENIS KELAMIN DI SULSEL TAHUN 2003


Sumber : Indikator Kesra Sulsel Tahun 2003, BPS Prov. Sulsel 2004

D. KEADAAN LINGKUNGAN

Untuk menggambarkan keadaan lingkungan, akan disajikan indikator-indikator yang merupakan hasil dan upaya sektor kesehatan dan hasil dan upaya sektor-sektor lain yang sangat terkait.
Salah satu sasaran dan lingkungan sehat adalah tercapainya permukiman dan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan di perdesaan dan perkotaan, termasuk penanganan daerah kumuh, serta terpernuhinya persyaratan kesehatan di tempat-tempat umum, termasuk sarana dan cara pengelolaannya.
Indikator-indikator tersebut adalah persentase rumah sehat, dan persentase tempat-tempat umum sehat, juga persentase penduduk dengan akses air minum, serta persentase sarana pembuangan air besar dan tempat penampungan akhir kotoran/tinja pada rumah tangga

1. Rumah Sehat

Di Sulawesi Selatan, berdasarkan laporan Subdin P2&PL Dinkes Provinsi Sulsel Tahun 2003 diperoleh data persentase rumah sehat sebesar 57,03%. Sedangkan untuk tahun 2004, persentase rumah sehat meningkat menjadi 63,34%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010 maka hal ini berarti masih jauh dari target. Dengan demikian masih terus dibutuhkan upaya-upaya yang mengarah kepada tercapainya rumah sehat.
Namun bila kita bandingkan dengan pencapaian pada masing-masing kab./kota terdapat 1 kota yang mencapai 100% yakni Kota Palopo (100%). Sedangkan kabupaten yang terendah pencapaiannya ialah Kab. Wajo (38,39%).

2. Tempat-tempat Umum dan Tempat Pengelolaan Makanan (TUPM)

Berdasarkan data yang diperoleh dan Subdin P2&PL Dinkes Provinsi Sulsel tahun 2003, nampak bahwa persentase rata-rata tempat-tempat umum yang sehat baru mencapai 51,99% yang meliputi Hotel (64,85%), Restoran/R-Makan (65,13%), Pasar (40,93%), Tempat Umum & Pengelolaan Makanan (TUPM = 50,97%) dimana TUPM ini terdiri dari jasa boga, makanan jajanan, industri makanan minuman, desa pengrajin makanan, rumah ibadah, RS, industri kecil RT dan terminal angkutan darat. Sedangkan untuk tahun 2004, rata-rata tempat-tempat umum yang sehat meningkat menjadi 52,82% yang meliputi Hotel (62,47%), Restoran/R-Makan (53,66%), Pasar (40,77%), TUPM lainnya (53,16%).

3. Akses Terhadap Air Minum

Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup terutama untuk keperluan minum dan masak merupakan tujuan dan program penyediaan air bersih yang terus menerus diupayakan pemerintah. Oleh karena itu, salah satu indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan adalah ketersediaan sumber air minum rumah tangga.

Sumber air minum yang digunakan rumah tangga dibedakan menurut air kemasan, ledeng, pompa, sumur terlindung, sumur tidak terlindung, mata air terlindung, mata air tidak terlinduñg, air sungai, air hujan dan lainnya. Data dan Statistik Kesejahteraan Rakyat (BPS, 2003) menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia yang menggunakan air minum dan air kemasan sebesar 1,83%, ledeng 17,03%, pompa 14,51%, sumur terlindung 35,57%, sumur tidak terlindung 12,09%, mata air terlindung 7,88%, mata air tidak terlindung 4,93%, air sungai 3,10%, air hujan 2,66% dan sumber lainnya 0,39%.

Sedangkan untuk di Sulawesi Selatan, berdasarkan hasil Susenas 2003, persentase rumah tangga yang menggunakan sumber air minum ledeng baru mencapai sekitar 21,66% dan hampir sama pada semua kab./kota, kecuali rumah tangga pengguna air ledeng sebagai sumber air minum dibawah 5% terdapat di Kab. Luwu Utara (4,69%). Sedang yang memakai air sumur/mata air untuk kebutuhan air minum terdapat lebih dan separuh rumah tangga di Sulawesi Selatan yaitu sekitar 74,65% masih membutuhkan air tersebut sebagai air minum.

4. Sarana Pembuangan Air Besar dan tempat Penampungan Akhir Kotoran/Tinja pada Rumah Tangga

Fasilitas rumah tinggal yang lain yang berkaitan dengan kesehatan adalah ketersediaan jamban sendiri dengan tangki septik. Sehubungan dengan itu pemerintah telah melaksanakan program sanitasi lingkungan, diantaranya beberapa pengadaan jamban keluarga. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat Sulawesi Selatan terhadap sanitasi lingkungan tersebut terlihat semakin meningkat jumlah rumah tangga yang menggunakan tangki septik sebagai penampungan akhir walaupun masih relatif kecil.

Menurut hasil Susenas di Sulawesi Selatan tahun 2001, persentase rumah tangga yang menggunakan tangki sebagai penampungan akhir, tercatat sekitar 38,00%, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi sekitar 43,00% dan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi sekitar 42,86%. Sedang rumah tangga yang menggunakan jenis penampungan akhir berupa kolam/sawah, pantai/tanah, tambak dan sungai/danau/laut yang memungkinkan mencemari lingkungan masih dikategorikan cukup besar yaitu sekitar 57,15% pada tahun 2003. Jika dilihat di kab/kota, masih terdapat 6 kab./kota yang lebih dari 50% dari total rumah tangga yang menggunakan tangki sebagai tempat pembuangan tinja terakhir, masing-masing Kab. Gowa (56,61%), Soppeng (57,24%), Sidrap (70,89%), Pinrang (68,73%), Kota Makassar (89,09%) dan Pare-pare (73,4%).

E. KEADAAN PERILAKU MASYARAKAT

Komponen perilaku dan lingkungan sehat merupakan garapan utama promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah upaya untuk memampukan atau memberdayakan masyarakat agar dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya (WHO). Pelaksanaan kegiatan promosi kesehatan bukanlah pekerjaan yang mudah, karena menyangkut aspek perilaku yang erat kaitannya dengan sikap, kebiasaan, kemampuan, potensi dan faktor budaya pada umumnya.

Selanjutnya perilaku kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan oleh manusia yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan kemampuan yang dapat berdampak positif atau negatif terhadap kesehatan.
Keadaan perilaku masyarakat yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan digambarkan melalui indikator-indikator persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat, persentase posyandu purnama dan mandiri.

1. Rumah Tangga ber-PHBS

Perilaku yang menunjang kesehatan adalah adanya rumah tangga yang menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Di Sulawesi Selatan berdasarkan hasil pengumpulan data oleh Subdin Promosi dan Kesehatan Masyarakat Tahun 2003 diperoleh data rumah tangga yang ber-PHBS sebesar 8,81% dari 915.670 RT yang di pantau pada 21 kab./kota. Sedangkan untuk tahun 2004, persentase rumah tangga yang ber-PHBS sebesar 35,52% dari 352.661 RT yang dipantau. Bila dibandingkan dengan target pencapaian dari IIS 2010 (65%) maka masih diperlukan upaya-upaya yang optimal untuk mencapai target tersebut.

2. Posyandu Purnama dan Mandiri

Peran serta masyarakat di bidang kesehatan sangat besar. Wujud nyata bentuk keperansertaan masyarakat antara lain muncul dan berkembangnya upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM), misalnya Posyandu.

Sebagai indikator peran aktif masyarakat melalui pengembangan UKBM digunakan persentase desa yang memiliki Posyandu. Posyandu merupakan wahana kesehatan bersumberdaya masyarakat yang memberikan layanan 5 kegiatan utama (KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan P2 Diare) dilakukan dari, oleh untuk dan bersama masyarakat.

Di Sulawesi Selatan, jumlah posyandu yang tercatat untuk tahun 2004 sebanyak 7.636 buah posyandu dengan rasio posyandu/desa sebesar 2,7. Rasio ini sama dengan rasio posyandu/desa pada tahun 2003. Oleh sebab itu, situasi ini tetap perlu mendapat perhatian bila ingin meningkatkan kualitas posyandu menuju posyandu mandiri.

Adapun jumlah posyandu purnama dan mandiri di Sulawesi Selatan Tahun 2003 baru mencapai 18,93%. Sedangkan untuk tahun 2004, jumlahnya meningkat mencapai 23,72%. Namun bila dibandingkan dengan target IIS 2010 (40%) maka perlu peningkatan yang optimal dalam peran serta masyarakat.



















































SITUASI DERAJAT KESEHATAN

Untuk menggambarkan derajat kesehatan masyarakat Sulawesi Selatan, berikut ini disajikan situasi Mortalitas, Morbiditas dan Status Gizi Masyarakat :

A. MORTALITAS (Angka Kematian)

Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dan kejadian kematian dalam masyarakat dan waktu ke waktu. Disamping itu kejadian kematian juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survei dan penelitian.

Peristiwa kematian pada dasarnya merupakan proses akumulasi akhir dan berbagai penyebab kematian langsung maupun tidak langsung. Secara umum kejadian kematian pada manusia berhubungan erat dengan permasalahan kesehatan sebagai akibat dan gangguan penyakit atau akibat dari proses interaksi berbagai faktor yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengakibatkan kematian dalam masyarakat.

Salah satu alat untuk menilai keberhasilan program pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini adalah dengan melihat perkembangan angka kematian dan tahun ke tahun. Besamya tingkat kematian dan penyakit penyebab utama kematian yang terjadi pada periode terakhir dapat dilihat dari berbagai uraian berikut.

1. Angka Kematian Bayi (AKB)

Data kematian yang terdapat pada suatu komunitas dapat diperoleh melalui survei, karena sebagian, besar kematian terjadi di rumah, sedangkan data kematian di fasilitas pelayanan kesehatan hanya memperlihatkan kasus rujukan. Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia berasal dari berbagai sumber, yaitu Sensus Penduduk, Surkesnas/Susenas, dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).

Dalam beberapa tahun terakhir AKB telah banyak mengalami penurunan yang cukup besar meskipun pada tahun 2001 meningkat kembali sebagai dampak dan berbagai krisis yang melanda Indonesia. Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1999 cenderung menurun yakni 55 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1995 dan terus menurun hingga mencapai 46 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1999, kemudian naik menjadi 47 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000.

Menurut hasil Surkesnas/Susenas, AKB di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup.
Sedangkan AKB menurut hasil SDK1 2002-2003 terjadi penurunan yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup.

Untuk di Sulawesi Selatan, selama 30 tahun Angka Kematian Bayi menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 161 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 55 pada tahun 1996, lalu turun lagi menjadi 52 pada tahun 1998 kemudian pada tahun 2003 menjadi 48 (Susenas 2003). Ini berarti rata-rata penurunan AKB selama kurun waktu 1998 – 2003 sekitar 4 poin. Namun, menurut hasil Surkesnas/Susenas 2002-2003, AKB di Sulawesi Selatan sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat AKB tetapi tidak mudah untuk menentukan faktor yang paling dominan dan faktor yang kurang dominan. Tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan kesehatan dan tenaga medis yang terampil, serta kesediaan masyarakat untuk merubah kehidupan tradisional ke norma kehidupan modem dalam bidang kesehatan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat AKB. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat.










GAMBAR III.A.1
ANGKA KEMATIAN BAYI & ANGKA HARAPAN HIDUP
DI SULSEL THN 1971, 1980, 1990, 1996, 1998, 2000, 2001 & 2003


Sumber : SP (1971-1990) & Susenas 1996, 1998 & 2001

Kabupaten Pangkep merupakan daerah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang AKB-nya tertinggi bila dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainnya yaitu sekitar 65 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan Kabupaten Tana Toraja dan Kota Makassar masingm-asing menunjukkan AKB yang terendah yaitu sekitar 20 dan 27 per 1000 kelahiran hidup.

Sedangkan dan hasil penelitian mendalam terhadap semua kasus kematian yang ditemukan dalam SKRT 1995 dan SURKESNAS tahun 2001 diperoleh gambaran proporsi sebab utama kematian bayi sebagaimana dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL III.A.1
POLA PENYAKIT PENYEBAB KEMATIAN BAYI
DI INDONESIA HASIL SKRT 1995 & SURKESNAS 2001

No
S K R T
SURKESNAS
1995
%
2001
%
1
Peny. Sis. Pernps.
28,0
Ggn. Perinatal
34,7
2
Ggn. Perinatal
27,0
Sis. Pernafasan
27,6
3
Diare
16,4
Diare
9,4
4
Peny. Sis. Syaraf
5,5
Sist. Pencernaan
4,3
5
Tetanus
3,7
Gejala tidak jelas
4,1
6
Inf. & Parasit lain
3,5
Tetanus
3,4
7


Syaraf
3,2
Sumber : Badan Litbangkes, Publikasi Hasil SKRT Tahun 1992 dan 1995 serta SURKENAS 2001

Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian bayi dan SKRT 1995 hingga SURKESNAS 2001 tidak terlalu banyak mengalami perubahan dan didominasi dengan penyakit infeksi dan gangguan perinatal.

2. Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Balita (0 - 4 tahun) adalah jumlah kematian anak umur 0 - 4 tahun per 1.000 anak. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan, indikator ini menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial, dalam arti besar dan tingkat kemiskinan penduduk.

Angka Kematian Balita di Indonesia (menurut estimasi SUPAS 1995) dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2001) terlihat mengalami penurunan yang cukup bermakna. Pada tahun 1986 AX.ABA diperkirakan sebesar 111 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 81 pada tahun 1993 dan turun lagi menjadi 44,7 pada tahun 2000 sementara untuk Sulawesi Selatan, pada tahun yang sama berada dibawah rata-rata nasional yakni sebesar 42,16 per 1.000 kelahiran hidup. Namun, hasil SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa AKABA di Sulawesi Selatan mencapai 72 per 1.000 kelahiran hidup.

Sedangkan AKABA pada tahun 2001 menurut hasil SUSENAS 2001 diperkirakan sebesar 64 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran perkembangan AKABA dalam 15 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel III.A.2.

Dari gambaran Estimasi SUPAS 1995 dan SUSENAS 2001 pada awalnya dapat dikatakan sama, namun demikian hasil SUSENAS 2001 menunjukkan adanya peningkatan yang perlu mendapat perhatian bila dibandingkan dengan hasil estimasi SUPAS tahun 1995. Perbedaan ini dapat dimaklumi karena hasil estimasi yang didasarkan atas SUPAS 1995 tidak mempertimbangkan berbagai perubahan faktor risiko yang terjadi di masyarakat dalam kurun waktu setelah SUPAS, sedangkan pada SUSENAS 2001 merupakan hasil yang dijumpai di lapangan pada saat survey dilaksanakan selama tahun 2001 dengan berbagai perkembangan faktor risiko yang terjadi di masyarakat, salah satunya sebagai akibat dan knisis ekonomi.

TABEL III.A.2
ANGKA KEMATIAN ANAK BALITA (1-4 TH)
DI SULSEL DAN INDONESIA, TAHUN 1986 – 2003

Tahun
AKABA per 1000 KH
Sumber
Nasional
Propinsi
1986
111

Estimasi BPS
1992
83

Susenas
1993
80

Estimasi BPS
1994
28,3
23,6
SDKI 1994
1995
75

Estimasi SUPAS 1995

73

Estimasi SUSENAS
1997
19,4
17,1
SDKI 1997
1998
64,28

Estimasi SUPAS 1995

64

Estimasi SUSENAS
1999
59,55

Estimasi SUPAS 1995
2000
44,7
42,16
Estimasi SUPAS 1995
2001
64

Estimasi SUSENAS
2002-2003
46
72
SDKI 2002-2003
Sumber : Data Sekunder diolah

Sementara itu, dan hasil penelitian AKABA yang ditemukan dalain SKRT 1995 mendalam terhadap semua kasus kematian dan SURKESNAS 2001 diperoleh gambaran besarnya proporsi sebab utama kematian Balita dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL III.A.3
POLA PENYAKIT PENYEBAB KEMATIAN BALITA
DI INDONESIA HASIL SKRT 1995 & SURKESNAS 2001

No
S K R T 1995
SURKESNAS 2001
Jenis Penyakit
%
Jenis Penyakit
%
1
Ggn. Sistem Pernafasan
30,8
Sist. Pernafasan (Pneumonia)
22,8
2
Gangguan Perinatal
21,6
Diare
13,2
3
Diare
15,3
Syaraf
11,8
4
Inf. & Parasit lain
6,3
Tifus
11,0
5
Syaraf
5,5
Sistem Pencernaan
5,9
6
Tetanus
3,6
Infeksi Lain
5,1
Sumber : Badan Litbangkes, Publikasi Hasil SKRT Tahun 1995 dan SURKESNAS 2001

Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian balita menurut hasil SKRT 1995 dan SURKESNAS 2001 tidak terlalu banyak mengalami perubahan, masih didominasi oleh penyakit infeksi. Pada tahun 2001, kematian Balita yang tertinggi adalah kematian akibat Pneumonia yang angkanya adalah 4,6 per 1000 Balita disusul dengan kematian akibat Diare sebesar 2,3 per 1000 Balita.

3. Angka Kematian ibu Maternal (AM)

Angka Kematian Ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan waktu ibu melahirkan dan masa nifas. Untuk mengantisipasi masalah ini maka diperlukan terobosan-terobosan dengan mengurangi peran dukun dan meningkatkan peran Bidan. Harapan kita agar Bidan di Desa benar-benar sebagai ujung tombak dalam upaya penurunan AKB (IMR) dan AKI (MMR). Masalah lain yang perlu dicermati adalah belum mampunya masyarakat membayar Bidan dan masyarakat lebih senang melahirkan di rumah dari pada di Rumah Sakit atau tempat lain seperti Pondok Persalinan Desa (Polindes).

Angka Kematian Ibu maternal (AKI) diperoleh melalui berbagai survey yang dilakukan secara khusus seperti survey di Rumah Sakit dan beberapa survey di masyarakat dengan cakupan wilayah yang terbatas. Dengan dilaksanakannya Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survey Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI), maka cakupan wilayah penelitian AKI menjadi lebih luas dibanding survey-survey sebelumnya.

Untuk melihat kecenderungan AKI di Indonesia secara konsisten, digunakan data hasil SKRT. Menurut SKRT, AKI menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun lagi menjadi 373 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada SKRT 2001 tidak dilakukan survey mengenai AKI. Pada tahun 2002-2003, AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh dan hasil SDKI. Hal ini menunjukkan AKI cenderung terus menurun. Tetapi bila dibandingkan dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut dimasa mendatang sulit tercapai.

Angka kematian ibu yang berasal dari kegiatan SKRT dan SDKI tersebut hanya menggambarkan angka nasional, tidak dirancang untuk mengukur angka kematian ibu menurut provinsi karena jumlah kasusnya terlalu kecil.

4. Angka Kematian Kasar (AKK)

Angka kematian kasar yang didapat juga merupakan hasil estimasi dari kegiatan Sensus Penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus. Estimasi AKK berdasarkan hasil SUPAS 1995 menunjukkan AKK sebesar 7,7 per 1.000 penduduk pada tahun 1995, turun menjadi 7,6 per 1.000 penduduk pada tahun 1996 dan tidak berubah sampai dengan tahun 1998. Kemudian pada tahun 1999, AKK turun menjadi 7,5 per 1.000 penduduk dan turun lagi menjadi 7,4 per 1.000 penduduk pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan angka kematian kasar dalam kurun waktu tahun 1995 – 2000 relatif stabil dengan penurunan yang sangat kecil. Perkembangan angka kematian kasar pada tahun 1995 s.d 2000 dapat dilihat pada gambar berikut:

GAMBAR III.A.2
ANGKA KEMATIAN KASAR PER 1.000 PENDUDUK
NASIONAL DAN SULSEL, TAHUN 1995 – 2000


Sumber : Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995)

Gambar tersebut diatas menunjukkan bahwa angka kematian kasar di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1995-2000 terakhir dapat dikatakan relatif stabil dengan penurunan yang sangat kecil, demikian juga di Sulawesi Selatan, angka kematian kasar terlihat stabil bahkan cenderung menurun sejak tahun 1996-1999, namun terjadi peningkatan untuk tahun 2000.

Sementara itu, dari hasil penelitian mendalam terhadap semua kasus kematian yang ditemukan dalam SKRT 1995 dan SURKESNAS 2001 diperoleh gambaran proporsi sebab kematian seperti pada tabel III.A.5.

5. Life Expactancy Of Birth (Umur Harapan Hidup Waktu Lahir)

Penurunan Angka Kematian Bayi sangat berpengaruh pada kenaikan Umur Harapan Hidup (UHH) waktu lahir. Angka Kematian Bayi sangat peka terhadap perubahan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga perbaikan derajat kesehatan tercermin pada penurunan AKB dan kenaikan Umur Harapan Hidup pada waktu lahir. Meningkatnya umur harapan hidup waktu lahir ini secara tidak langsung juga memberikan gambaran kepada kita tentang adanya peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat.

TABEL III.A.5
POLA PENYAKIT PENYEBAB KEMATIAN UMUM
DI INDONESIA MENURUT HASIL SKRT 1995 DAN SURKESNAS 2001

No
S K R T 1995
SURKESNAS 2001
Jenis Penyakit
%
Jenis Penyakit
%
1
2
3
4
5
1
Peny. Sis. Sirkulasi
18,9
Peny. Sis. Sirkulasi
26,4
2
Peny. Sis. Pernapasan
15,7
Peny. Sis. Pernafasan
12,7
3
TBC
9,6
TBC
9,4
4
Inf. & Parasit lain
6,3
Peny. Sis. Pencernaan
7,0
5
Diare
7,4
Neoplasma
6,0
6
Peny. Sis. Pencernaan
6,6
Kecelakaan
5,6
7
Gangguan Perinatal
5,2
Perinatal
4,9
8
Sebab lain/kecelakaan
5,2
Tifus
4,3
9
Neoplasma
5,0
Diare
3,8
10
Penyakit Syaraf
2,5
Endokrin & Metabolik
2,7
Sumber : Badan Litbangkes, Depkes RI, 1995

Dari estimasi hasil penelitian yang dilakukan oleh BPS, umur harapan hidup waktu lahir (E0) penduduk Indonesia secara Nasional mengalami peningkatan dari 45,73 tahun pada tahun 1967 menjadi 67,97 tahun pada tahun 2000. Peningkatannya dari tahun 1990 sampai dengan 2000 dapat dilihat pada gambar berikut :





















GAMBAR III.A.3
UMUR HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR (EO)
DI INDONESIA TAHUN 1990 – 2000


Sumber : Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995)

Sementara itu, rata-rata Angka Harapan Hidup penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan terus meningkat dari 43 pada tahun 1971 meningkat menjadi 52 tahun 1980, kemudian 10 tahun kemudian meningkat lagi menjadi 60 tahun 1990 dan turun menjadi 63,64 dan 68 pada tahun 1996, 1998 dan tahun 2001. Sedangkan untuk tahun 2003, Angka Harapan Hidup di Sulsel tetap 68 tahun. Menurut daerah kabupaten/kota Angka Harapan Hidup tahun 2003 relatif sama antar kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu berkisar antara 63 - 73 tahun.

B. MORBIDITAS (Angka Kesakitan)

Angka kesakitan penduduk diperoleh dari data yang berasal dan masyarakat (community based data) yang diperoleh melalui studi morbiditas, dan hasil pengumpulan data dari Dinas Kesehatan Kab./Kota serta dari sarana pelayanan kesehatan (facility based data) yang diperoleh melalui sistem pencatatan dan pelaporan.

1. Penyakit Menular

Penyakit menular yang disajikan dalam bagian ini antara lain:
- Penyakit menular langsung: Diare, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), Typhus, penyakit HIV/AIDS, penyakit TB Paru dan Kusta
- Penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
- Penyakit bersumber binatang : Demam Berdarah Dengue, Rabies, Filaria, Malaria

a. Penyakit Menular Langsung

1) Penyakit Diare

Penyakit diare sampai kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, walaupun secara umum angka kesakitan masih berfluktuasi, dan kematian diare yang dilaporkan oleh sarana pelayanan dan kader kesehatan mengalami penurunan namun penyakit diare ini masih sering menimbulkan KLB yang cukup banyak bahkan menimbulkan kematian.

Di Indonesia, hasil survei yang dilakukan oleh program diperoleh angka kesakitan Diare untuk tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk, angka ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil survei yang sama pada tahun 1996 sebesar 280 per 1.000 penduduk. Menurut hasil SKRT dalam beberapa survei, penyakit Diare masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita sebagaimana disajikan pada tabel berikut:




TABEL III.B.1
PROPORSI DAN PERINGKAT PENYAKIT BlARE SEBAGAI PENYEBAB
KEMATIAN BAYI DAN BALITA, TAHUN 1986,1992,1995 DAN 2001

Tahun Survei
Penyebab Kematian Bayi
Penyebab Kematian Balita
Proporsi
Peringkat
Proporsi
Peringkat
SKRT 1986
15,5%
3
-
-
SKRT 1992
11%
2
-
-
SKRT 1995
13,9%
3
15,3%
3
Surkesnas 2001
9,4%
3
13,2%
2

Pada tahun 2001 jumlah penderita pada KLB diare di Sulawesi Selatan tersebar pada 4 kabupaten/kota dengan 5 kecamatan dan 5 desa. Jumlah penderita sebanyak 217 penderita dan jumlah kematian 3 penderita (CFR = 1,38 % dan AR = 2,58 %). Jika dibandingkan dengan tahun 2000, situasi ini mengalami peningkatan baik da segi jumlah kejadian luar biasa (4 kali KLB tahun 2000) maupun dari segi jumlah penderita (146 penderita) dan tanpa kematian. Sementara untuk tahun 2002, jumlah penderita pada KLB diare tersebar pada 2 kabupaten/kota dengan 4 kecamatan dan 4 desa dengan jumlah penderita sebanyak 54 penderita tanpa kematian. Sedangkan tahun 2003, jumlah penderita pada KLB diare tersebar pada 13 kabupaten/kota dengan 21 kecamatan dan 27 desa dengan jumlah penderita sebanyak 1.156 penderita dengan 45 kematian. Dan untuk jumlah kejadian, penderita dan kematian akibat diare cenderung menurun pada tahun 2004. Adapun jumlah kejadian luar biasa diare periode Januari-Desember 2004 sebanyak 21 kejadian, dengan jumlah penderita sebanyak 1.145 orang dan jumlah kematian sebanyak 25 penderita (CFR=2,18%), tersebar pada 10 kabupaten, 15 kecamatan dan 24 desa. Distribusi kejadian luar biasa penyakit diare dapat dilihat secara rinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 20. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi atau berhubungan dengan terjadinya penyakit diare adalah belum meningkatnya kualitas kebiasaan hidup bersih dan sehat masyarakat pada umumnva dan khususnva hygiene perorangan, dan penggunaan sarana SAMIJAGA yang memenuhi syarat kesehatan belum membudaya pada masyarakat di pedesaan.

Sementara itu, jumlah penderita diare yang dapat dihimpun melalui laporan dari 24 kabupaten/kota selama tahun 2003 adalah sebesar 172.742 penderita (IR=2,070/00), meninggal 73 orang (CFR=0,04%). Kabupaten/Kota yang terlihat menunjukkan cakupan penemuan penderita tertinggi dalam tahun 2003 ini adalah Kota Palopo 146,74%. Kota Makassar 115.04%, Kab. Soppeng 112,63% dan Kab. Enrekang 111,67%. Sedangkan untuk tahun 2004, kasus diare yang dilaporkan sebanyak 177.409 kasus (cakupan 68,70%) dengan kematian sebanyak 66 orang (CFR=0,04%). Jumlah kasus tertinggi pada kelompok umur > 5 tahun (91.379 kasus) kematian 29 orang dan kelompok umur 1 – 4 tahun (57.087 kasus) kematian 17 orang sedang jumlah kasus terendah pada kelompok umur < 1 tahun (28.946 kasus) kematian 20 orang. Kab./kota yang terlihat menunjukkan cakupan penemuan penderita tertinggi pada tahun 2004 masih tetap Kota Palopo (152,42%) dan Kota Makassar (128,62%).

2) Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pola 10 penyakit terbanyak di rumah sakit umum maupun data survei (SDKI, Surkesnas) menunjukkan tingginva kasus ISPA, Prevalensi ISPA dalam beberapa tahun menurut hasil SDKI dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL III.B.2
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT MENURUT KELOMPOK UMUR
DENGAN PREVALENSI TERTINGGI DI INDONESIA
SELAMA TAHUN 1991, 1994, 1997 DAN 2002-2003
Tahun
Prevalensi
Kelompok Umur dengan Prevalensi Tertinggi
1991
9,8%
12 – 23 bulan
1994
10%
6 – 35 bulan
1997
9%
6 – 11 bulan
2002-2003
8%
6 – 23 bulan
Sumber : Hasil SDKI Tahun 1991, 1994 dan 2002-2003

Penyakit ISPA juga masih merupakan penyakit utama penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia. Tabel III.B.3 berikut ini menyajikan proporsi penyebab kematian bayi dan balita yang disebabkan oleh penyakit sistem pernafasan.

Sedangkan menurut data yang dikumpulkan melalui Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004, tercatat bahwa jumlah kasus pneumonia sebanyak 55.594 penderita, dengan jumlah balita yang pneumonia sebanyak 36.790 balita dan yang tertangani kurang dari separuh dari jumlah balita yang pneumonia, sebanyak 15.049 (40,91 %). Data terinci pada Lampiran Tabel spm 13.

TABEL III.B.3
PROPORSI DAN PERINGKAT ISPA/SISTEM PERNAFASAN SEBAGAI
PENYEBAB KEMATIAN BAYI DAN BALITA BERDASARKAN
HASIL SKRT 1986, 1992, 1995 DAN SURKESNAS 2001

Tahun SKRT/Surkesnas
Penyebab Kematian Bayi
SULSEL
Penyakit
Propor si
Pering kat
Penyakit
Propor si
Pering kat
SKRT 1986
Sist Pernafasan
12,4%
4
Sistem pernafasan
22,9%
1
SKRT 1992
Sist Pernafasan
36,0%
1
Sistem pernafasan
18,2%
1
SKRT 1995
Sist Pernafasan
29,5%
1
Ggn.sist.pernafasan
38,8%
1
Surkesnas 2001
Sist Pernafasan
27,6%
2
Sist.pernafasan Pneumonia
22,8%
1

Dari tabel di atas menurut hasil beberapa SKRT penyakit ISPA dan Sistem Pernafasan merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita. Diketahui bahwa 80% - 90% dan seluruh kasus kematian ISPA disebabkan Pneumonia dan Pneumonia merupakan penyebab kematian balita peringkat pertama pada Surkesnas 2001. Penyakit ISPA sebagai penyebab utama kematian pada bayi dan balita ini diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan kualitas penatalaksanaannya belum memadai.

3) Penyakit Typhus

Situasi penyakit Typhus (demam typhoid) di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004 sebanyak 14.820. Berdasarkan laporan yang di terima oleh Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel dari beberapa kabupaten yang menunjukkan kasus tertinggi yakni Kota Pare-pare, berturut-turut Kabupaten Gowa dan Jeneponto.

Sebagai penyakit potensial KLB, penyebaran penyakit ini hampir merata di semua kab./kota dan jumlah kasus yang dilaporkan sangat bergantung pada kualitas diagnosa dan keteraturan pengiriman laporan dari unit pelayanan kesehatan yang melakukan perawatan penyakit ini.

Menurut laporan kab./kota melalui Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004 tercatat satu (1) kahupaten yang terkena KLB Typhoid dengan 2 kecamatan dan 9 desa. Adapun jumlah penderita sebanyak 30 orang dengan 4 kematian (CFR=13,33%). Data pada Lampiran Format IIS Tabel 20.

4) HIV/AIDS dan Penyakit Menular Melalui Hubungan Seksual (PMS)

Penyakit HIV/AIDS yang merupakan new emerging diseases, dan merupakan pandemi pada semua kawasan, beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan peningkatan yang sangat mengkhawatirkan, meskipun berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan terus dilakukan. Semakin tingginya mobilitas penduduk antar wilayah, semakin mudahnya komunikasi antar wilayah, semakin menyebarnya sentra-sentra pembangunan ekonomi di Indonesia, meningkatnya perilaku seksual yang tidak aman, dan meningkatnya penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adikif lainnya) melalui suntikan ternyata secara simultan telah memperbesar tingkat risiko dalam penyebaran terhadap HIV/AIDS.

Saat ini Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic), yaitu adanya prevalensi lebih dari 5% pada sub populasi tertentu misalnya pada kelompok penjaja seks dan pada para penyalahguna NAPZA. Tingkat epidemi ini menunjukkan tingkat perilaku beresiko yang cukup aktif menularkan di dalam suatu sub populasi tertentu. Selanjutnya perjalanan epidemi akan ditentukan oleh jumlah dan sifat hubungan antara kelompok beresiko tinggi dengan populasi umum.

Penyakit yang kemunculannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena), yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah penderita yang sebenarnya, ini sudah menyebar di sebagian besar provinsi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa jumlah pengidap infeksi HIV/AIDS yang sebenarnya di Indonesia masih sangat sulit diukur dan belum diketahui secara pasti. Diperkirakan jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada akhir tahun 2003 mencapai 90.000 - 130.000 orang. Sementara jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2003 sebanyak 4.091 kasus, yang terdiri dari 2.720 kasus infeksi HIV dan 1.371 kasus AIDS, dan 479 kasus diantaranya telah meninggal dunia. Cara penularan HIV AIDS yang menonjol adalah melalui hubungan seks (heteroseksual) yakni sebesar 50,62% dan penyalahgunaan NAPZA melalui suntik (IDU = Intravena Drug Use) yakni sebesar 26,26%, serta melalui hubungan homoseksual yaitu sebesar 9,34%.

Untuk di Sulawesi Selatan, kegiatan utama pemberantasan penyakit kelamin dan HIV/AIDS adalah sero survei terhadap kelompok resiko tinggi dan rendah yang disertai dengan penyuluhan langsung kepada kelompok sasaran tersebut.

Hasil pemeriksaan sampel tersebut ditemukan STS positif sebanyak 51 sampel dan HIV positif 18 sampel sehingga jumlah kasus HIV positif hingga tahun 2003 sebanyak 62 orang sedang penderita AIDS hingga Desember 2003 sebanyak 4 orang. Sedangkan sampai dengan Desember 2004, kegiatan Sero Survei telah dilaksanakan di seluruh kab./kota se Sulawesi Selatan. Dari hasil pemeriksaan sampel tersebut ditemukan positif HIV sebanyak 84 sampel. Secara kumulatif jumlah pengidap HIV dan penderita AIDS hingga Desember 2004 sebanyak 97 kasus HIV+ dan 26 kasus AIDS.

5) Penyakit TB Paru

Angka kesakitan penyakit TB Paru yang terbaru belum diketahui secara pasti, karena belum pernah dilakukan penelitian yang berskala Nasional. Dan hasil survei prevalensi di 15 provinsi yang dilaksanakan pada tahun 1979-1982 diperoleh gambaran angka kesakitan antara 200 - 400 penderita per 100.000 penduduk.

Menurut Surkesnas 2001. TB Pam termasuk urutan ke-3 penyebab kematian secara umum. Sedangkan menurut laporan RS, selama tahun 2002 dan 2003 penyakit TB Paru termasuk 10 besar penyakit dan penderita yang dirawat di RS sekaligus merupakan 10 besar penyebab kematian pasien rawat inap di rumah sakit.

WHO memperkirakan pada saat ini, Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB terbesar ke-3 di dunia, yang setiap tahunnya diperkirakan terdapat penderita baru TB menular sebanyak 262.000 orang (44,9% dan 583.000 penderita baru TB) dan 140.000 orang diperkirakan meninggat karena penyakit TBC. Angka tersebut diyakini sangat memungkinkan, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi lingkungan perumahan, sosial ekonomi masyarakat, serta kecenderungan peningkatan penderita HIV/AIDS di Indonesia saat ini.

Pelaksanaan penanggulangan penyakit TB Paru sampai tahun 2003 telah dapat menurunkan prevalensi dan 130 per 100.000 penduduk pada tahun 2001 menjadi 122 per 100.000 penduduk pada tahun 2002 dan 115 per 100.000 penduduk pada tahun 2003.

Selain menyerang paru, Tuberculosis dapat menyerang organ lain (extra pulmonary TB). Jumlah kasus TB yang terdeteksi pada tahun 2003 sebanyak 100.210 kasus dengan BTA(+), 3.928 kasus kambuh, 68.848 kasus BTA(-), dan 3.775 kasus ekstra pulmoner. Angka kesembuhan untuk kasus baru BTA(+) mencapai 86%, sedangkan target angka kesembuhan TB Paru BTA(+) yang ingin dicapai sebesar 85%.

Di Sulawesi Selatan, menurut laporan Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, sampai dengan triwulan IV tahun 2004, Case Detection Rate (CDR) sebesar 69,5% (target 60%), Conversion rate 93% (target 60%), jumlah suspek sebanyak 60.196 orang, kasus baru sebanyak 1.868 orang, yang kambuh 48 kasus dan penderita yang diobati sebanyak 8.722 orang. Bila dibandingkan dengan tahun 2003 pada periode yang sama terjadi peningkatan baik jumlah suspek, kasus baru, kambuh dan penderita yang diobati. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya kegiatan sosialisasi, peran serta lintas program dan lintas sektor dalam pemberantasan penyakit ini.

Menurut laporan yang diterima melalui Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004 tercatat BTA positif sebanyak 7.883 dan kab./kota yang terbanyak penderitanya adalah Kota Makassar. Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 7.

6) Penyakit Kusta

Jika ditinjau dari situasi global, Indonesia merupakan negara penyumbang jumlah penderita kusta ketiga terbanyak setelah India dan Brazil. Masalah ini diperberat dengan masih tingginya stigma di kalangan masyarakat dan sebagian petugas. Akibat dari kondisi ini, sebagian besar penderita dan mantan penderita kusta dikucilkan sehingga tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan serta pekerjaan yang berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan.

Dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2001), angka prevalensi penyakit kusta secara nasional telah turun dari 4,5 per 10.000 penduduk pada tahun 1991 menjadi 0,85 per 10.000 penduduk pada tahun 2001. Pada tahun 2002 prevalensi sedikit meningkat menjadi 0,95 dan pada tahun 2003 kembali menurun menjadi 0,8 per 10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia sudah dapat mencapai eliminasi kusta pada bulan Juni 2000.

Meskipun Indonesia sudah mencapai eliminasi kusta pada pertengahan tahun 2000, sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti dari masih tingginya jumlah penderita kusta di Indonesia. Pada tahun 2003, jumlah penderita baru yang ditemukan sebanyak 15.549 dengan 76,9% diantaranya merupakan penderita tipe MB yang diketahui merupakan tipe yang menular. Selain itu, dari penderita baru yang diketemukan tersebut 8,0% sudah mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu kecacatan yang dapat dilihat dengan mata, dan 10,6% diantaranya adalah anak-anak. Keadaan ini menggambarkan masih berlanjutnya penularan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan penyakit kusta sehingga ditemukan sudah dalam keadaan cacat.

Untuk Sulsel situasi penderita Kusta hampir sama dengan pola Nasional, dimana jumlah penderita dan prevalensi rate per 10.000 penduduk menurun dari tahun ke tahun. Selama tahun 2001 penderita kusta yang terdaftar sebanyak 1.782 penderita yang terdiri dari 311 penderita type PB dan 1.471 penderita type MB. Selain itu juga ditemukan jumlah penderita baru sebanyak 1.772 penderita, diantaranya 506 penderita type PB dan 1.266 penderita type MB. Sedangkan penderita yang dinyatakan sembuh (RFT) sebanyak 514 orang dari type PB dan 1.122 penderita dari type MB dengan prevalensi penderita kusta sebesar 2,2 per 10.000 penduduk atau 0,22 per 1.000 penduduk. Angka penemuan kasus baru (CDR) sebesar 21,7 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk tahun 2002, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.782 orang yang terdiri dari 296 penderita type PB dan 1.486 type MB, sedangkan penderita RFT sebanyak 381 orang dengan 98 orang type PB dan 283 orang type MB serta prevalensi penderita kusta tetap sebesar 2,2 per 10.000 penduduk. Sementara untuk tahun 2003, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.515 orang yang terdiri dari 212 penderita type PB dan 1.303 type MB, sedangkan penderita RFT sebanyak 1.685 orang dengan 461 orang type PB dan 1.224 orang type MB serta prevalensi penderita kusta juga tetap sebesar 2,2 per 10.000 penduduk. Untuk tahun 2004, jumlah penderita Kusta yang terdaftar sebanyak 1.568 orang yang terdiri dari 190 penderita type PB dan 1.378 type MB. sedangkan penderita RFT sebanyak 1.128 orang dari prevalensi penderita kusta sebesar 2,0 per 10.000 penduduk.

GAMBAR III.B.1
SITUASI PREVALENSI KUSTA PER 10.000 PENDUDUK
DI SULAWESI SELATAN SELAMA TAHUN 2001 – 2004


Sumber : Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, 2004

b. Penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)

PD3I (penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi) merupakan penyakit yang diharapkan dapat diberantas/ditekan dengan pelaksanaan program imunisasi. PD3I yang dibahas dalam bab ml mencakup penyakit Tetanus Neonatorum, Campak, Difteri, Pertusis dan Hepatitis B. Sedangkan untuk Polio akan diuraikan dalam Bab IV. Jumlah kasus PD3I yang dikumpulkan daii Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004 dapat dilihat path Lampiran Tabel spm 35.

1) Tetanus Neonatorum

Secara nasional, jumlah kasus Tetanus Neonatorum pada tahun 2003 sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (CFR) 56%. Angka ini sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini diduga karena meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Namun secara keseluruhan CFR masih tetap tinggi. Penanganan Tetanus Neonatorum memang tidak mudah, sehingga yang terpenting adalah usaha pencegahan yaitu pertolongan persalinan yang higienis ditunjang dengan imunisasi TT pada ibu hamil.

Untuk di Sulawesi Selatan, kasus Tetanus Neonatorum pada tahun 2004 terjadi pada 4 (empat) kab./kota, masing-masing dengan 1 kejadian yakni Kab. Tana Toraja 1 penderita tanpa kematian, Kab. Barru 1 penderita tanpa kematian, Kab. Maros 1 penderita dengan 1 kematian (CFR=100%) dan Kab. Bulukumba 1 penderita dengan 1 kematian (CFR=100%). Jika dibandingkan dengan tahun 2003 pada periode yang sama, nampak bahwa terjadi peningkatan baik pada jumlah kejadian (40%), jumlah penderita (40%) maupun jumlah kematian (6,7%).

2) Campak

Campak merupakan penyakit menular yang sering menyebabkan kejadian luar biasa (KLB). Sepanjang tahun 2003, secara nasional, frekuensi KLB Campak menempati urutan keempat, setelah DBD, diare dan chikungunya. KLB Campak 2003 terjadi sebanyak 89 kali dengan jumlah kasus sebanyak 2.914 dan 10 kematian (CFR=0,34%).

Sedangkan di Sulawesi Selatan, KLB Campak periode Januari-Desember 2004 hanya adi di 5 kab./kota dengan jumlah penderita sebanyak 201 orang tanpa kematian (CFR=0,0%). Adapun distribusi kab./kota yang melaporkan adanya KLB Campak masing masing Kota Makassar sebanyak 1 kejadian, dengan penderita sebanyak 119 orang tanpa kematian, Kab. Sidrap 1 kejadian dengan 9 penderita tanpa kematian, Kab. Maros 1 kejadian dengan 1 penderita, Kab. Sinjai 1 kejadian 24 penderita tanpa kematian, Kab. Takalar 1 kejadian 48 penderita tanpa kematian. Jika dibandingkan dengan tahun 2003 pada periode yang sama jumlah kejadian mengalami penurunan sebesar 3,83% dan jumlah kematian menurun 100%.

3) Difteri

Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Rendahnya kasus Difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Namun KLB Difteri masih sering terjadi dan CFR-nya tinggi. Secara nasional, pada tahun 2003 terjadi 54 KLB dengan jumlah kasus sebanyak 86 dan CFR sebesar 23%.

Sementara itu, kasus Difteri selama tahun 2004 di Sulawesi Selatan hanya terjadi pada 2 kab./kota yakni Kab. Luwu Utara sebanyak 1 kejadian, 16 penderita dengan 3 kematian (CFR=18,75%), Kota Palopo 1 kejadian, 1 penderita tanpa kematian (CFR=0,0%). Bila dibandingkan dengan tahun 2003 pada periode yang sama, maka terjadi penurunan pada jumlah kejadian (60%), jumlah penderita tetap dan kematian mengalami peningkatan (CFR = 11,7%).

4) Pertusis

Di Indonesia, jumlah kasus Pertusis pada tahun 2003 sebanyak 2.788 kasus dengan angka insiden tertinggi pada anak usia kurang dari 1 tahun. Pada tahun yang sama juga terjadi 5 kali KLB Pertusis dengan jumlah kasus sebanyak 124.

Sedangkan di Sulawesi Selatan, berdasarkan data yang dikumpulkan melalui Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004, tercatat bahwa jumlah kasus Pertusis hanya terjadi di Kota Makassar dengan jumlah kasus sebanyak 164 kasus, tanpa KLB Pertusis.

5) Hepatitis

Secara nasional, jumlah kasus Hepatitis pada tahun 2003 sebanyak 29.597 kasus dengan angka insiden 1,4 per 10.000 penduduk. Pada periode tahun 2000 - 2003 angka insiden ini berfluktuasi, namun pada tahun 2003 terjadi sedikit peningkatan.

Sedangkan di Sulawesi Selatan, berdasarkan data yang dikumpulkan melalui Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004, tercatat bahwa jumlah kasus hepatitis sebanyak 1.101 kasus yang tersebar pada 7 kab./kota masing-masing di Kota Makassar (552 kasus), Kab. Luwu (397 kasus), Kab. Gowa (97 kasus), Kab. Maros (45 kasus), Kab. Jeneponto dan Kab. Soppeng masing-masing 4 kasus dan Kab. Pangkep sebanyak 2 kasus, tanpa KLB Hepatitis.

c. Penyakit bersumber binatang

1) Malaria

Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 15 juta penderita malaria dan 30.000 orang diantaranya meninggal 1 (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT, 1995).

Penyakit Malaria menyebar cukup merata di seluruh kawasan Indonesia, namun paling banyak dijumpai di luar wilayah Jawa-Bali, bahkan di beberapa tempat dapat dikatakan sebagai daerah endemis malaria. Menurut basil pemantauan program diperkirakan sebesar 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis Malaria. Perkembangan penyakit Malaria pada beberapa tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan di semua wilayah. Di Jawa-Bali kenaikan tersebut ditandai dengan meningkatnya API sedangkan di luar Jawa-Bali ditandai dengan peningkatan AMI.

Terjadinya peningkatan kasus diakibatkan antara lain adanya perubahan lingkungan seperti penambangan pasir yang memperluas genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk penular malaria, penebangan hutan bakau, mobilitas penduduk dari P. Jawa ke luar Jawa yang sebagian besar masih merupakan daerah endemis malaria dan obat malaria yang resisten yang semakin meluas.

Kegiatan penemuan penderita di Sulsel, sifatnya pasif dan dilaksanakan oleh unit- unit pelayanan kesehatan (Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit). Dan 24 kabupaten/kota yang melapor pada tahun 2002 ditemukan penderita Malaria Klinis sebanyak 16.128 penderita dengan sediaan darah yang diperiksa sebanyak 6.251 SD dan yang positif sebanyak 958 (SPR = 15,33 %). Sedangkan untuk tahun 2003 tercatat bahwa penemuan penderita secara pasif (Malaria Klinis) dilaporkan dari 26 kabupaten/kota sebanyak 8.491 kasus Malaria Klinis, jumlah specimen yang diperiksa sebanyak 5.389 dan yang positif sebanyak 1.365 (63,47%). Untuk tahun 2004, jumlah penderita klinis malaria sebanyak 12.009 penderita (AMI = 1.433 per mil), angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 1,43% dibandingkan dengan tahun 2003.

Menurut laporan Profil Kesehatan Kab./Kota se Sulsel Tahun 2004, jumlah penderita malaria klinis tercatat sebanyak 6.922 penderita dan yang positif tercatat 962 penderita. Adapun kab./kota yang memiliki penderita malaria klinis terbanyak ada Kab. Selayar (1.550 penderita atau 22,39% dari total penderita malaria klinis) dan yang terbanyak penderita malaria positif adalah Kab. Enrekang (472 penderita atau 49,06% dari total penderita malaria positif). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 7.

Selain itu dilakukan juga Survei malariometrik yang merupakan survei malariometrik dasar. Survei ini bertujuan untuk mengetahui tingkat endemisitas penyakit malaria di suatu wilayah, berdasarkan indikasi ditemukannya pembesaran limpha atau kasus-kasus malaria yang berkunjung ke unit-unit pelayanan kesehatan yang berasal dari suatu wilayah tertentu dan evaluasi terhadap dampak pemberantasan vektor. Kegiatan survei ini dilaksanakan di 23 kabupaten/kota dengan realisasi kegiatan sebanyak 5.847 dan target 5.800 specimen (100,81%), sernentara yang positif belum diketahui karena masih dalam pemeriksaan (Laporan Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, Tahun 2004).

2) Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit Demam Berdarah Dengue telah menyebar secara luas ke seluruh kawasan dengan jumlah kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat hingga ke wilayah pedalaman. Penyakit ini sering muncul sebagai KLB sehingga angka kesakitan dan kematian yang terjadi dianggap merupakan gambaran penyakit di masyarakat.

Angka insiden DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada awalnya pola epidemik terjadi setiap lima tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perubahan dengan periode antara 2 – 5 tahunan. Sedangkan angka kematian cenderung menurun.

Angka kematian (CFR) penyakit DBD di Indonesia pada tahun 2000 mengalami penurunan dibandingkan tahun 1999, yaitu dari 2,0 % menjadi 1,4 %. Namun demikian jumlah kasus DBD meningkat dari 21.134 kasus dengan kematian 422 pada tahun 1999 menjadi 33.443 kasus dengan kematian 472 kematian pada tahun 2000. Angka kesakitan meningkat dan 10,17 per 100.000 penduduk pada tahun 1999 menjadi 15,75 per 100.000 penduduk pada tahun 2000. Sedangkan untuk tahun 2001, peningkatan terjadi baik pada angka kesakitan (insidens rate) maupun pada kematian (CFR) yakni masing-masing 17,1 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 4,7%. Masih terjadinya peningkatan kasus DBD ini disebabkan antara lain dengan tingginya mobilitas dan kepadatan penduduk, nyamuk penular penyakit DBD (Aedes Aegypti) tersebar di seluruh pelosok tanah air dan masih digunakan tempat-tempat penampungan air (TPA) tradisional (tempayan, hal, drum, dll). Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD dapat dilihat dengan masih rendahnya angka bebas jentik (ABJ) yakni rata-rata 82,86 % baik di rumah, sekolah maupun tempat-tempat umum. Pada tahun 2003, jumlah penderita DBD dilaporkan sebanyak 51.516 kasus dengan angka kematian (CFR) sebesar 1,5% dan angka insiden sebesar 23,87% kasus per 100.000 penduduk.

Di Sulawesi Selatan, menurut laporan dan Subdin P2&PL tahun 2003, jumlah kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pada 26 kab./kota sebanyak 2.636 penderita dengan kematian 39 orang (CFR= 1,48 %), disamping itu pula jumlah kejadian luar biasa (KLB) sebanyak 82 kejadian dengan jumlah kasus sebanyak 495 penderita dan kematian 19 orang (CFR==3,84%). Bila dibandingkan dengan kejadian KLB Demam Berdarah Dengue Tahun 2002 maka jumlah kejadian mengalami peningkatan sebesar 1,60 kali, jumlah penderita meningkat sebesar 4,21 kali dan jumlah kematian meningkat 1,97%.

Sedangkan untuk tahun 2004, telah dilaporkan kejadian penyakit Demam Berdarah sebanyak 2.598 penderita (termasuk data Sulawesi Barat) dengan kematian 19 orang (CFR=0,7%). Dari kejadian tersebut telah dilakukan penanggulangan fokus berupa pengasapan, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) termasuk abatisasi. Pola kejadian tersebut berlangsung antara Januari – April, Juni, Oktober dan Desember (memasuki musim penghujan). Jumlah kasus tertinggi terjadi di Kota Makassar, Kab. Gowa dan Barru. Adapun hasil survei jentik dan situasi kasus Demam Berdarah Dengue secara terinci disajikan pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 7 dan Tabel spm 16.

Kegiatan penanggulangan yang dilakukan antara lain pengasapan, pemberantasan sarang nyamuk (PSN), abatisasi dan penyuluhan. Dibandingkan pada periode yang sama pada tahun 2000, jumlah kasus 1.183 penderita dengan CFR = 2,5 %, maka pada tahun 2001 terjadi peningkatan kasus yang sangat bermakna. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena peningkatan kasus di daerah endemis, beberapa daerah yang selama ini sporadis terjadi KLB, kemungkinan ada kaitannya dengan pola musiman 3-5 tahunan, kemudian bila dilihat dari hasil PJB, angka bebas jentik (ABJ) dibeberapa daerah endemis masih dibawah 95 % (tahun 2004 ABJ sebesar 92,0%).

3) Penyakit Filariasis

Program eliminasi filariasis dilaksanakan atas dasar kesepakatan global WHO tahun 2000 yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem The Year 2020”.

Filariasis (penyakit kaki gajah) tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di daerah pedesaan di luar pulau Jawa, Bali dan NTB. Dampak dan serangan penyakit ini adalah menurunkan derajat kesehatan masyarakat karena menurunnya daya kerja dan produktivitas serta timbulnya cacat anggota tubuh yang menetap. Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk, beberapa jenis nyamuk diketahui berperan sebagai vektor Filaniasis antara lain Mansonia, Anopheles dan Culex.

Di Indonesia, sampai dengan tahun 2003 kasus kronis Filariasis telah menyebar ke 30 provinsi pada lebih dari 231 kabupaten dengan jumlah kasus kronis 6.635 orang. Sampai saat ini di Indonesia telah ditemukan 3 species cacing filaria, yaitu Wucherecia bancrofti, Brugia Malayi dan Brugia Timori.

Di Sulawesi Selatan, salah satu kegiatan program pemberantasan penyakit Filaria adalah survei endemisitas Filariasis berupa survei darah jari yang bertujuan untuk mengetahui tingkat endemisitas berdasarkan mikro filaria rate pada lokasi yang ditentukan kasus klinis filariasis. Pada tahun 2001, kegiatan ini dilaksanakan pada 20 lokasi dari 6 kabupaten antana lain Kabupaten Luwu Utara, Luwu, Mamuju, Bone, Barru dan Polmas. Dari 3.938 specimen yang diperiksa ditemukan specimen yang positif sebanyak 22 specimen (MF Rate = 0,66 %) yaitu terdapat pada lokasi Simboro, Rangas, Paraby, Baras III, Martajaya di Kabupaten Mamuju Utara sedangkan pada Kabupaten Luwu Utara terdapat di lokasi Malili, Kabupaten Barru di lokasi Tanete Riaja dan Kabupaten Polmas di lokasi baru.

Sedangkan untuk tahun 2002, kegiatan ini dilaksanakan pada 12 lokasi dari 4 kabupaten antara lain Kabupaten Mamuju, Luwu Utara, Polmas dan Bone. Dari 1.931 specimen yang diperiksa ditemukan 4 specimen positif dengan Mikrofilaria Rate 0,21%, yang semuanya terdapat di Kabupaten Mamuju yakni pada lokasi Desa Karundang dan Desa Lara. Sementara untuk tahun 2003, kegiatan ini dilaksanakan pada 10 lokasi dari 5 kabupaten antara lain Kabupaten Maros, Luwu Utara, Polmas, Bone dan Mamuju. Dari 223 specimen yang diperiksa ditemukan 12 specimen positif dengan Mikrofilaria Rate 10,10%, yang semuanya terdapat di Kabupaten Polmas yakni pada lokasi Desa Lampoko, wilayah puskesmas Campalagian.

Untuk tahun 2004, dilaksanakan survei cepat filariasis di 30 puskesmas pada 15 kab./kota non endemis filariasis. Hingga triwulan IV 2004, jumlah penderita kronis yang ditemukan sebanyak 6 orang yaitu di Kab. Barru sebanyak 2 orang, Kab. Sidrap, Kab. Gowa, Kab. Luwu Utara dan Kab. Maros masing-masing sebanyak 1 orang. Sedangkan untuk survei evaluasi pengobatan, dilaksanakan di 5 lokasi pada 2 kabupaten endemis filariasis yaitu Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu Timur. Adapun jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 545 dari target 500 spesimen, dan hasil pemeniksaan mikrofilaria (MF Rate = 0%).

4) Penyakit Rabies

Penyakit Rabies pada beberapa tahun terakhir semakin menyebar ke berbagai wilayah yang selama ini dianggap aman atau daerah bebas rabies. Pada tahun 2000 Provinsi Nusa Tenggara Timur melaporkan adanya KLB di beberapa wilayah yang selama ini dinyatakan bebas Rabies, antara lain di Kabupaten Ngada dilaporkan sebanyak 1.711 kasus dengan kematian 1 orang, Kabupaten Ende sebanyak 122 kasus dengan kematian 3 orang, dan di Flores Timur sebanyak 23 kasus dengan kematian 1 orang.

Di Sulsel, berdasarkan laporan dan 24 kabupaten/kota pada tahun 2001, KLB Rabies dengan jumlah kasus gigitan oleh hewan tersangka Rabies sebanyak 1.714 kasus, 8 diantaranya positif Rabies (Lyssa). Kasus gigitan tertinggi ialah di Kabupaten Tana Toraja (807 kasus) sedang yang terendah di Kabupaten Jeneponto (7 kasus). Kasus yang divaksinasi anti rabies (VAR) sebanyak 683 kasus (40 %), tertinggi Kabupaten Sinjai, Jeneponto dan Luwu (100 %) sedang kabupaten lain pemberiannya dilakukan secara selektif karena ketersediaan vaksin anti rabies sangat terbatas dibanding dengan jumlah kasus yang ada, serta sebagian kasus setelah dilakukan pemeriksaan specimen dan observasi hewan hasilnya negatif. Jumlah specimen positif setelah dilakukan pemeriksaan di BPPH Kabupaten Maros ditemukan sebanyak 84 specimen.

Sementara untuk tahun 2002, kasus gigitan hewan tersangka Rabies sebanyak 1.559 kasus dengan Lyssa sebanyak 14 orang. Jumlah kasus yang diberi vaksinasi (VAR) sebanyak 811 kasus (52,02%) dengan jumlah specimen yang positif Rabies sebanyak 117 specimen. Sedang untuk tahun 2003, kasus gigitan hewan tersangka Rabies sebanyak 1.610 kasus dengan Lyssa sebanyak 9 orang. Jumlah kasus yang diberi vaksinasi (VAR) sebanyak 688 kasus (42,7%) dengan jumlah specimen yang positif Rabies sebanyak 85 specimen. Bila dibandingkan tahun sebelumnya terjadi peningkatan jumlah kasus gigitan namun pemberian VAR dan Lyssa menurun.

Untuk tahun 2004, dilaporkan bahwa jumlah kasus gigitan hewan tersangka Rabies sebanyak 1.809 kasus dengan Lyssa 6 orang. Jumlah kasus yang divaksinasi (VAR) sebanyak 662 (37%) dan jumlah specimen yang positif sebanyak 45 specimen. Adapun kabupaten yang memiliki jumlah kasus tertinggi yakni di kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Luwu.

2. Penyakit Tidak Menular Yang Diamati

Semakin meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat termasuk dalam pola konsumsi makanan keluarga. Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular seperti Penyakit Jantung, Tumor, Diabetes, Hipertensi, Gagal Ginjal, Gangguan Jiwa/Mental, dan sebagainya.
Dari 49 RS kabupaten/kota se Sulawesi Selatan (Pemerintah dan Swasta) yang melaporkan situasi Penyakit Tidak Menular menunjukkan bahwa kasus yang terbanyak adalah Hypertensi baik pada penderita rawat jalan (6.737 penderita) maupun pada penderita rawat inap (920 penderita dengan kematian 9 orang (CFR=0,98%). Bila kematian penyakit tidak menular rawat inap dikelompokkan menjadi kelompok Hypertensi, Diabetes, Neoplasma dan Strok, maka kematian terbesar terjadi pada kelompok: Strok tak menyebut pendarahan atau Infark dengan 403 penderita dan kematian 32 (CFR=7,94%), Infark Myocard Akut dengan 100 penderita dan 7 kematian (CFR=7%), Neoplasma Ganas Hati dan Saluran Empedu dengan 89 penderita dan kematian 6 penderita (CFR=6,74%), Diabetes Mellitus YTT dengan 230 penderita dan 10 kematian (CFR=4,35%), Hypertensi Esensial (primer) dengan 425 penderita dan kematian 17 penderita (CFR=4%) dan Neoplasma Ganas Payudara dengan 206 penderita dan kematian 6 (CFR=2,921%). Gambaran/pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit tahun 2004 disajikan pada tabel berikut ini :

TABEL III.B.4
PROPORSI 10 PENYAKIT TIDAK MENULAR TERBANYAK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT DI SULSEL TAHUN 2004

Jenis Penyakit
%
1. Hypertensi lainnya
2. Diabetes Mellitus YDT lainnya
3. Hypertensi esensial (Primer)
4. Diabetes Mellitus tidak bergantung Insulin
5. Diabetes Mellitus YTT
6. Strok tak menyebut pendarahan/infark
7. Infark Myocard Acuut
8. Angina Pektoris
9. Diabetes Mellitus bergantung Insulin
10. Neoplasma Ganas Payudara
43,13
18,98
16,54
6,46
4,61
2,78
1,46
1,16
0,44
0,44
Sumber : Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, 2004

Sedangkan pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2004 dapat dilihat pada tabel berikut ini:








TABEL III.B.5
PROPORSI 10 PENYAKIT TIDAK MENULAR TERBANYAK PADA
PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT DI SULSEL TAHUN 2004

Jenis Penyakit
%
1. Hypertensi lainnya
2. Diabetes Mellitus YDT lainnya
3. Hypertensi esensial (Primer)
4. Diabetes Mellitus tidak bergantung Insulin
5. Diabetes Mellitus YTT
6. Strok tak menyebut pendarahan/infark
7. Infark Myocard Acuut
8. Angina Pektoris
9. Diabetes Mellitus bergantung Insulin
10. Neoplasma Ganas Payudara
30,70
14,18
13,45
10,84
7,67
6,87
6,24
3,74
3,34
2,97
Sumber : Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, 2004

C. STATUS GIZI

Status gizi seseorang sangat erat kaitannya dengan permasalahan kesehatan secara umum, karena disamping merupakan faktor predisposisi yang dapat memperparah penyakit infeksi secara langsung juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan individual. Bahkan status gizi janin yang masih berada dalam kandungan dan bayi yang sedang menyusu sangat dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil atau ibu menyusui.

Berikut ini akan disajikan gambaran mengenai indikator-indikator status gizi masyarakat antara lain bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status gizi balita, status gizi wanita usia subur Kurang Energi Kronis (KEK), Anemia Gizi Besi (AGB) pada ibu dan pekerja wanita dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) sebagaimana diuraikan berikut ini:

1. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannva kurang. Di negara berkembang, banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil.

Angka BBLR secara nasional belum tersedia, meskipun demikian proporsi BBLR dapat diketahui berdasarkan hasil estimasi dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).

TABEL III.C.1
PROPORSI BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH
DI INDONESIA TAHUN 1992-1997 DAN 2002-2003

1992-1997
2002-2003
Nasional
7,7
7,6
Perkotaan
6,6

Perdesaan
8,4

Provinsi
3,6 – 15,6

Sumber : SDKI

Di Sulawesi Selatan, tercatat bahwa jumlah bayi dengan berat badan lahir rendah sebanyak 1.554 (1,2% dari total bayi lahir) dan yang tertangani sebanyak 1.178 orang (75,8%), dengan kasus tertinggi terjadi di Kota Makassar (355 kasus) dan yang terendah di Kab. Pangkep (3 kasus) Data terinci pada Lampiran Tabel spm 2.

2. Status Gizi Balita

Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara penilaian status gizi pada Balita adalah dengan anthropometri yang diukur melalui indeks Berat Badan menurut umur (BB/U) atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Kategoni yang digunakan adalah : gizi lebih (z-score>+2 SD); gizi baik (z-score-2 SD sampai ±2 SD); gizi kurang (z-score<-2 SD sampai-3 SD) dan gizi buruk (z-scorec-3 SD).

Sejak tahun 1992 untuk mengukur keadaan gizi anak balita digunakan standar WHO NCHS untuk index berat badan menurut umur. Namun dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas, dan sensitif/peka dibandingkan prevalensi berdasarkan pengukuran bent badan menurut umur seperti hasil dari pengukuran prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (wasting) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10 – 14%.

Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Secara nasional, menurut Susenas tahun 1989, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita adalah 37,5 % menurun menjadi 24,7 % tahun 2000, yang berarti mengalami penurunan sekitar 34 %.

Dari hasil Susenas 2001 di Indonesia, persentase Balita yang bergizi baik adalah sebesar 64,14%, yang bergizi sedang 21,51% dan sisanya 9,35% adalah Balita bergizi kurang/buruk atau yang dikenal dengan istilah Kurang Kalori Protein (KKP). Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, persentase balita perempuan bergizi baik relatif lebih tinggi daripada balita laki-laki, demikian pula gizi kurang/buruk lebih tinggi pada balita laki laki dibandingkan balita perempuan. Hal mi dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL III.C.2
PERSENTASE BALITA (0-59 BULAN) MENURUT STATUS GIZI & JENIS
KELAMIN DI INDONESIA TAHUN 2002 dan 2003

Status Gizi
2002
2003
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Lebih
2,04
2,58
2,3
2,03
2,47
2,24
Normal
70,46
73,37
71,88
67,89
71,41
69,59
Kurang
19,46
17,18
18,35
20,73
18,43
19,62
Buruk
8,03
6,88
7,47
9,35
7,69
8,55
Sumber : BPS, hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga, 2002 – 2003

Di Sulawesi Selatan, untuk menanggulangi masalah gizi atau untuk memperoleh gambaran perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat rumah tangga dan status gizi masyarakat dilaksanakan beberapa kegiatan seperti Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) dan Pemantauan Status Gizi (PSG) di seluruh kabupaten/kota. Hasil Pemantauan Status Gizi yang dilaksanakan pada tahun 2001 menggambarkan 84,7 % anak yang berstatus gizi baik, 11,3 % anak yang berstatus gizi kurang, 1,0 % anak yang berstatus gizi buruk dan 3,1 % anak yang berstatus gizi lebih. Sedangkan untuk tahun 2004, menurut laporan yang diterima Subdin Bina Kesehatan Keluarga dan KB Dinkes Prov. Sulsel tercatat bahwa jumlah KEP sebesar 13,48% (PSG, 2004).

3. Status Gizi Wanita Usia Subur Kurang Energi Eronik (KEK)

Salah satu cara untuk mengetahui status gizi wanita usia subur (WUS) umur 15-49 tahun adalah dengan melakukan pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Hasil pengukuran ini bisa digunakan sebagai salah satu cara dalam mengidentifikasikan seberapa besar seorang wanita mempunyai risiko untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Indikator Kurang Energi Kronik (KEK) menggunakan standar lingkar lengan atas (LILA) <23,5cm.

Di Sulawesi Selatan, data dan informasi tentang status gizi wanita usia subur yang kurang energi kronik belum diperoleh.

4. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)

Salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian adalah masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). GAKY dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan keterbelakangan mental. Gangguan pertumbuhan fisik meliputi pembesaran kelenjar tiroid (gondok), kretin (badan kerdil), gangguan motorik (kesulitan berdiri atau berjalan normal), bisu, tuli dan mata juling. Sedangkan keterbelakangan mental termasuk berkurangnya tingkat kecerdasan anak.

WHO/UNICEF/ICCID mengkategorikan endemisitas daerah dalam 4 kategori menurut besar Total Goiter Rater (TGR). TGR digunakan untuk menilai status GAKY masyarakat sekaligus untuk evaluasi dampak program terhadap perbaikan status GAKY.

Angka prevalensi gondok atau Total Goitre Rate (TGR) dihitung berdasarkan seluruh stadium pembesaran kelenjar, baik yang teraba (pallable) maupun yang terlihat (visible). Pada tahun 1980, TGR didapatkan dari survei GAKY sebesar 37,2%. Prevalensi ini menurun menjadi 27,7% pada tahun 1990 dan turun drastis menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensinya masih di atas 5%.

Di Sulawesi Selatan, data dan informasi yang diperoleh tentang status GAKY untuk anak sekolah sebesar 10,1% (1998) dan 10,5% (2002), sedangkan untuk status GAKY pada ibu hamil tercatat sebesar 18,62%.

Demikian gambaran singkat mengenai situasi derajat kesehatan di Sulawesi Selatan sampai dengan tahun 2004.


















































SITUASI UPAYA KESEHATAN

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, telah dilakukan berbagai upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Berikut ini diuraikan gambaran situasi upaya kesehatan khususnya untuk tahun 2004.

A. PELAYANAN KESEHATAN DASAR

Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan cepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi

Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu bisa berpengaruh pada kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan bayi dan anaknya.

a. Pelayanan Antenatal (K1 dan K4)

Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat) kepada ibu hamil selama kehamilannya, yang mengikuti pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat da cakupan pelayanan K1 dan K4.

Cakupan K1 atau juga disebut akses pelayanan ibu hamil merupakan gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Sedangkan cakupan K4 adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai dengan standar serta paling sedikit empat kali kunjungan, dengan distribusi sekali pada trimester pertama, sekali pada trimester dua dan dua kali pada trimester ketiga. Angka ini dapat dimanfaatkan untuk melihat kualitas pelayanan kesehatan kepada ibu hamil.

Gambaran persentase cakupan pelayanan K4 menurut kab./kota di Sulsel tahun 2004 sesuai dengan indikator kinerja SPM bidang kesehatan tercatat sebesar 74,91%. Cakupan ini berada diatas rata-rata nasional (72,62%), namun bila dilihat menurut kab./kota maka masih terdapat kab./kota yang berada dibawah rata-rata nasional bahkan berada dibawah rata-rata provinsi. Adapun Kab./Kota yang memiliki cakupan tertinggi adalah Kab. Sinjai (100%) sedangkan kabupaten yang terendah cakupannya adalah Kab. Tator (54,09%). Data cakupan kunjungan ibu hamil K4 menurut kab./kota disajikan pada Lampiran Tabel spm 1.

GAMBAR IV.A.1
PERSENTASE CAKUPAN PELAYANAN K4 IBU HAMIL
DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001-2004


Sumber : Profil Kesehatan Sulsel Tahun 2001-2004

GAMBAR IV.A.2
PERSENTASE CAKUPAN PELAYANAN K4 IBU HAMIL
MENURUT KABUPATEN/KOTA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota se Sulsel Tahun 2001-2004

b. Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dengan Kompetensi Kebidanan

Komplikasi dan kematian ibu maternal dan bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa di sekitar persalinan, hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, termasuk pendampingan, meningkat sekitar 10%, yaitu dari 60,75% pada tahun 1998 menjadi 70,62% pada tahun 2003.

GAMBAR IV.A.3
PERSENTASE CAKUPAN PERSALINAN DENGAN PERTOLONGAN OLEH
DAN MELALUI PENDAMPINGAN TENAGA KESEHATAN
DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001-2004

Sumber : Profil Kesehatan Sulsel 2001-2004

Sementara itu, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2004 di Sulawesi Selatan tercatat sebesar 78,51%. Gambaran cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan tahun 2001 – 2004 di Sulawesi Selatan dan Gambaran persentase cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan menurut kab./kota di Sulsel tahun 2004 dapat dilihat pada gambar IV.A.3 dan gambar IV.A.4. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran tabel spm 1.

c. Ibu Hamil Risiko Tinggi yang dirujuk

Dalam memberikan pelayanan khususnya oleh bidan di desa dan Puskesmas, beberapa ibu hamil diantaranya tergolong dalam kasus risiko tinggi (Risti) dan memerlukan pelayanan kesehatan rujukan. Selain tahun 2004, persentase ibu hamil risti yang dirujuk selania tahun 2001-2004 di Sulawesi Selatan dan persentase ibu hamil risti yang dirujuk menurut kab./kota dapat dilihat pada gambar IV.A.5 dan gambar IV.A.6. Data selengkapnya dapat diihat pada Lampiran Tabel spm 1.

GAMBAR IV.A.4
PERSENTASE CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA
KESEHATAN MENURUT KAB./KOTA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota se Sulsel Tahun 2004

GAMBAR IV.A.5
PERSENTASE IBU HAMIL RISTI YANG DIRUJUK
MENURUT KAB./KOTA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan SE Sulsel Tahun 2001-2004

Dari gambar di atas nampak bahwa persentase cakupan bumil risti yang dirujuk masih rendah meskipun berada di atas rata-rata nasional (16,43%) yaitu rata-rata Sulsel sebesar 32,73%. Kab./kota dengan cakupan tertinggi adalah Kab. Luwu Utara dan Kab. Sidrap masing masing 100% dan cakupan terendah adalah Kab. Gowa (1%) sementara Kab. Luwu Timur belum ada data karena belum memasukkan datanya. Data selengkapnya juga dapat dilihat pada lampiran Tabel spm 1.

d. Kunjungan Neonatus

Bayi hingga usia kurang satu bulan merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut antara lain dengan melakukan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan pada neonatus (0-28 hari) minimal 2 kali, satu kali pada umur 0-7 hari dan satu kali lagi pada umur 8-28 hari. Dalam melaksanakan pelayanan neonatus, petugas kesehatan disamping melakukan pemeriksaan kesehatan bayi juga melakukan konseling perawatan bayi kepada ibu. Cakupan kunjungan neonatal (KN) seiama periode tahun 2001 – 2004 di Sulsel dan cakupan kunjungan neonatal (KN) menurut kab./kota tahun 2004, dapat dilihat pada gambar berikut ini:

















GAMBAR IV.A.6
PERSENTASE CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATUS
DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001-2004


Sumber : Profil Kesehatan Sulsel Tahun 2001-2004

e. Kunjungan Bayi

Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan menunjukkan bahwa persentase cakupan kunjungan bayi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 71,13% Sedangkan untuk di Sulawesi Selatan, cakupan kunjungan bayi pada tahun 2004 sebesar 77,8%. Adapun Kab./Kota yang memiliki cakupan kunjungan bayi tertinggi tersebar pada 7 kab./kota dengan persentase cakupan sebesar 100% masing-masing Kab. Selayar, Kab. Maros, Kab. Soppeng, Kab. Pinrang, Kab. Luwu Utara dan Luwu Timur serta Kota Palopo, sedangkan kab./kota dengan cakupan kunjungan bayi terendah adalah kab. Gowa (30,3%). Data terinci pada Lampiran Tabel spm 2.

GAMBAR IV.A.7
PERSENTASE CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATUS
MENURUT KAB./KOTA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota se Sulsel Tahun 2004

2. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah, Usia Sekolah dan Remaja

Pelayanan kesehatan pada kelompok ini dilakukan dengan pelaksanaan pemantauan dini terhadap tumbuh kembang dan pemantauan kesehatan anak prasekolah, pemeriksaan anak sekolah dasar/sederajat, serta pelayanan kesehatan pada remaja, baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun peran serta tenaga terlatih lainnya seperti kader kesehatan, guru UKS dan dokter kecil.
Secara nasional pada tahun 2003, cakupan deteksi tumbuh kembang anak prasekolah sebesar 45,43%, pemeriksaan siswa sekolah dasar 56,13% dan pelayanan kesehatan remaja sebesar 20,74%. Sedangkan untuk di Sulawesi Selatan, cakupan deteksi tumbuh kembang anak prasekolah, pemeriksaan siswa sekolah dasar dan pelayanan kesehatan remaja selama tahun 2003-2004 dapat dilihat pada gambar berikut ini:

GAMBAR IV.A.8
PERSENTASE CAKUPAN DETEKSI TUMBUH KEMBANG ANAK PRASEKOLAH,
PEMERIKSAAN SISWA SEKOLAH DASAR/SEDERAJAT DAN PELAYANAN
KESEHATAN REMAJA DI SULSEL SELAMA TAHUN 2003-2004


Sumber : Profil Kesehatan 2003-2004

3. Pelayanan Keluarga Berencana

Secara nasional, proporsi pasangan usia subur yang sedang menggunakan alat KB pada tahun 2003 sebesar 54,54%. Sedangkan menurut hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan seluruh Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2003 persentase peserta KB aktif sebesar 68,49%.

Adapun persentase tertinggi alat/cara KB yang dipakai peserta KB aktif adalah suntikan (51,08%), kemudian pil (25,05%) dan AKDR/IUD (10,69%). Menurut data dari BKKBN, metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan pasangan usia subur (PUS) pada peserta KB baru pada tahun 2003 adalah suntikan (58,16%), pil (29,02%), implant/susuk KB (4,88%). Sementara untuk tempat pelayanan bagi peserta KB baru adalah klinik KB pemerintah (59,45%), bidan praktek swasta (30,77%) dan klinik KB swasta (6,98%), serta selebihnya di dokter praktek swasta (2,80%).

Untuk di Sulawesi Selatan, selama tahun 2001-2004 persentase peserta KB aktif cenderung menurun. Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 36. Gambaran persentase peserta KB aktif di Sulsel selama tahun 2001-2004 dan gambaran peserta KB Baru menurut Kab./Kota di Sulsel dapat dilihat pada gambar berikut ini:





GAMBAR IV.A.9
PERSENTASE PESERTA KB AKTIF DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001 – 2004


Sumber : Profil Kesehatan Sulsel 2001-2004

Data yang diperoleh melalui Profil Kesehatan Kab./Kota tahun 2004 juga mencatat bahwa persentase penggunaan kontrasepsi bagi peserta KB baru yang terbanyak selama tahun tersebut masing-masing Pil (63,74%), Kondom (26,33%), Suntikan (4,23%), IUD (2,78%). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 tabel 38.

GAMBAR IV.A.10
PERSENTASE PESERTA KB BARU MENURUT KAB./KOTA
DI SULSEL TAHUN 2004

Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota Se Sulsel Tahun 2004










GAMBAR IV.A.11
PERSENTASE PESERTA KB BARU MENURUT JENIS KONTRASEPSI YANG DIGUNAKAN DI SULSEL TAHUN 2004

Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota se Sulsel Tahun 2004

4. Pelayanan Imunisasi

Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya merupakan proksi terhadap cakupan sasaran bayi yang telah mendapatkan imunisasi secara lengkap. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu wilayah tertentu, berarti dalam wilayah tersebut juga tergambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat (herd immunity) terhadap penularan PD3I.

Sementara itu, pencapaian UCI tingkat desa/kelurahan pada tahun 2003, secara nasional telah mencapai 72,53%. Sedangkan untuk di Sulawesi Selatan, pada tahun yang sama UCI tingkat desa/kelurahan sebesar 72,98% namun pada tahun 2004 menurun menjadi 64,04%. Adapun kab./kota yang memiliki cakupan tertinggi yakni Kota Makassar (96,50%) dan yang terendah yakni Kab. Tana Toraja (39,70%). Data terinci pada Lampiran Tabel spm 5.

Pelayanan imunisasi bayi mencakup vaksinasi BCG, DPT (3 kali), polio (4 kali), Hepatitis-B (3 kali) dan Imunisasi Campak (1 kali), yang dilakukan melalui pelayanan rutin di Posyandu dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Cakupan imunisasi dasar pada bayi (cakupan imunisasi campak) secara nasional di tahun 2003 sebesar 89,2%. Sedangkan untuk di Sulawesi Selatan tercatat sebesar 90,97% (Tahun 2004), dengan cakupan tertinggi adalah di Kab. Bone dan yang terendah di Kab. Enrekang. Untuk angka DO cakupan imunisasi pada bayi tercatat sebesar 1,76%. Data terinci pada Lampiran Tabel spm 34.

GAMBAR IV.A.12
PERSENTASE PENCAPAIAN UCI DI TINGKAT DESA/KELURAHAN
MENURUT KAB./KOTA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota se Sulsel Tahun 2004

Disamping itu, perkembangan cakupan imunisasi TT ibu hamil secara nasional cenderung menurun. Cakupan imunisasi TT2 ibu hamil pada tahun 2003 tercatat sebesar 66,12%. Untuk Sulawesi Selatan, cakupan imunisasi TT2 ibu hamil tercatat sebesar 77,68% (Tahun 2004) dengan cakupan tertinggi pada Kab. Barru (93,5%) dan yang terendah di Kota Pare-pare (53,1%). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 21.

5. Pelayanan Kesehatan Pra Usia Lanjut dan Usia Lanjut

Secara nasional, cakupan pelayanan kesehatan pra usila dan usila pada tahun 2003 sebesar 25,34%. Sedangkan untuk Sulawesi Selatan cakupan pelayanan kesehatan pra usila dan usila pada tahun yang sama tercatat baru 4,48%, dan untuk tahun 2004 meningkat menjadi 23,81%. Persentase cakupan pelayanan kesehatan pra usila dan usila menurut kab./kota tahun 2004 disajikan pada lampiran Tabel spm 28.

B. PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN DAN PENUNJANG

Upaya pelayanan kesehatan rujukan dan penyediaan fasilitas penunjang merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

1. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Menurut laporan Subdin Bina Pelayanan Kesehatan dan Farmasi Dinkes Prov. Sulsel Tahun 2004, persentase pemanfaatan tempat tidur rumah sakit umum (BOR) sebesar 52,00% (nasional 55,2%) dengan kisaran antara 26,73% di RS Lamadukelleng Kab. Wajo dan 98% menurut kab./kota adalah 7 hari (nasional 4 hari), dengan kisaran antara 2 – 8 hari. Adapun persentase pasien yang keluar mati (GDR) menurut kab./kota sebesar 17% (nasional 3,5%), dengan kisaran antara 0,04% di RSUD Selayar dan 60,51% di RSU Ajapangeng Kab. Soppeng. Sedangkan pasien yang keluar mati >48 jam (NDR) tercatat 7% (nasional 1,8%) dengan kisaran 0,1% di RSU Daya Kota Makassar dan 37,23% di RSU Barru Kab. Barru. Sedangkan untuk rumah sakit swasta, BOR tercatat sebesar 33%, LOS sebesar 4 hari, GDR sebesar 6% dan NDR sebesar 5%.

2. Pelayanan Ibu Hamil dan Neonatus Risiko Tinggi

Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan melalui Profil Kesehatan kab./kota Tahun 2004 menunjukkan bahwa persentase ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk dan mendapat pelayanan kesehatan lebih lanjut sebesar 85,59%. Jumlah dan persentase ibu hamil dan neonatus risiko tinggi/komplikasi dirujuk dan ditangani menurut kab./kota pada tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 10.

Persentase ibu hamil dan neonatus risiko tinggi/komplikasi dirujuk yang memiliki akses terhadap ketersediaan darah dilaporkan sebesar 94,74% (nasional 19,87%). Data terinci pada Lampiran Tabel spm 9.

3. Pemanfaatan Obat Generik

Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan melalui Profil Kesehatan Kab./Kota menunjukkan bahwa pada tahun 2004, persentase penulisan resep obat generik dilaporkan sebesar 75,55% (nasional 73,30%). Kab./kota dengan presentasi tertinggi adalah di Kab. Bantaeng dan Kota Palopo (100%), sedangkan yang terendah adalah di Kab. Tana Toraja (4,65%). Rincian persentase penulisan resep obat generik menurut kab./kota pada tahun 2004 disajikan pada Lampiran Tabel spm 24.

C. PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR

Upaya pemberantasan penyakit menular lebih ditekankan pada pelaksanaan surveilens epidemiologi dengan upaya penemuan penderita secara dini yang ditindaklanjuti dengan penanganan secara cepat melalui pengobatan penderita. Di samping itu pelayanan lain yang diberikan adalah upaya pencegahan dengan pemberian imunisasi, upaya pengurangan faktor risiko melalui kegiatan untuk peningkatan kualitas lingkungan serta peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan penyakit menular yang dilaksanakan melalui berbagai kegiatan. Uraian singkat berbagai upaya tersebut seperti berikut ini :

1. Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa

Upaya penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) merupakan tindak lanjut dari penemuan dini kasus-kasus penyakit berpotensi KLB/wabah yang terjadi pada masyarakat. Upaya penanggulangan yang dilakukan di maksudkan untuk mencegah penyebaran lebih luas dan mengurangi dampak yang ditimbulkan. Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah desa/kelurahan yang mengalami KLB di laporkan sebanyak 363 desa/kelurahan, dan dari jumlah tersebut, sebanyak 215 desa/kelurahan (59,23%) yang ditangani < 24 jam. Data terinci pada Lampiran Tabel spm 12.

Menurut laporan Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, kejadian luar biasa (KLB) dalam bulan Januari – Desember 2004, berdasarkan laroran W1 dan laporan bulanan KLB tercatat jumlah kejadian sebanyak 177 kali dari 11 jenis penyakit penderita sebanyak 2.374 orang dengan kematian kematian sebanyak 49 penderita (CFR=2,06%). Adapun penyakit dengan frekuensi KLB dan jumlah kasus yang tinggi adalah penyakit DBD (88 kali 517 penderita, CFR=1,16%). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 20.

2. Pemberantasan Penyakit Polio

Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit Polio telah dilakukan melalui gerakan Imunisasi Polio. Upaya ini juga ditindaklanjuti dengan kegiatan surveilens epidemiologi secara aktif terhadap kasus-kasus acute flaccid paralysis (AFP) kelompok umur < 15 tahun hingga dalam kurun waktu tertentu, untuk mencari kemungkinan adanya virus Polio liar yang berkembang di masyarakat dengan pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dijumpai. Berdasarkan kegiatan surveilens AFP pada penduduk < 15 tahun selama tahun 2000 – 2003, baik secara nasional maupun provinsi diperoleh gambaran sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini :

TABEL IV.C.1
PERSENTASE HASIL PENGIRIMAN SPESIMEN ADEKUAT DAN NON POLIO
AFP RATE DI INDONESIA DAN SULSEL SEI.AMA TAHUN 2000 – 2004

Tahun
NON POLIO AFP RATE
SPESIMEN ADEKUAT
Indonesia
Sulsel
Indonesia
Sulsel
2000
0,90
0,41
79,50
65,4
2001
1,02
0,62
78,10
81,4
2002
1,31
1,28
82,40
89,4
2003
1,21
1,21
88,10
89,1
2004

1,42

96,4
Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2003 & Lap. Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel, 2004

Setiap kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan intensifikasi surveilens, akan dilakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk mengetahui ada tidaknya virus Polio liar yang menyerang masyarakat. Gambaran AFP rate di Sulsel selama tahun 2000-2004 sebagai berikut :

GAMBAR IV.C.1
SITUASI AFP RATE DI SULSEL SELAMA TAHUN 2000-2004


Sumber : Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel Tahun 2004

Penemuan kasus AFP selama tahun 2004 berdasarkan hasil pelacakan ditemukan kasus banyak 36 penderita dari 18 kab./kota dengan AFP rate sebesar 1,34 per 100.000 anak umur < 15 tahun. Jika dibandingkan tahun 2003 pada periode yang sama, jumlah penderita yang ditemukan mengalami penurunan sebesar 7,69%. Sementara itu, cakupan imunisasi Polio-3 pada bayi selama 91,50% (nasional 91,8%).

3. Pemberantasan TB Paru

Upaya pencegahan dan pemberantasan TB-Paru dilakukan dengan pendekatan Directly Observe Treatment Shortcource (DOTS) atau pengobatan TB-Paru dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan. Dari upaya penemuan kasus TB BTA + maka diperoleh angka Case Detection Rate (CDR) selama tahun 2004 di Sulsel (termasuk 4 kabupaten di Sulawesi Barat) sebesar 92%. Adapun gambaran CDR menurut kab./kota seperti pada gambar berikut :

GAMBAR IV.C.2
CASE DETECTION RATE KASUS TB BTA +
MENURUT KAB./KOTA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Laporan Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel Tahun 2004

Dalam penanganan program, semua penderita TB yang ditemukan ditindaklanjuti dengan paket-paket pengobatan intensif. Melalui paket pengobatan yang diminum secara teratur dan lengkap, diharapkan penderita akan dapat disembuhkan dari penyakit TB yang dideritanya. Namun demikian dalam proses selanjutnya tidak tertutup kemungkinan terjadinya kegagalan pengobatan akibat dari paket pengobatan yang tidak terselesaikan atau drop out (DO), terjadinya resistensi obat atau kegagalan dalam penegakan diagnosa diakhir pengobatan. Adapun angka tingkat kesembuhan dari penderita TB BTA + hingga tahun 2004 tercatat sebesar 92%.

4. Pemberantasan Penyakit ISPA

Upaya dalam rangka pemberantasan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (P2 ISPA) lebih difokuskan pada upaya penemuan secara dini dan tatalaksana kasus yang cepat dan tepat terhadap penderita Pneumonia Balita yang ditemukan. Upaya ini dikembangkan melalui suatu manajemen terpadu dalam penanganan balita sakit yang datang ke unit pelayanan kesehatan atau lebih dikenal dengan manajemen terpadu balita sakit (MTBS).

Adapun jumlah kasus ISPA Balita yang diobati di puskesmas yakni bukan pneumonia sebanyak 321.210 penderita, Pneumonia sebanyak 20.080 penderita dan Pneumonia berat sebanyak 534 penderita. Sementara itu, jumlah kasus ISPA Balita yang ditangani kader yakni bukan pneumonia sebanyak 801 penderita dan pneumonia sebanyak 267 penderita.




5. Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan PMS
Upaya pelayanan dalam rangka pemberantasan penyakit HIV/AIDS di samping ditujukan pada penanganan penderita yang ditemukan juga diarahkan pada upaya pencegahan yang dilakukan melalui skrining HIV/AIDS terhadap darah donor dan upaya pemantauan dan pengobatan penderita penyakit menular seksual (PMS).
Menurut hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan melalui Profil Kesehatan Kab./kota se Sulsel selama tahun 2004, jumlah kasus HIV/AIDS tercatat sebesar 85 kasus. Jumlah kasus HIV/AIDS dan IMS pada tahun 2004 menurut kab./kota di Sulsel dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 14.
6. Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Upaya pemberantasan DBD dititikberatkan pada penggerakan potensi masyarakat untuk dapat berperanserta dalam pemberantasan sarang nyamuk (gerakan 3M), juru pemantauan jentik (Jumantik) untuk memantau angka bebas jentik (ABJ), serta pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga.
Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 8.146 kasus dan penderita yang ditangani (mendapatan pengobatan/perawatan) sebesar 96,30%. Jumlah kasus DBD menurut kab./kota Se Sulsel tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 14.
7. Pemberantasan Penyakit Malaria
Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan dari kab./kota Se Sulsel menunjukkan bahwa pada tahun 2004, jumlah penderita dilaporkan sebanyak 6.922 penderita klinis dan 962 yang positif malaria, dan yang mendapat pengobatan sebesar 74,37%. Data jumlah dan persentase penderita malaria yang diobati menurut kab/kota Se Sulsel pada tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 31.
8. Pemberantasan Penyakit Kusta
Pada penderita Kusta yang ditemukan, diberikan pengobatan paket MDT yang terdiri atas Rifampicin, Lampren dan DDS yang diberikan dalam kurun waktu tertentu. Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan menurut kab./kota se Sulsel di laporkan bahwa jumlah penderita kusta pada tahun 2004 sebanyak 2.003 orang dengan persentase bebas dari pengobatan (RFT) sebesar 56,32%. Jumlah dan persentase penderita Kusta RFT menurut kab./kota se Sulsel tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 32.
9. Pemberantasan Penyakit Filariasis
Salah satu upaya dalam pemberantasan penyakit Filariasis adalah penemuan penderita secara dini. Sampai dengan tahun 2004 jumlah penderita kronis yang ditemukan sebanyak 6 orang yaitu di Kab. Barru sebanyak 2 orang, Kab. Sidrap, Kab. Gowa, Kab. Luwu Utara dan Kab. Maros masing-masing 1 orang.
D. PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SANITASI DASAR
Untuk memperkecil risiko terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan sebagai akibat dari lingkungan yang kurang sehat, dilakukan berbagai upaya peningkatan kualitas lingkungan, antara lain dengan pembinaan kesehatan lingkungan pada institusi, surveilens vektor dan pengawasan tempat-tempat umum (TTU).
1. Pembinaan Kesehatan Lingkungan
Upaya pembinaan kesehatan lingkungan dilakukan terhadap institusi dalam menjaga kualitas lingkungannya yang dilakukan secara berkala. Upaya yang dilakukan mencakup pemantauan dan pemberian rekomendasi terhadap aspek penyediaan fasilitas sanitasi dasar (air bersih dan jamban), pengelolaan sampah, sirkulasi udara, pencahayaan dll. Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan menurut kab./kota di Sulsel selama tahun 2004 menunjukkan bahwa dan 36.830 institusi yang tercatat terdapat 44,83% yang dibina. Persentase institusi yang dibina kesehatan lingkungannya menurut kab./kota di Sulsel tahun 2004 dapat di ihat pada Lampiran Tabel spm 15.
2. Surveilens Vektor
Secara nasional, pada tahun 2003, telah dilakukan survei vektor pada 8 kab/kota yaitu Kab. Deli Serdang, Musi Banyuasin, Minahasa, Maros, Kota Padang, Balikpapan, Kupang dan Jayapura. Hasil survei menunjukkan bahwa container index positif (jentik) untuk rumah yang tertala sebesar 15,8%, sedangkan untuk rumah yang tidak tertata container index-nya sebesar 23,06%, serta container index di tempat-tempat umum sebesar 24%.
Hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan menurut kab./kota di Sulsel tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 362.307 rumah yang diperiksa terdapat sebanyak 222.391 rumah (61,4%) yang bebas jentik (nasional 68,16%). Persentase rumah/bangunan bebas jentik menurut kab./kota se Sulsel tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 16.
3. Pengawasan tempat-tempat umum dan tempat Pengelolaan Makanan (TUPM)
Menurut hasil pengumpulan data/indikator IS 2010 yang diperoleh melalui Profil Kesehatan Kab/Kota se Sulsel selama tahun 2004, tercatat bahwa dari 8.063 TUPM/TTU yang diperiksa 4.259 TUPM/TTU yang memenuhi syarat (52,82%). Kab./kota dengan persentase tertinggi TUPM sehat adalah di Kota Parepare (86,27%) dan TUPM sehat terendah terdapat di Kab. Pinrang (14,39%). Jumlah dan persentase TUPM sehat menurut kab./kota se Sulsel tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 10 dan Lampiran Tabel spm 17.
E. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
Upaya perbaikan gizi masyarakat pada hakikatnya dimaksudkan untuk menangani permasalahan gizi yang dihadapi masyarakat. Beberapa permasalahan gizi yang sering dijumpai pada kelompok masyarakat adalah kekurangan kalori protein, kekurangan vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium dan anemia gizi besi.
1. Pemantauan Pertumbuhan Balita
Upaya pemantauan terhadap pertumbuhan balita dilakukan melalui kegiatan penimbangan di Posyandu secara rutin setiap bulan. Menurut hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan kab./kota di Sulsel tahun 2004 tercatat jumlah balita yang ditimbang sebanyak 442.186 jiwa. Hasil penimbangan menunjukkan bahwa 72,57% balita dengan berat badan yang naik. Adapun kab./kota dengan persentase tertinggi adalah di Kab. Tator (96,56%) dan yang terendah di Kab. Luwu Timur (38,06%).
Sementara itu, persentase balita dengan berat badan di bawah garis merah (BGM) sebesar 1,90%, dan bila dibandingkan dengan persentase tahun 2003 (2,54%) maka terjadi penurunan persentase balita BGM. Adapun kab./kota dengan persentase tertinggi BGM adalah di Kota Makassar (3,83%) dan yang terendah BGM-nya adalah di Kab. Enrekang (0,54%). Rincian hasil penimbangan Balita (0-59 bulan) menurut kab./kota di Sulsel tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 7.
2. Pemberian Kapsul Vitamin A
Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 78,36% dan kab./kota yang memiliki persentase cakupan tertinggi adalah di Kab. Tator (100%) dan yang terendah adalah di Kab. Maros (40,03%). Data terinci dapat dilihat pada Lampiran Tabel spm 8.






GAMBAR IV.E.1
PERSENTASE CAKUPAN BALITA YANG MENDAPA VITAMIN A 2X
DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001 – 2004


Sumber : Profil Kesehatan Prov. Sulsel Tahun 2001-2004
3. Pemberian Tablet Besi
Pada tahun 2004, cakupan pemberian tablet besi pada ibu hamil tercatat sebesar 62,42%, dan cakupan tertinggi terdapat di Kab. Jeneponto (89,91%) dan cakupan yang terendah terdapat di Kota Palopo (5,36%).
Perkembangan cakupan pemberian tablet besi pada bu hamil selama tahun 2001-2004 di Sulsel dapat dilihat pada gambar IV.E.16. Data terinci dapat dilihat juga pada Lampiran Tabel spm 8.
GAMBAR IV.E.2
PERSENTASE CAKUPAN PEMBERIAN TABLET BESI PADA IBU HAMIL
DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001 – 2004


Sumber : Profil Kesehatan Prov. Sulsel Tahun 2001-2004
4. Pemberian Kapsul Minyak ber-Yodium
Pelaksanaan program pemberian kapsul minyak ber-yodium yang dilaporkan oleh kab./kota se Sulsel pada tahun 2004 belum seluruhnya dapat dicakup. Berdasarkan data indikator kinerja SPM bidang kesehatan yang terkumpul selama tahun 2004 tercatat bahwa cakupan pemberian kapsul beryodium ini cenderung menurun dan 45,40% (th.2003) menjadi 6,7% (th.2004). Data terinci pada Lampiran Tabel spm 29.
F. PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Upaya pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pelayanan kesehatan secara paripurna. Upaya tersebut dimaksudkan untuk (1) menjamin ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan obat generik dan obat esensial yang bermutu bagi masyarakat, (2) mempromosikan penggunaan obat yang rasional dan obat yang generik, (3) meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di farmasi komunitas dan farmasi klinik serta pelayanan kesehatan dasar, serta (4) melindungi masyarakat dan penggunaan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan, mutu dan keamanan.
1. Peningkatan Penggunaan Obat Rasional
Upaya peningkatan penggunaan obat rasional, diarahkan kepada peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan pembinaan penggunaan obat yang rasional melalui pelaksanaan advokasi secara lebih intensif agar terwujud dukungan masyarakat yang kondusif serta terbangunnya kemitraan dengan unit pelayanan kesehatan formal. Secara nasional, sampai dengan akhir tahun 2003, penggunaan obat rasional baru mencapai 60%. Angka tersebut belum menunjukkan target yang hendak dicapai yang idealnya penggunaan obat yang rasional mencapai 100%. Berkaitan dengan hal tersebut perlu terus diupayakan peningkatan obat esensial nasional di setiap fasilitas kesehatan masyarakat dan melindungi masyarakat dan risiko pengobatan irasional. Adapun situasi peningkatan penggunaan obat rasional untuk Sulsel belum diperoleh data/informasi.
2. Penerapan Penggunaan Obat Esensial Generik
Kegiatan ini dimaksudkan agar terjaminnya ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat dalam pelayanan kesehatan, yang pelaksanaannya mencakup pengadaan buffer stock obat generik esensial, revitalisasi pemasyarakatan konsepsi obat esensia dan penerapan penggunaan obat esensial generik pada fasilitas pelayanan pemerintah maupun swasta. Pada tahun 2004 ketersediaan obat esensial di Sulsel baru mencapai 67,5% (nasional 90%) dan ketersediaan obat generik sebesar 68,1%. Data teninci pada Lampiran Tabel spm 23.





































SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN

Upaya pembangunan kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna bila kebutuhan sumber daya kesehatan dapat terpenuhi. Dalam bab ini, gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokkan ke dalam sajian data dan informasi mengenai sarana kesehatan, tenaga kesehatan dan pembiayaan kesehatan.

A. SARANA KESEHATAN

Pada bagian ini diuraikan tentang sarana kesehatan di antaranya Puskesmas, Rumah Sakit dan sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), dan institusi pendidikan tenaga kesehatan.

1. Puskesmas

Pada periode tahun 2000-2003, jumlah Puskesmas (termasuk Puskesmas Perawatan) terus meningkat dari 7.237 unit pada tahun 2000 menjadi 7.277 unit pada tahun 2001, kemudian meningkat lagi menjadi 7.309 unit pada tahun 2002 dan 7.413 unit pada tahun 2003. Namun pada periode tahun itu, rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk sedikit menurun dan 3,56 per 100.000 penduduk pada tahun 2000 dan 3,55 per 100.000 penduduk pada tahun 2001 menjadi 3,46 per 100.000 penduduk pada tahun 2002 dan tahun 2003. Ini berarti bahwa pada periode tahun itu setiap 100.000 penduduk rata-rata dilayani oleh 3 – 4 unit puskesmas.

Di Sulawesi Selatan, distribusi Puskesmas dan Puskesmas Pembantu sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar telah lebih merata. Pada tahun 2003 jumlah puskesmas sebanyak 382 buah dan Puskesmas pembantu (Pustu) 1.080 buah. Dengan demikian rata-rata rasio puskesmas terhadap 100.000 penduduk ada 4,65. Ini berarti bahwa setiap 100.000 penduduk rata-rata dilayani oleh 4 atau 5 puskesmas. Sedangkan rasio Pustu terhadap puskesmas adalah 2,8:1, artinya setiap puskesmas rata-rata didukung oleh 2 atau 3 Pustu.

Mulai 1 Januari 2004, data dan informasi yang dikumpulkan hanya meliputi 23 kab./kota yang termasuk dalam wilayah Sulawesi Selatan. Untuk tahun 2004, jumlah puskesmas di Sulsel tercatat sebanyak 343 dengan 999 puskesmas pembantu. Adapun rasio puskesmas per 100.000 penduduk tetap sebesar 4,65 sedangkan rasio Pustu terhadap puskesmas juga belum bergeser jauh yakni hanya menjadi 2,9:1. Gambaran rasio puskesmas per 100.000 penduduk menurut kabupaten/kota dan gambaran jumlah puskesmas di Sulsel selama tahun 2001-2004 dapat dilihat pada pada gambar V.A.1 dan gambar V.A.2.

Bila dibandingkan dengan konsep wilayah kerja puskesmas, dimana sasaran penduduk yang diliayani oleh sebuah puskesmas rata-rata 30.000 penduduk, maka jumlah puskesmas per 30.000 penduduk pada tahun 2004 rata-rata adalah 1,4 unit. Ini berarti bahwa puskesmas diharapkan sudah dapat menjangkau penduduk sasaran di wilayah kerjanya.

GAMBAR V.A.1
RASIO PUSKESMAS PER 100.000 PENDUDUK MENURUT KAB./KOTA
DI SULAWESI SELATAN TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab. Kota Tahun 2004

GAMBAR V.A.2
JUMLAH PUSKESMAS DI SULAWESI SELATAN
SELAMA TAHUN 2001 – 2004

Sumber : Profil Kesehatan Sulsel Tahun 2001 – 2004

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas, sejak Repelita III sejumlah puskesmas telah ditingkatkan fungsinya menjadi puskesmas dengan tempat perawatan.
Puskesmas perawatan ini terutama yang berlokasi jauh dari rumah sakit, di jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan, serta diwilayah atau pulau-pulau yang terpencil. Hingga tahun 2003 jumlah puskesmas perawatan telah menjadi 142.

Sementara itu, jika dilihat rasio Puskesmas Pembantu per 100.000 penduduk maka Sulawesi Selatan berada diatas rata-rata nasional yakni 13,2 per 100.000 penduduk (Nasional = 10,5 per 100.000 penduduk). Sedangkan untuk Puskesmas Keliling berjumlah 267 dengan rasio Puskesmas Keliling terhadap Puskesmas berada dibawah rata-rata rasio secara nasional yakni sebesar 0,7 (Nasional 0,8). Untuk tahun 2004, jumlah puskesmas keliling sebanyak 262.

2. Rumah Sakit

Indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan sarana rumah sakit antara lain dengan melihat perkembangan fasilitas perawatan yang biasanya diukur dengan jumlah rumah sakit dan tempat tidurnya serta rasionya terhadap jumlah penduduk.

Pada tahun 2001 – 2004, perkembangan jumlah rumah sakit (umum dan khusus) di Sulawesi Selatan cenderung relatif stabil. Data terinci pada Lampiran Tabel spm 38. Adapun perkembangan jumlah rumah sakit (umum dan khusus) tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL V.A.1
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (UMUM & KHUSUS) MENURUT
KEPEMILIKAN/PENGELOLA DI SULSEL SELAMA TAHUN 2001 – 2004

No
Pengelola / Kepemilikan
2001
2002
2003
2004
1
Departemen Kesehatan
2
2
2
2
2
Pemerintah Provinsi/Kab/Kota
28
28
28
29
3
TNI/POLRI
6
6
6
6
4
BUMN/Departemen Lain
2
2
2
2
5
Swasta
9
9
9
9
Jumlah
47
47
47
48
Sumber : Profil Kesehatan Sulsel Tahun 2001-2004

Selain jumlah rumah sakit, untuk menggambarkan ketersediaan dan cakupan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat perlu pula disajikan data jumlah tempat tidur rumah sakit dan rasio tempat tidur rumah sakit per 100.000 penduduk. Untuk tahun 2004, jumlah tempat tidur dan rasionya terhadap 100.000 penduduk tercatat sebanyak 3086 tempat tidur dengan rasio sebesar 42 per 100.000 penduduk atau rata-rata setiap tempat tidur rumah sakit melayani 2300 penduduk dalam setahun.

3. Sarana Produksi dan Distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Salah satu indikator penting untuk menggambarkan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan adalah jumlah sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan. Jumlah sarana produksi farmasi di Sulawesi Selatan selama tahun 2004 tercatat hanya 1 dengan kepemilikan swasta berupa industri obat tradisional. Sedangkan untuk jumlah sarana distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan pada tahun yang sama tercatat 462 apotik dan 399 toko obat.

Di kabupaten/kota, distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemeriritah dikelola oleh unit pengelola obat, dahulu disebut sebagai gudang farmasi kabupaten. Adapun jumlah unit pengelola obat (ex gudang farmasi) kabupaten/kota pada tahun 2004 di Sulsel tercatat sebanyak 21. Data terinci pada Lampiran Tabel spm 37.

4. Sarana Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat

Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang ada di masyarakat. Upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu, Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat Keluarga), POD (Pos Obat Desa), Pos UKK (Pos Upaya Kesehatan Kerja) dan sebagainya. Selain Posyandu, situasi dan kondisi upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat lainnya sudah sulit dideteksi/dipantau sejak pemberlakuan otonomi daerah di masing-masing kab./kota. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan ini perlu mendapat perhatian yang optimal kembali dari masing-masing pengelola program kesehatan.

Posyandu merupakan salah satu bentuk UKBM yang paling dikenal di masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi dan penanggulangan diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu dikelompokkan ke dalam 4 strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama dan Posyandu Mandiri.

Pada tahun 2004, jumlah Posyandu di Sulawesi Selatan tercatat sebanyak 7.636 buah dan tiga per empatnya (76,28%) adalah Posyandu Pratama dan Posyandu Madya, selebihnya (23,72%) adalah Posyandu Purnama dan Mandiri.

Gambaran proporsi posyandu pada tahun 2004 menurut strata atau tingkat perkembangannya dapat dilihat pada gambar dibawah ini, dan data terinci dapat dilihat pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 12 atau Lampiran tabel spm 21.

GAMBAR V.A.3
PROPORSI POSYANDU MENURUT STRATA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004

B. TENAGA KESEHATAN

Dalam pembangunan kesehatan diperlukan berbagai jenis tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan melaksanakan upaya kesehatan dengan paradigma sehat, yang mengutamakan upaya peningkatan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pengadaan tenaga kesehatan dilaksanakan melalui pendidikan dan pengembangan tenaga kesehatan melalui pelatihan tenaga oleh pemerintah maupun masyarakat.

Saat ini, jumlah tenaga kesehatan di Sulsel yang tercatat melalui Laporan Kesehatan Kab./Kota pada tahun 2004 sebanyak 12.749 orang (pegawai kesehatan) dengan proporsi tenaga kesehatan yang terbesar adalah perawat dan bidan yaitu 60,46% (7.708 orang), kemudian medis sebesar 16,05% (2.046 orang). Sedangkan jumlah tenaga khusus dalam lingkup Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan hingga akhir 2004 berjumlah 288 orang.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di Sulawesi Selatan, hingga saat ini telah terdistribusi sejumlah tenaga pada berbagai institusi kesehatan Tenaga kesehatan yang terdistribusi tersebut terserap paling banyak pada IIS 46,98% kemudian Puskesmas (termasuk Pustu dan Polindes) 44,851%, lalu Dinkes Kab/Kota sebesar 5,05%. Rincian distribusi tenaga kesehatan dapat dilihat pada lampiran format IIS 2010 Tabel 26.

Sementara itu, untuk melihat kecukupan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan di antaranya digunakan indikator rasio tenaga perawat Puskesmas per puskesmas dan rasio tempat tidur di rumah sakit terhadap perawat yang bertugas di rumah sakit. Pada tahun 2004, rasio tenaga perawat puskesmas per puskesmas adalah 11,41. Ini berarti bahwa setiap puskesmas rata-rata mempunyai 11 sampai 12 orang perawat, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit umum terhadap perawat yang bertugas di rumah sakit adalah 1,13, jadi rata-rata setiap perawat di rumah sakit melayani 1 sampai 2 tempat tidur.

1. Tenaga Medis

Yang tergolong ke dalam tenaga medis adalah dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi dan dokter keluarga. Hingga tahun 2004 di Sulawesi Selatan tercatat jumlah tenaga medis sebanyak 2.046 orang dengan rasio 27,73 per 100,000 penduduk.

Sedangkan rasio masing-masing tenaga medis per 100.000 penduduk berdasarkan data yang diterima melalui 23 Profil Kesehatan Kab./Kota tahun 2004 diperoleh bahwa rasio dokter spesialis sebesar 13,97 per 100.000 penduduk, rasio dokter umum 9,92 per 100.000 penduduk dan rasio dokter gigi sebesar 3,8 per 100.000 penduduk, sedangkan untuk rasio dokter keluarga belum dapat disajikan karena belum ada data yang masuk. Bila dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010, nampak bahwa rasio untuk tenaga dokter spesialis dan dokter umum telah mencapai target (dokter spesialis 2 per 100.000 penduduk, dokter unium 6 per 100.000 penduduk), namun rasio dokter gigi belum mencapai target (dokter gigi 11 per 100.000 peududuk). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 28.

GAMBAR V.B.1
PROPORSI TENAGA KESEHATAN MIENURUT JENIS TENAGA
DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004

2. Tenaga Kefarmasian dan Gizi

Untuk tenaga kefarmasian, saat ini telah berjumlah 511 orang dengan rincian : Apoteker 39 orang atau 7,63% dan seluruh tenaga farmasi atau 0,31% dari total tenaga di Sulsel. Sedangkan rasio tenaga kefarmasian per 100.000 penduduk masih jauh dari yang diharapkan karena hingga tahun 2004 rasio tenaga kefarmasian baru mencapai 6,92 per 100.000 penduduk (Target IIS 2010 adalah 100 per 100.000 penduduk).

Sementara itu, jumlah tenaga gizi hingga tahun 2004 di Sulsel sebanyak 556 orang dengan rasio sebesar 7,53 per 100.000 penduduk (Target IIS 2010 sebesar 40 per 100.000 penduduk). Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 29.

GAMBAR V.B.2
PROPORSI TENAGA KESEHATAN MENURUT UNIT KERJA
DI SULSEL TAHUN 2004

Sumber : Profil Kesehatan Kab./Kota Tahun 2004

3. Tenaga Keperawatan

Yang tergolong ke dalam tenaga keperawatan adalah Perawat dan Bidan. Rasio tenaga keperawatan di Sulsel hingga tahun 2004 mencapai 104,45 per 100.000 penduduk. Namun bila di rinci menurut jenisnya maka di Sulsel, pada tahun yang sama tercatat jumlah perawat sebanyak 5.616 orang dengan jumlah lulusan terbanyak berasal dari SPK (63,16%) dan D-3 keperawatan sebesar 34,67%. Proporsi tenaga perawat 44,05% dari seluruh tenaga kesehatan dan rasio perawat per 100.000 penduduk sebesar 76,10 per 100.000 penduduk. Bila dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010 sebesar 22 per 100.000 penduduk maka Sulsel telah mencapai target, namun hal ini juga masih perlu dikaji kembali mengingat belum semua kab/kota memberikan informasi yang lengkap.

Sedangkan jumlah tenaga bidan sebanyak 2.092 orang atau dengan proporsi sebesar 16,41% dari seluruh tenaga kesehatan, sementara rasio tenaga bidan per 100.000 penduduk adalah sebesar 28,35 per 100.000 penduduk. Bila dibandingkan dengan target pencapalan IIS 2010, Sulsel masih sangat membutuhkan tenaga bidan karena target hingga 2010 adalah 117,5 per 100000 penduduk. Data terinci pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 30.

4. Tenaga Kesehatan Masyarakat dan Sanitasi

Jumlah tenaga kesehatan masyarakat di Sulsel tahun 2003 mencapai 218 orang atau 2,2% dari total tenaga dengan rasio sebesar 2,59 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk tahun 2004 meningkat menjadi 689 orang atau 5,40% dari total tenaga kesehatan dengan rasio sebesar 9,34 per 100.000 penduduk. Sementara itu, pada tahun yang sama jumlah tenaga sanitasi telah mencapai jumlah 565 orang atau 4,43% dari total tenaga dengan rasio sebesar 7,66 per 100.000 penduduk.

Bila dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010 maka kedua jenis tenaga tersebut masih sangat dibutuhkan mengingat target yang diharapkan adalah masing-masing 40 per 100.000 penduduk. Data terinci dapat dilihat pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 31.

C. PEMBIAYAAN KESEHATAN

Dengan perubahan Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Kesehatan, maka beban kerja Departernen Kesehatan cukup berat, luas dan kompleks. Selain itu, kita juga diperhadapkan dengan permasalahan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan gizi masyarakat, meningkatkan kelembagaan serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, pembiayaan pembangunan kesehatan diarahkan agar dapat mendukung berbagai program antara lain penerapan paradigma sehat, pelaksanaan desentralisasi, mengatasi berbagai kedaruratan dan keperluan Jaringan Pengaman Sosial (JPS), peningkatan profesionalisme tenaga kesehatan dan pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).

Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui upaya pelayanan kesehatan dasar yang menitikberatkan pada upaya pencegahan dan penyuluhan kesehatan. Dalam melaksanakan upaya pelayanan kesehatan tersebut diperlukan pembiayaan, baik yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat, termasuk swasta. Sejak dilaksanakannya kebijakan desentralisasi pada tahun 2001, biaya untuk pelaksanaan upaya kesehatan dan pemerintah diharapkan sebagian besar berasal dan Pemerintah Daerah.

Pada tahun 2000, dalam pertemuan antara Departemen Keuangan dengan seluruh Bupati/Walikota se-Indonesia, disepakati bahwa Pemerintah Daerah akan mengalokasikan 15% dari APBD-nya untuk pembiayaan kesehatan. Pada tahun ini juga (2000) pola anggaran mengalami perubahan waktu dari tahun fiskal lama yang berlaku 1 April s.d. 31 Maret ke tahun fiskal baru yang berlaku sesuai dengan tahun takwim (kalender) yaitu 1 Januani s.d. 31 Desember.

Sesuai dengan data yang berhasil dikumpulkan, untuk menggambarkan situasi pembiayaan kesehatan di Sulsel, berikut ini akan diuraikan tentang pembiayaan kesehatan oleh pemerintah yaitu mengenai alokasi anggaran pembangunan nasional (APBN) dan alokasi APBD kab./kota untuk kesehatan, dan juga uraian tentang salah satu wujud pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai jaminan pemeliharaan kesehatan.

1. Anggaran Pembangunan Departemen Kesehatan

Pada tahun 2003 anggaran kesehatan pusat yang dialokasikan di Sulsel secara keseluruhan sebanyak Rp. 115.109.341.000 dengan realisasi 79,83%, yang terdiri dari Rp. 84.562.453.000 dana Rupiah Murni dan Rp. 30.546.888.000 dana PLN. Realisasi dana Rupiah Murni adalah Rp. 77.707.337.000 atau 91,89%, sedangkan realisasi dana PLN sebanyak 14.216.156.000 atau 46,54%. Untuk tahun 2004 anggaran kesehatan pusat yang dialokasikan di Sulsel secara keseluruhan sebanyak Rp. 100.239.406.000,- dengan realisasi 97,29%, yang terdiri dari Rp. 100.024.406.000,- dana Rupiah Murni dan Rp. 215.000.000,- dana PLN. Realisasi dana Rupiah Murni adalah Rp. 97.437.699.877,- atau 97,20%, dan total anggaran sedangkan realisasi dana PLN sebanyak 88.000.000,- atau 0,09% atau 40,93% dari total PLN.

2. Anggaran Pembangunan Daerah

Anggaran Pembangunan Daerah dalam kurun waktu lima tahun (1996/1997 s.d tahun 2000) bergerak tidak beraturan, baik anggaran pemerintah provinsi maupun anggaran pemerintah kabupaten./kota. Perbedaan ini dikarenakan pemerintah daerah belum menggunakan secara maksimal kemampuan daerahnya (Pendapatan Asli Daerah), karena selama ini kekurangan anggaran untuk seluruh kegiatan masih disubsidi oleh pemerintah pusat dengan berdasarkan kepada usulan proyek dan kegiatan (DUP dan DUK). Kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan dapat terlihat mulai tahun 2000 dimana undang-undang mengenai otonomi daerah telah ditetapkan.

Adapun total alokasi dan realisasi anggaran tahun 2003 untuk Sulsel yang bersumber dari Dana Alokasi Umum dan Dana Daerah adalah Rp. 17.960.066.044 dengan realisasi sebanyak 17.195.142.723 atau 95,74%. Sedangkan untuk tahun 2004, Dana Alokasi Umum dan Dana Daerah adalah Rp. 17.361.241.770 dengan realisasi sebanyak Rp. 16.653.873.721 atau 95,93%.

Untuk alokasi pembiayaan kesehatan pada tahun 2003 di Provinsi Sulawesi Selatan baru berkisar 10,2% dari total anggaran APBD Provinsi (Target IIS 2010 sebesar 15%). Sedangkan untuk alokasi anggaran kesehatan pemerintah per-kapita untuk tahun 2003 baru berkisar Rp. 15.094,- dari target Rp. 100.000 per kapita per tahun. Dan alokasi pembiayaan kesehatan untuk tahun 2004 berkisar 5,8% dari total anggaran APBD Provinsi (Target IIS 2010 sebesar 15%). Sementara alokasi anggaran kesehatan pemerintah per-kapita untuk tahun 2004 baru berkisar Rp. 68.155,- dari target Rp. 100.000 per kapita per tahun.

3. Pembiayaan Kesehatan oleh Masyaralat

Sejak lama sudah dikembangkan berbagai cara untuk meniberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Pada saat ini berkembang berbagai cara pembiayaan kesehatan praupaya, yaitu dana sehat, asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja (Astek)/Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) dan asuransi jiwa lain. Untuk penduduk miskin disediakan Kartu Sehat, sehingga mereka tidak perlu membayar pelayanan kesehatan yang digunakannya (karena telah dibayar oleh pemerintah).

Namun demikian, cakupan atau kepesertaan masyarakat terhadap berbagai jaminan pembiayaan kesehatan ini masih sangat rendah. Menurut data dari Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2004, masyarakat yang tercakup jaminan pembiayaan kesehatan baru 11,35%, sebagian besar tercakup dalam Askes, kemudian kartu sehat, Jamsostek dan
Askes Lain. Data terinci dapat dilihat pada Lampiran Format IIS 2010 Tabel 33. Gambaran jelasnya seperti pada gambar berikut ini :

GAMBAR V.C.1
PERSENTASE PENDUDUK YANG TERCAKUP JAMINAN PEMBIAYAAN
KESEHATAN MENURUT JENISNYA DI SULSEL TAHUN 2004


Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2002