Press Release LKPK terkait Kasus MALNUTRISI
Selasa, April 05, 2005
LEMBAGA KAJIAN PEMBANGUNAN KESEHATAN
Dalam Kaitan Dengan Terungkapnya
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) GIZI BURUK PADA BALITA DI INDONESIA
Jumlah penderita gizi buruk yang berhasil diidentifikasi di negara ini terus mengalami peningkatan dari hari ke hari, menyeruak seriring dengan merebaknya pula beragam kasus kesehatan lainnya seperti polio, diare, malaria dan sejumlah penyakit infeksi tropik lainnya. Sebagian besar yang menderita adalah kelompok usia balita dan anak-anak, generasi bangsa yang kelak akan memimpin bangsa besar ini. Ironi demikian muncul setelah kita bersama-sama memperingati Hari Kesehatan Sedunia yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 7 April 2005 lalu dengan tema : Ibu Sehat, Anak Sehat Setiap Saat.
Gizi buruk merupakan keadaan kekurangan gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Sebagaimana yang diketahui bersama, kasus gizi buruk yang terjadi merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, besaran angka kasus gizi kurang dan malnutrisi lain yang diketahui selama ini hanya merupakan “puncak” gunung es saja. Pada kenyataannya, jumlah penderita gizi buruk sesungguhnya sangat banyak, beberapa kali lipat dari angka-angka yang telah ditemukan.
Perjalanan masalah gizi, mulai dari kondisi gizi kurang – gizi buruk – Kekurangan Energi Protein (KEP)/busung lapar, merupakan garis linear (lurus) yang memutlakkan pemutusan rantainya secara radikal dan tidak setengah-setengah.
Dalam prosedur tetap (protap) Departemen Kesehatan RI untuk program penanggulangan masalah gizi telah ditetapkan bahwa, jika terdapat 1 atau lebih kasus “gizi buruk” pada suatu wilayah, maka kenyataan itu sudah harus dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk setiap kasus KLB, maka semua struktur pemerintahan terkait, mulai dari tingkat lokal hingga nasional, wajib memberikan perhatian serius untuk menanggulanginya.
Dengan menyimak data-data terakhir kasus gizi buruk di berbagai daerah di Indonesia, sesungguhnya yang telah terjadi saat ini adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk. Jika pada suatu daerah telah dijumpai 1 kasus gizi buruk, maka proyeksi normalnya adalah 3 kemungkinan, yaitu: (1) telah terdapat ratusan anak dengan kasus gizi kurang yang probabilitasnya menjadi gizi buruk cukup besar, (2) kasus gizi buruk sesungguhnya jauh lebih besar beberapa kali lipat daripada yang telah ditemukan, dan (3) kemungkinan terjadinya KEP (marasmic-kwasiorkor) atau Busung Lapar terbuka lebar sebagai perkembangan lanjutan dari kasus gizi buruk yang telah ada.
Sebagai salah satu problem gizi berkelanjutan di negara kita, gizi buruk telah banyak menimbulkan efek negatif bagi perkembangan sumber daya manusia (SDM). Secara klinis, perkembangan otak dan kecerdasan anak akan terjadi pada setengah dekade pertama awal kehidupannya (0-5 tahun), dikenal sebagai golden age. Perkembangan anatomis-fisiologis otak banyak bergantung pada tingkat asupan nutrisi (zat gizi) anak. Karena itulah, anak-anak yang saat ini menderita gizi kurang-gizi buruk pada prinsipnya akan kehilangan “kesempatan” untuk dapat tumbuh cerdas dan sehat apabila tidak dilakukan tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien pada usia golden age-nya.
Anak-anak yang menderita gizi buruk akan mengalami retardasi mental dan degradasi kecerdasan secara signifikan, akibat pertumbuhan otak yang tidak optimal, sehingga jika sudah “terlanjur”, maka penderita gizi buruk akan sangat sulit kembali ke kondisi normal sebagaimana anak-anak sehat lainnya. Hal ini juga akan berimplikasi serius dan secara jangka panjang akan turut menyumbang pada minimnya produktifitas hidup anak yang bersangkutan.
Oleh karena itu, kasus gizi buruk dewasa ini, jika tak segera diantisipasi secara tepat dan cepat, besar kemungkinan akan menyebabkan terjadinya loss generation. Satu generasi akan hilang dari kesempatan menjadi “manusia” dengan sumber daya optimal dan kelak akan melahirkan generasi yang kurang lebih sama menyedihkannya.
Terkait dengan fenomena ini, Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan sebagai salah satu elemen integral dalam pembangunan kesehatan bangsa, memandang perlu menyampaikan beberapa hal mendasar, sebagai berikut :
1. Jumlah anak-anak berusia hingga 10 tahun di Indonesia berdasarkan hasil sensus penduduk 2003 lebih dari 40 juta atau sekitar 20 persen dari 203 juta penduduk yang terdaftar. Jumlah ini akan mencapai angka 40 persen apabila dihitung beserta penduduk berusia sampai 20 tahun. Kondisi kesehatan anak Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Angka kematian bayi dan balita masih tinggi, yakni 35 bayi per 1000 kelahiran, menempati urutan keenam di ASEAN, sementara angka kematian anak mencapai 11 anak per 1000 kelahiran hidup (Survey Demografi Kesehatan Indonesia/SDKI 2003). Diduga, 54 persen penyebab kematian bayi dan balita dipengaruhi oleh faktor gizi (gizi kurang-gizi buruk-KEP).
2. Pada tahun 2000 terdapat 2,4 juta anak Indonesia di bawah umur lima tahun (balita) menderita gizi buruk dan sekitar 7 juta balita yang menderita gizi kurang. Dalam kesempatan lain, United Nation Children’s Found (UNICEF) mensinyalir kurang lebih 10 juta anak Indonesia yang kekurangan energi protein (KEP) pada tahun yang sama. Tercatat sekitar 27,3 persen anak Indonesia mengalami gizi kurang pada tahun 2002, di tambah dengan merebaknya kasus gangguan gizi akibat kekurangan mikronutrisi, seperti yodium, zat besi (fe), dan Vitamin A. Yang paling nyata adalah akibat dari kekurangan Yodium saja, Indonesia kehilangan 190 juta point IQ per tahun. Ancaman kehilangan generasi (Loss Generation) menjadi semakin nyata akan terjadi!
3. Banyak pihak yang beranggapan bahwa penyebab utama masalah gizi ini adalah rendahnya pendapatan rumah tangga dan bahkan dikaitkan kondisi kemiskinan yang dihadapi penduduk. Padahal timbulnya masalah ini tidak selalu disebabkan oleh masalah pendapatan. Hasil penelitian Sajogjo dkk tahun 1973 menunjukkan bahwa KEP pada anak berumur tujuh tahun di perdesaan, sama cakupannya antara rumah tangga cukup pangan dengan kurang pangan, yaitu sekitar 37 persen anak menderita gizi kurang atau KEP ringan dan 16 persen tergolong KEP sedang dan berat. Ini berarti pendapatan rendah bukan satu-satunya faktor penyebab rendahnya keadaan gizi masyarakat, akan tetapi faktor lain seperti pengetahuan gizi ibu juga cukup berperanan di dalamnya. Sehingga penyuluhan gizi yang ditujukan pada para ibu dan pengasuh anak balita yang terkena KEP akan paling efisien untuk mengatasi masalah ini terutama melalui Posyandu.
4. Ketersediaan pangan dan kondisi bebas dari kekurangan gizi serta untuk dapat hidup sehat, merupakan salah satu bagian dari hak dasar rakyat untuk dapat hidup secara layak. Kesehatan sebagai salah satu HAM telah tercantum dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan konvensi-konvensi di bawahnya seperti Konstitusi WHO 1946, Deklarasi Alma Ata 1978, Deklarasi Kesehatan Sedunia 1998 dan pada penjelasan umum (general comments) kevonan hak-hak ekonomi-sosial-budaya (International Covenant on Economis, Social and Culture Rights) nomor 14 tahun 2000 tentang perawatan dan pelayanan kesehatan. Secara nasional, hak untuk hidup sehat bagi setiap warga Negara tercantum secara jelas pada rencana amandemen UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, UUD 1945 hasil Amandemen pasal 28 H, Dokumen Indonesia Sehat 2010 dan the Indonesian Millenium Development Goals 1990-2002 yang disusun berdasarkanMillenium Development Goals (MDG’s). Secara sangat jelas, MDG’s menekankan pemerintah untuk menitikberatkan pada enam sektor komitmen yang harus dicapai pada tahun 2015, antara lain (1) kemiskinan dan kelaparan, (2) kesehatan, (3) ketidaksetaraan gender, (4) pendidikan, (5) air bersih, dan (6) lingkungan.
Memandang begitu riskannya permasalahan gizi anak yang melanda Negara kita saat ini, maka Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan menyatakan sikap :
1. Pemerintah harus sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan Ratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC; Convention on the Rights of the Child) yang tertuang dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 dan menegakkan supremasi hukum, termasuk memperkuat law enforcement penerapan aturan di atas. Selain itu, pola pembangunan yang dilaksanakan seyogyanya lebih memperhatikan “investasi” masa depan bangsa ini melalui program pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Minimal perbaikan yang sesegera mungkin diprioritaskan adalah sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pemerintah harus lebih “berani” menyusun perencanaan yang sistematis untuk merehabilitasi ketiga sektor di atas, termasuk dengan mengalokasikan anggaran pembangunan dalam jumlah yang lebih rasional; minimal 20 persen untuk sektor pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan.
2. Prinsip-prinsip dasar dalam Universal Declaration of Human Rights menyiratkan bahwa ketersediaan pangan dan penanggulangan gizi buruk pada masyarakat sebagian besar berada pada wilayah tanggung jawab negara (state responsibility). Sehingga, kelalaian dan kelambanan negara mengatasi kasus-kasus gizi buruk/gizi kurang dapat dianggap sebagai pengabaian oleh negara (state neglect). Bahkan pada tingkat tertentu, pengabaian negara ini berubah menjadi praktik kekerasan oleh negara (state violence). Hal ini dikuatkan oleh butir-butir kesepakatan dalam Konvensi Hak Anak Internasional yang di antaranya memuat bahwa asupan gizi dan pelayanan kesehatan bagi anak merupakan kewajiban setiap Negara.
3. Sebagai negara yang pertama kali ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No 38/1990, pemerintah dalam agenda politiknya saat ini harus menunjukkan keberpihakan dan kesungguhannya dalam upaya pengentasan masalah anak. Salah satunya dengan menerapkan secara tegas Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) tanpa setengah-setengah. Untuk bidang kesehatan secara khusus, pasal 44 UU No. 23/2002 menyatakan : ”Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan”. Selain itu, pemerintah juga mesti mulai mengalokasikan pos anggaran tersendiri di APBN (Indonesian Years Childrens Fund) yang khusus untuk menuntaskan masalah yang menimpa kalangan anak-anak.
4. Upaya penanggulangan jika sudah dijumpai kasus, sebenarnya belum cukup menuntaskan masalah ini, karena meniscayakan adanya program pengentasan yang secara sistematis dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk dengan membangun sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SWPG) ditingkat masyarakat yang rawan masalah gizi. Pemberdayaan masyarakat dalam pengentasan masalah gizi buruk dan problem gizi lainnya merupakan pilihan yang efektif untuk segera dilakukan oleh pemerintah saat ini. Upaya revitalisasi fungsi Posyandu, pemberdayaan tokoh masyarakat, pengembangan sistem lumbung pangan desa dan pemantauan tumbuh-kembang anak melalui posyandu dan Puskesmas yang tersebar dinegara ini, merupakan bagian penting yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Untuk itu, penggunaan anggaran pembangunan kesehatan yang saat ini masih jauh dari layak, harus dilangsungkan secara optimal dengan tetap mengedepankan pada pemenuhan hak dasar rakyat secara efektif dan efisien, dan terbebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
5. Pemerintah harus rela dan bersikap besar hati untuk mengkategorikan wilayahnya sebagai daerah dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk jika memang memenuhi kategori untuk itu. Menyembunyikan kenyataan KLB Gizi Buruk dengan berdalih apologi bukan lagi menjadi pilihan pemerintah saat ini, bahkan dapat dianggap pemerintah telah melakukan aksi “pembohongan terhadap publik” dan merupakan bentuk pelanggaran hukum yang selanjutnya dapat dijadikan sengketa hukum publik. Karena itu, maka keterbukaan pemerintah untuk melakukan evaluasi secara objektif atas tingkat kesehatan dan derajat status gizi masyarakatnya merupakan prasyarat untuk menuntaskan problem gizi berkelanjutan saat ini.
6. Dalam kaitan dengan telah terjadinya kasus gizi buruk di suatu wilayah, maka yang paling tepat untuk segera dilakukan adalah pemantauan dan pengukuran status gizi (screening) secara menyeluruh terhadap semua balita di wilayah tersebut untuk menilai perjalanan kasus gizi secara objektif. Hal ini diperlukan untuk memetakan secara demografis penyebaran masalah gizi pada suatu wilayah dan untuk memudahkan program penanggulangannya.
7. Semua pihak diharapkan ikut berpartisipasi dalam membangun sumber daya anak yang berkualitas. Keikutsertaan semua pihak dalam menyingkap realitas masalah gizi pada wilayahnya masing-masing sangat diperlukan sebagai sumber informasi pembanding bagi stakeholder terkait untuk segera dilakukan upaya antisipasi/penanggulangan. Gerakan “penyehatan Ibu dan Anak/Anak Sehat, Ibu Sehat Setiap Saat” sebagaimana menjadi tema Hari Kesehatan Sedunia 7 April 2005 lalu, selayaknya digusung sebagai semangat dan itikad bersama semua elemen bangsa, menuju peningkatan kualitas kesehatan anak di Indonesia dan di negara lainnya di dunia.
Semoga ikhtiar untuk mencapai “Indonesia Sehat” – termasuk anak-anak yang sehat – dapat tetap kita langsungkan sebagai bentuk pertanggungjawaban politik, moral dan intelektual yang kita emban.
Mari,
Mewujudkan Masyarakat Dengan Kesadaran Sehat Menuju Peningkatan Kualitas Peradaban
11:15 AM
Salam kenal ..
Saya dokter di puskesmas di kabupaten probolinggo, puskesmas kami sedang merencanakan akan membuat klinik tumbuh kembang. Pelayanan tumbuh kembang anak pada balita di kecamatan kami, dan juga pelayanan konsultasi online melalui blog kami
http://balitakami.wordpress.com
Mohon masukan, kritik dan saran untuk lebih berkembangnya blog ini sebagai tempat kita mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak kita.
Terima kasih
draguscn.