Kebobrokan Sistem Kesehatan Berbuah Wabah
Jumat, Juli 14, 2006
JAKARTA—Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari tampaknya memang harus bekerja luar biasa keras. Tidak cukup hanya menghabiskan waktu ke waktu mengunjungi daerah demi daerah, ia pun harus melakukan pembenahan sistem penyelenggaraan kesehatan.
Berbagai kasus kesehatan yang muncul belakangan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba seperti kepedasan setelah makan cabai. Munculnya kasus kesehatan akhir-akhir ini merupakan dampak dari tidak beresnya sistem dan program kesehatan di masa lalu.
Departemen Kesehatan di masa lalu sangat mengabaikan preventif dan promotif. “Depkes di masa lalu hanya menekankan kuratif dan rehabilitasi. Programnya adalah pengadaan alat, obat-obatan dan rumah sakit yang berbau proyek korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tegas Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dr. Marius Widjajarta, SE kepada SH.
Marius menjelaskan di sisi lain setiap kali ada kasus tidak diungkap dan diselesaikan secara transparan, tetapi ditutup-tutupi dan tidak pernah muncul di media massa.
“KKN di Depkes merajalela sehingga laporan pada pemerintah hanya asal bapak senang saja, padahal kita tidak bisa hanya menyelesaikan gejala tapi juga mencari sumber penyakit,” katanya.
Ia menambahkan Menkes harus didukung oleh aparatnya secara penuh. Jangan ada gerakan-gerakan memotong atau memperlambat kebijakan Depkes karena rakyat yang akan menjadi korban, tandasnya. Depkes juga harus memberikan report tahunan kepada masyarakat. Menurutnya, masyarakat harus tahu langsung kinerja Depkes dan tidak hanya melalui DPR atau pemerintah saja.
Marius menjelaskan selama ini proyek banyak menyerap dana, tapi tidak ada pengawasan dan evaluasi maupun pertanggungjawaban. Dengan mekanisme pertanggungjawaban pada masyarakat secara langsung, Menkes akan memperoleh bantuan untuk mengontrol aparatnya.
Kontrol Efektif
Menanggapi pernyataan tersebut Menteri Kesehatan Siti Fadilla Supari menjelaskan bahwa di era keterbukaan seperti sekarang, pers adalah kontrol yang efektif. “Banyak kasus diperoleh Depkes dari laporan pers baik masalah internal Depkes maupun munculnya penyakit. Jadi tidak ada yang bisa ditutupi sekarang ini. Karena selain rakyat yang rugi, akan ketahuan siapa yang tidak benar kerjanya,” kata Menkes kepada SH.
Marius Widjajarta juga menyebut adanya wewenang Departemen Kesehatan yang di-by pass oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Ia mengungkapkan baru-baru ini Badan POM mengeluarkan izin produksi pemanis buatan, padahal di kota Malang sendiri sudah over dosis 240% penggunaan siklamat. Diperkirakan 260 noel lewat dari 2500 noel sebagai batas.
“Risikonya adalah munculnya penyakit yang disebabkan pemanis buatan seperti kanker kandung kemih. Di seluruh dunia, BPOM ada di bawah Department of Health, hanya di Indonesia di bawah sekretaris negara,” tegasnya.
Marius memberi contoh bahwa BPOM juga mengeluarkan surat persetujuan impor narkotika, padahal ini menyalahi undang-undang narkotika yang hanya mengizinkan Depkes untuk mengeluarkan perizinan itu.
“Mengapa didiamkan saja oleh Presiden, padahal ini masalah besar dan emergensi di bidang kesehatan? Kapolri baru harus memeriksa dan menindak hal ini. Kalau benar ada kerja sama dengan ke-polisian untuk mengimpor narkoba maka BPOM dan oknum polisi tersebut harus diperiksa. Ini kan wewenang di luar Depkes, tapi dampaknya Depkes yang harus menanggung,“ tegasnya
Promosi Kesehatan
Marius juga mengungkapkan perlunya memperkuat promosi kesehatan dan tidak hanya terpaku pada kalender kerja Depkes dalam kerangka kuratif dan rehabilitasi. “Kalau hanya menekankan kuratif dan rehabilitasi, akan selalu terlambat,” katanya.
Kalau promosi kesehatan diperkuat, masyarakat akan diberdayakan untuk ikut bersiaga. Mengobati jalan terus tapi sumber malapetaka harus diperoleh dan ditangani, ujarnya.
“Orang gizi buruk diberikan bantuan tetapi persoal kesulitan mendapatkan akses ekonomi tetap tidak diatasi. Rame-rame kolera, demam berdarah dan malaria. Mereka diobati, tetapi banjir, got kotor, genangan air tidak diatasi, dan jamban umum tidak ada. Promosi kesehatan ini penting untuk pengetahuan dan mobilisasi rakyat untuk mengatasi akar masalah,” jelas Marius.
Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Dr. I Nyoman Kandun. MPH, sebenarnya untuk menghadapi pe-nyakit menular memang dibutuhkan keterlibatan masyarakat dengan teknologi sederhana. Untuk itu harus dibangun kerja sama antara organized government respons dan organisized communitty respons.
“Kerja sama tersebut harus memaksimalkan tehnologi cuci tangan, buang air besar pada tempatnya, cebok yang bersih dan tempat pembuangan sampah. Siapa pun bisa melakukannya,” kata Nyoman kepada SH. Respons pemerintah ini harus lintas sektor. Masalah kesehatan bukan hanya masalah sektor kesehatan.
Nyoman melanjutkan bahwa di tingkatan kota harus ada forum kesehatan kota yang berisi legislatif, masyarakat, LSM dan eksekutif setempat. Tugas forum adalah mendorong rakyat mengorganisasir dirinya agar pesan-pesan kesehatan dapat masuk.
“Masyarakat harus digerakkan untuk melakukan gerakan 3M plus (menguras, menutup, dan mengubur) membubuhi larvasida (abate) serta melindungi diri dari gigitan nyamuk agar dapat mencegah keluarga dari serangan penyakit DBD. Dengan demikian dapat memutuskan rantai penularan nyamuk penular DBD. Forum ini juga bisa mendorong hidupnya PKK dan Posyandu lagi,” jelas Kandun.
Bagi Marius kekuatan preventif dan promotif yang utama yang utama adalah PKK dan Posyandu karena ujung tombak promosi dan preventif adalah Posyandu dalam PKK itu.
“Kalau ada penyakit di masyarakat mereka bisa segera laporkan. Gizi buruk cepat terdata dan semuanya itu harus dikoordinasikan langsung oleh Depkes selain ke Dinas setempat oleh PKK. Depkes sudah memiliki puluhan modul untuk menghadapi kesehatan dan penyakit, tetapi selama ini cuma disimpan di gudang saja,” kata Marius.
Polio, demam berdarah, malaria, dan gizi buruk jika dari awal sudah terdeteksi lewat Posyandu maka tidak akan meledak seperti sekarang ini. Kekurangan gizi kan tidak mendadak, tapi proses,” demikian Marius.
(Sumber : Sinar Harapan)
Berbagai kasus kesehatan yang muncul belakangan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba seperti kepedasan setelah makan cabai. Munculnya kasus kesehatan akhir-akhir ini merupakan dampak dari tidak beresnya sistem dan program kesehatan di masa lalu.
Departemen Kesehatan di masa lalu sangat mengabaikan preventif dan promotif. “Depkes di masa lalu hanya menekankan kuratif dan rehabilitasi. Programnya adalah pengadaan alat, obat-obatan dan rumah sakit yang berbau proyek korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tegas Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dr. Marius Widjajarta, SE kepada SH.
Marius menjelaskan di sisi lain setiap kali ada kasus tidak diungkap dan diselesaikan secara transparan, tetapi ditutup-tutupi dan tidak pernah muncul di media massa.
“KKN di Depkes merajalela sehingga laporan pada pemerintah hanya asal bapak senang saja, padahal kita tidak bisa hanya menyelesaikan gejala tapi juga mencari sumber penyakit,” katanya.
Ia menambahkan Menkes harus didukung oleh aparatnya secara penuh. Jangan ada gerakan-gerakan memotong atau memperlambat kebijakan Depkes karena rakyat yang akan menjadi korban, tandasnya. Depkes juga harus memberikan report tahunan kepada masyarakat. Menurutnya, masyarakat harus tahu langsung kinerja Depkes dan tidak hanya melalui DPR atau pemerintah saja.
Marius menjelaskan selama ini proyek banyak menyerap dana, tapi tidak ada pengawasan dan evaluasi maupun pertanggungjawaban. Dengan mekanisme pertanggungjawaban pada masyarakat secara langsung, Menkes akan memperoleh bantuan untuk mengontrol aparatnya.
Kontrol Efektif
Menanggapi pernyataan tersebut Menteri Kesehatan Siti Fadilla Supari menjelaskan bahwa di era keterbukaan seperti sekarang, pers adalah kontrol yang efektif. “Banyak kasus diperoleh Depkes dari laporan pers baik masalah internal Depkes maupun munculnya penyakit. Jadi tidak ada yang bisa ditutupi sekarang ini. Karena selain rakyat yang rugi, akan ketahuan siapa yang tidak benar kerjanya,” kata Menkes kepada SH.
Marius Widjajarta juga menyebut adanya wewenang Departemen Kesehatan yang di-by pass oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Ia mengungkapkan baru-baru ini Badan POM mengeluarkan izin produksi pemanis buatan, padahal di kota Malang sendiri sudah over dosis 240% penggunaan siklamat. Diperkirakan 260 noel lewat dari 2500 noel sebagai batas.
“Risikonya adalah munculnya penyakit yang disebabkan pemanis buatan seperti kanker kandung kemih. Di seluruh dunia, BPOM ada di bawah Department of Health, hanya di Indonesia di bawah sekretaris negara,” tegasnya.
Marius memberi contoh bahwa BPOM juga mengeluarkan surat persetujuan impor narkotika, padahal ini menyalahi undang-undang narkotika yang hanya mengizinkan Depkes untuk mengeluarkan perizinan itu.
“Mengapa didiamkan saja oleh Presiden, padahal ini masalah besar dan emergensi di bidang kesehatan? Kapolri baru harus memeriksa dan menindak hal ini. Kalau benar ada kerja sama dengan ke-polisian untuk mengimpor narkoba maka BPOM dan oknum polisi tersebut harus diperiksa. Ini kan wewenang di luar Depkes, tapi dampaknya Depkes yang harus menanggung,“ tegasnya
Promosi Kesehatan
Marius juga mengungkapkan perlunya memperkuat promosi kesehatan dan tidak hanya terpaku pada kalender kerja Depkes dalam kerangka kuratif dan rehabilitasi. “Kalau hanya menekankan kuratif dan rehabilitasi, akan selalu terlambat,” katanya.
Kalau promosi kesehatan diperkuat, masyarakat akan diberdayakan untuk ikut bersiaga. Mengobati jalan terus tapi sumber malapetaka harus diperoleh dan ditangani, ujarnya.
“Orang gizi buruk diberikan bantuan tetapi persoal kesulitan mendapatkan akses ekonomi tetap tidak diatasi. Rame-rame kolera, demam berdarah dan malaria. Mereka diobati, tetapi banjir, got kotor, genangan air tidak diatasi, dan jamban umum tidak ada. Promosi kesehatan ini penting untuk pengetahuan dan mobilisasi rakyat untuk mengatasi akar masalah,” jelas Marius.
Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Dr. I Nyoman Kandun. MPH, sebenarnya untuk menghadapi pe-nyakit menular memang dibutuhkan keterlibatan masyarakat dengan teknologi sederhana. Untuk itu harus dibangun kerja sama antara organized government respons dan organisized communitty respons.
“Kerja sama tersebut harus memaksimalkan tehnologi cuci tangan, buang air besar pada tempatnya, cebok yang bersih dan tempat pembuangan sampah. Siapa pun bisa melakukannya,” kata Nyoman kepada SH. Respons pemerintah ini harus lintas sektor. Masalah kesehatan bukan hanya masalah sektor kesehatan.
Nyoman melanjutkan bahwa di tingkatan kota harus ada forum kesehatan kota yang berisi legislatif, masyarakat, LSM dan eksekutif setempat. Tugas forum adalah mendorong rakyat mengorganisasir dirinya agar pesan-pesan kesehatan dapat masuk.
“Masyarakat harus digerakkan untuk melakukan gerakan 3M plus (menguras, menutup, dan mengubur) membubuhi larvasida (abate) serta melindungi diri dari gigitan nyamuk agar dapat mencegah keluarga dari serangan penyakit DBD. Dengan demikian dapat memutuskan rantai penularan nyamuk penular DBD. Forum ini juga bisa mendorong hidupnya PKK dan Posyandu lagi,” jelas Kandun.
Bagi Marius kekuatan preventif dan promotif yang utama yang utama adalah PKK dan Posyandu karena ujung tombak promosi dan preventif adalah Posyandu dalam PKK itu.
“Kalau ada penyakit di masyarakat mereka bisa segera laporkan. Gizi buruk cepat terdata dan semuanya itu harus dikoordinasikan langsung oleh Depkes selain ke Dinas setempat oleh PKK. Depkes sudah memiliki puluhan modul untuk menghadapi kesehatan dan penyakit, tetapi selama ini cuma disimpan di gudang saja,” kata Marius.
Polio, demam berdarah, malaria, dan gizi buruk jika dari awal sudah terdeteksi lewat Posyandu maka tidak akan meledak seperti sekarang ini. Kekurangan gizi kan tidak mendadak, tapi proses,” demikian Marius.
(Sumber : Sinar Harapan)
9:03 PM
thanks ya infonya !!!
www.bisnistiket.co.id