Kesehatan Merupakan Hak Asasi Setiap Warga Negara:::::::: Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berpola Sehat Itu Perlu:::::::: Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?:::::::: Mencegah Komplikasi Paska Aborsi:::::::: Jaga Pola Makan Demi Kesehatan Mata:::::::: Karbonmonoksida Berpengaruh Terhadap Kesehatan Bayi Kita:::::::: Masih Banyak Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Berbahaya:::::::: Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010:::::::: Peningkatan Akses Masyarakat Tethadap Layanan Kesehatan yang Berkualitas::::::::
Selamat Datang di Weblog Resmi Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) Indonesia. Temukan di Sini Artikel Kesehatan yang Anda Butuhkan :


Apa Saja 3 Postingan Terbaru Kami di Weblog Ini?
Renungan Hari Ini:

Mari Memanusiakan Penderita Gangguan Jiwa  

Penderita gangguan jiwa merupakan kelompok masyarakat yang rentan mengalami pelanggaran HAM dan perlakuan tidak adil. Hal ini disebabkan adanya stigma, diskriminasi, pemahaman yang salah, serta belum adanya peraturan yang benar-benar melindungi mereka.

Kita mudah sekali mengklaim seseorang menderita gangguan jiwa. Padahal, definisi gangguan jiwa cukup rumit. Dalam klasifikasi yang dipakai di Indonesia, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, terdapat lebih dari seratus penyakit akibat gangguan jiwa.

Penggolongan ini penting karena tiap jenis gangguan mempunyai cara pengobatan tersendiri. Contoh gangguan jiwa adalah gangguan jiwa serius seperti skizofrenia dan maniak depresif serta ansietas (kecemasan) dan depresi. Sebenarnya dalam tiap jenis gangguan terdapat variasi yang luas, dari yang ringan hingga yang berat, sehingga penyebutan untuk semua jenis gangguan jiwa dapat membuat salah pengertian dan menyesatkan.

Seperti dijelaskan Dr. Irmansyah, Sp.KJ, Kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, gangguan jiwa serius mempunyai gejala-gejala yang disebut psikosis. Contohnya mendengar suara-suara saat tidak ada orang lain di sekitarnya, percaya hal yang aneh, ketakutan, kebingungan, perilaku yang agitatif, emosional, atau berbicara ngawur.

“Melihat gejala psikosis tersebut, bukan berarti penderita adalah orang yang jahat, aneh, bodoh, pemalas, atau jorok. Mereka hanyalah seorang dengan gangguan jiwa, seorang yang menderita penyakit. Demikian juga orang dengan ansietas dan depresi. Mereka bukan orang yang lemah, hilang ingatan, atau punya masalah kepribadian. Mereka adalah orang dengan kondisi medis yang memerlukan pengobatan,” kata Dr. Irmansyah, dalam sebuah talk show menyoal pentingnya perlindungan terhadap penderita gangguan jiwa, pekan lalu di Jakarta.

Gangguan jiwa dapat memengaruhi fungsi kehidupan seseorang. Aktivitas penderita, kehidupan sosial, ritme pekerjaan, serta hubungan dengan keluarga jadi terganggu karena gejala ansietas, depresi, dan psikosis. Seseorang dengan gangguan jiwa apa pun harus segera mendapatkan pengobatan. Keterlambatan pengobatan akan semakin merugikan penderita, keluarga, dan masyarakat.

Gangguan jiwa dalam berbagai bentuk adalah penyakit yang sering dijumpai pada semua lapisan masyarakat. Penyakit ini dialami oleh siapa saja, bukan hanya mereka yang mapan. Prevalensi gangguan jiwa di negara sedang berkembang dan negara maju relatif sama. Di Indonesia, prevalensinya sekitar 20 persen dari total penduduk dewasa.

Dalam laporan WHO juga diperlihatkan tingginya beban penyakit yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa. Dari 10 penyebab yang menimbulkan beban penyakit, empat di antaranya adalah akibat langsung dari gangguan jiwa, yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Dari enam penyebab lain, empat di antaranya dapat disebabkan secara langsung oleh gangguan mental, yaitu kecelakaan lalu lintas, luka karena kecerobohan sendiri, peperangan, dan kekerasan.

Sayangnya, untuk mengatasi masalah kesehatan mental ini, di Indonesia tidak didukung oleh sumber-sumber tenaga, fasilitas, maupun kebijakan kesehatan mental yang memadai. Secara keseluruhan, sumber daya yang dimiliki masih jauh dari mencukupi.

Tempat tidur untuk pasien gangguan mental hanya tersedia 0,4 untuk 10 ribu penduduk. Tenaga profesional lain juga jauh dari mencukupi. Keadaan sumber daya kesehatan mental Indonesia masih sejajar dengan negara tertinggal (terbelakang). Tidak heran, kini lebih banyak penderita gangguan jiwa yang berada di luar sistem kesehatan mental.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya beragam pandangan keliru atau stereotip di masyarakat. Penderita gangguan jiwa sering digambarkan sebagai individu yang bodoh, aneh, berbahaya, dan terbelakang. Hal ini tentu akan melahirkan sikap keliru. Padahal, sebagai orang sakit, tentu penderita mengharapkan perhatian, kasih sayang, dan lainnya. Sayangnya, karena pandangan yang salah ini masyarakat akhirnya lebih mengolok-olok penderita, menjauhinya, bahkan sampai memasung karena menganggapnya berbahaya.

Tak heran, akhirnya masyarakat juga melakukan diskriminasi. Kenyataan inilah yang membuat mereka rentan mengalami berbagai jenis pelanggaran HAM dan perlakuan tidak adil. Ironisnya, hal itu terus berlangsung karena tidak atau kurang maksimalnya peraturan yang melindungi penderita gangguan jiwa.

Dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ, menyatakan bahwa mereka bisa demikian mudah dipaksa oleh keluarganya menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa (RSJ) selama bertahun-tahun atau dititipkan di panti sosial dan pesantren tanpa batas waktu. Padahal, gangguan jiwa adalah suatu kondisi sakit yang sama seperti penyakit lain.

“Sama-sama memiliki masa kekambuhan dan pemulihan. Dengan kemajuan pengobatan, banyak penderita gangguan jiwa yang dapat dipulihkan fungsi dan tanggung jawab psikososialnya dengan cukup baik,” tuturnya.

Istilah gangguan jiwa dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan di Indonesia masih sangat rancu. Penyebutan gangguan jiwa seolah-olah hanya mewakili suatu kondisi tidak cakap mental atau ketidakmampuan bertanggung jawab secara mental yang bersifat menetap.

Padahal, menurut Dr. Suryo, rentang kecakapan mental seseorang penderita gangguan jiwa sangat luas, dari mulai tidak terganggu sampai terganggu hebat. Selain itu, kondisi tersebut tidak definitif, bisa berubah sesuai kondisi penyakit dan respon terhadap pengobatan.

Sebagai perbandingan, di negara maju, khususnya kelompok negara persemakmuran, telah memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa (Mental Health Act) yang berfungsi melindungi penderita gangguan jiwa dari kemungkinan perlakuan tidak adil dan pelanggaran HAM. Undang-undang tersebut secara jelas dan rinci mengatur perlindungan pasien terhadap pelanggaran haknya.

“Contohnya perawatan paksa terhadap penderita gangguan jiwa berat, hanya dapat dilakukan pada kondisi dan jangka waktu tertentu (paling lama seminggu). Apabila masih diperlukan perawatan setelah masa tersebut harus melalui prosedur pengadilan ad hoc,” papar Dr. Suryo.

Dengan demikian, di negara yang memiliki Mental Health Act, kecil kemungkinan seseorang penderita gangguan jiwa tanpa persetujuan dirawat inap di RSJ sampai bertahun-tahun. Sebaliknya, di Indonesia, pasien bisa dirawat selama puluhan tahun dan diberi label “pasien inventaris”, yakni pasien yang oleh keluarganya dititipkan atau ditinggalkan di RSJ.

Lebih dari itu, penderita gangguan jiwa juga sering dirugikan dalam perkara perdata, seperti hak waris, hak pengasuhan anak, dan sebagainya. Hal ini juga terjadi karena istilah gangguan jiwa dipergunakan semena-mena menggantikan pengertian tidak cakap mental atau tidak mampu bertanggung jawab secara mental yang bersifat tetap. Mereka yang menderita gangguan jiwa juga mengalami diskriminasi dalam mengakses fasilitas umum, seperti terbatasnya kesempatan kerja maupun aktivitas sosial lainnya.

Dr. Irmansyah maupun Dr. Suryo berpendapat bahwa salah satu solusi untuk melindungi penderita gangguan jiwa dari pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum, dan perlakuan semena-mena dari masyarakat adalah dengan menggulirkan UU Kesehatan Jiwa. Selain itu, tentunya terus mengedukasi masyarakat, khususnya upaya membangun opini yang benar tentang masalah gangguan jiwa melalui media.

Meski upaya ini tidaklah mudah, kepedulian tetap harus digalang. Sebab, mereka juga manusia yang memiliki hati dan perasaan.